Tidak ada pilihan bagi Steven selain membawa Olivia masuk ke dalam mobil Darren. Tidak mungkin ia menunggu mobil lain yang bisa saja tidak kunjung akan lewat lagi mengingat matahari mulai terbenam. Jalur yang mereka lalui juga bukan jalanan umum.
Sepanjang perjalanan mereka bertiga hanya diam. Seperti biasa, Darren bersikap tenang dan flat. Tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Setengah jam perjalanan, akhirnya Darren menghentikan mobil di depan rumah sakit. Steven turun terlebih dahulu kemudian mengangkat Olivia ke atas punggungnya. Darren mendahului keduanya, berjalan mendekati pintu geser dari kaca. Di pintu itu terpasang tulisan UNIT GAWAT DARURAT. Darren membuka pintu itu lebar-lebar.
Steven menoleh sinis saat melewati Darren yang menahan pintu untuk mereka. Steven memendarkan pandangan hingga tatapannya berhenti pada beberapa perawat yang berada di balik meja.
Steven meragu haruskah ia dan Olivia melaporkan hal ini. Melaporkan artinya membuat semua orang tahu apa yang sudah dialami Olivia. Demi memastikan bahwa keadilan bisa ditegakkan, Olivia harus menanggung rasa malu.
"Bawa aku menemui dokter." Olivia berseru seakan tahu kebimbangan yang dialami Steven.
Steven memberanikan diri mendekati meja. "Permisi," suaranya berhasil menarik perhatian tiga perawat yang ada di sana. Begitu melihat penampilan Steven yang kacau dan juga menggendong seorang gadis di belakangnya, mereka terkejut. Salah satu perawat segera mengitari meja untuk membantu Steven menurunkan Olivia yang keadaannya juga sangat kacau. Sementara perawat lainya dengan sigap meraih telepon. Sepertinya menghubungi dokter yang bertugas.
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua? Kalian mengalami kecelakaan? Atau terlibat tawuran?" Perawat itu menerka-nerka.
Steven tiba-tiba bingung harus menjawab apa. Ini tentang kehormatan Olivia.
"Aku diperkosa." Olivia meluncur turun dari gendongan Steven. Beberapa bagian tubuhnya terekspos dengan jelas. Terang saja mengingat Steven saat mengancing kemeja Olivia tanpa mengenakan dalaman. Kemeja tipis itu tidak mampu melindungi dadanya yang membengkak.
Steven tersentak, bukan hanya dia saja, tapi perawat itu juga. Ditatap para perawat itu Olivia dengan tajam juga menyelidik.
"Diperkosa? Di sini?"
"Di rawa-rawa. Di belakang Yale High School. Kira-kira 500 meter di belakang bangunan tersebut." Olivia menjelaskan semuanya dengan bibir bergetar. Bayangan kebrutalan pemerkosanya terekam jelas. Membuatnya jijik dan marah.
"Dokter Parker, kami membutuhkan Anda di ruang UGD. Di sini ada seorang gadis yang yang mangaku dirinya diperkosa."
"Aku memang diperkosa!" suara Olivia akhirnya pecah. Tangisannya hampir meledak. Apakah dirinya terlihat seperti berbohong dan kenapa para perawat itu memandangnya dengan tatapan aneh. Berhenti menatapku seperti itu! Lirihnya dalam hati.
"Sembari menunggu dokter, masuklah ke sini." Perawat itu menunjuk ruangan kecil. Kalian kotor sekali, kalian harus dibersihkan. Jika temanmu diperkosa, lalu apa yang terjadi denganmu?" Tanya perawat tersebut kepada Steven.
"Tidak usah hiraukan aku, berikan perawatan terbaik dengan segera kepada Olivia." Jawab Steven dengan sinis dibarengi dengan tatapan tajam menohok.
Perawat itu akhirnya menarik tirai pembatas untuk melakukan pemeriksaan sebelum sang dokter datang. "Kau kotor sekali. Kita harus membersihkan tubuhmu terlebih dahulu. Lepaskan semua bajumu dan pakai ini." Si perawat mengulurkan pakaian rumah sakit yang terbuat dari katun berwarna biru.
"Dokter akan segera datang dan melakukan pemeriksaan menyeluruh."
"A-apakah dokternya pria atau wanita."
"Pria."
"Tidak bisakah kau yang melakukan pemeriksaan?" Olivia masih tidak ingin disentuh oleh pria sekalipun itu seorang dokter.
"Maaf, itu buka tugasku. Apakah cakaran dan luka di tubuhmu hasil perbuatannya?"
"Mereka. Ada beberapa orang yang memperkosaku."
"Ya Tuhan," Perawat itu memekik iba. "Aku akan menghubungi kantor polisi."
Olivia ditinggalkan sendiri. Dengan gerakan lamban dan penuh kesakitan, Olivia melepaskan seluruh pakaiannya. Ia menumpukkan blusnya yang basah dengan rok menjadi satu onggokan di lantai.
Olivia menunduk mengamati tubuhnya. Ia menjejalkan kepalan tangan ke mulut agar tidak menjerit histeris. Tubuhnya benar-benar kotor. Lengannya dipenuhi goresan panjang dan berdarah.
Yang paling parah, di bagian perut dan kulit di antara kedua pahanya. Terdapat semacam cairan putih lengket bersemu merah karena bercampur darahnya sendiri. Olivia merasa dirinya lebih kotor dibandingkan dengan kotoran itu sendiri. Ia merasa mual, dengan segera meraih wadah stainless steel yang ada di meja. Cepat-cepat dimuntahkannya isi perutnya ke sana.
Mendengar langkah kaki seseorang, Olivia segera memakai baju rumah sakit. Seorang pria yang diduga Olivia sebagi dokter yang bertugas masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Kita harus memulai pemeriksaanya, Nona. Pemeriksaan ini mungkin sedikit tidak mengenakkan untuk Anda. Beberapa pertanyaan mungkin akan membuat Anda merasa malu. Tapi kami membutuhkan jawabanmu, Nona. Selain beberapa pertanyaan, kami juga harus mengambil foto Anda. Baiklah, mari kita mulai sekarang."
Dokter tersebut memulai prosedur pemeriksaan dengan membuka sampul metal sebuah buku catatan medis dan mengeluarkan sebuah bolpoin dari saku jas putihnya.
"Nama?"
"Olivia Phyllida."
"Usia?"
"17 tahun."
"Tanggal lahir?"
Dokter tersebut mencatat semua jawaban Olivia di formulir resmi tersebut.
"Tanggal mensturasi terakhir?" seperti yang dikatakan dokter tadi, pertanyaan-pertanyaan mulai membuat Olivia malu.
"Aku tidak mengingatnya."
"Kau harus menjawabnya Ms.Phyllida. Cobalah untuk mengingat-ingat." desak dokter tersebut. Olivia akhirnya memberi jawaban asal. Sungguh ia tidak mengingatnya.
"Apakah ada penyakit kelamin yang Anda derita atau mungkin berhubungan badan dengan pria yang memiliki riwayat penyakit kelamin?"
Habis sudah kesabaran Olivia. Tidakkah dokter itu melihat betapa ia sangat tertekan dengan pertanyaan-pertanyaaan tersebut.
"Sampai beberapa jam yang lalu aku masih perawan." Saat inilah Olivia tahu bahwa ia bukan hanya kehilangan keperawanannya, tetapi juga keluguan, harga diri dan kesopanannya.
"Apakah laki-laki itu....?"
"BEBERAPA PRIA! BUKAN HANYA SATU. APAKAH PERAWAT ITU TIDAK MENGATAKAN KEPADAMU BAHWA AKU DIPERKOSA OLEH BEBERAPA PRIA?!"
"Oh,' sahut dokter tersebut dengan tenang, tidak terusik dengan kemarahan Olivia.
"Apakah beberapa pria itu berhasil melakukan penetrasi dan juga ejakulasi?"
Olivia nyaris muntah lagi. Ditelannya cairan pahit yang naik ke perutnya dan menjawab dengan suara parau, "Ya." Tidak ada lagi yang tersisa dalam dirinya. Apa yang ia alami akan manjadi konsumsi publik dan kapan pemeriksaan ini berakhir. Ia menyesal kenapa Steven harus membawanya kemari. Harusnya meraka langsung ke kantor polisi.
Dokter itu akhirnya menutup bukunya dan memanggil si perawat untuk membantunya. Paha Olivia dibuka untuk melakukan pemeriksaan. Tidak ada yang bisa dilakukan Olivia selain memejamkan mata rapat-rapat. Ini memalukan. Kepalanya berdentam-dentam dan ia bisa merasakan detakan jantungnya hampir seakan menghantam gendang telinganya.
"Apakah kau bisa mengidentifikasi para pemerkosa itu?"
"Ya, aku mengenal semuanya dengan jelas."
"Bagus. Mereka pantas mendapatkan hukuman yang setimpal." Pemeriksaan selesai.
Olivia keluar dari ruang pemeriksaan. Ia melihat Steven sedang bersitegang dengan seorang sheriff. Sepertinya Steven sudah menyampaikan apa yang terjadi, tapi kenapa mimiknya terlihat sangat marah sekali. Steven juga tidak mengobati lukanya sama sekali.
"Apakah aku terlihat seperti pemerkosa?" Ternyata sheriff itu justru sedang menuding Steven. Lelucon macam apa ini?
Mr. Trey, Ms.Phyllida ada di sini," suara sang dokter mengumumkan keberadaan mereka akhirnya berhasil menghentikan perdebatan Steven dengan sheriff tersebut.
"Oh, baguslah Anda sudah di sini, Ms.Phyllida. Silakan duduk."
Olivia tidak mau duduk. Ditatapnya Sheriff tersebut dengan sinis. "Bukan Steve yang sudah memperkosaku. Tetapi beberapa pria tidak beradab. Aku mengenali semuanya dengan sangat baik. Brian Adulfo Milles..."
"Tunggu dulu." Mr.Trey menyela ucapan Olivia begitu mendengar nama yang begitu sangat familiar. Bukan hanya polisi itu yang terkejut tetapi juga dokter dan perawat yang ada di sana.
"Apakah yang kau maksud adalah putra bungsu presiden?"
"Ya, dan putra beberapa orang penting lainnya. Dean Jacob..."
"Putra walikota?" Polisi itu kembali terhenyak.
"Neal, Vincent Trey dan..."
Mendengar nama putranya disebut wajah sang sheriff pun pucat pasi. Kerongkongannya mendadak kering. Ruangan itu hening seketika.
"Si-silakan membuat laporan ke kantor polisi." Mr.Trey segera berdiri dan meninggalkan ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
~Kaipucino°®™
💪🏼💪🏼💪🏼💪🏼💪🏼
2023-03-22
0
~Kaipucino°®™
🤨🤨🤨🤨🤨
2023-03-22
0
~Kaipucino°®™
😏😏😏😏😏
2023-03-21
0