Vier sudah selesai berpakaian, ia mematut dirinya di depan cermin. Memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna tanpa cela mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Ia mulai menata rambutnya yang hitam dan tebal dengan gel rambut.
Setelah memastikan bahwa rambutnya telah tertata rapi, Vier membuka kotak akrilik berisi koleksi dasinya. Ia mengambil salah satu dasi lalu merentangkannya. Senyumnya segera tersungging, ia berdecak jika mengingat bagaimana reaksi Vaya saat kedua tangannya terikat dengan dasi.
Sungguh lucu sekali melihat wanita itu meronta-ronta seakan Vier hendak mencabut nyawanya.
"Haha!" Vier tak bisa menahan tawanya.
Menakuti Vaya benar-benar menjadi hiburan baginya. Belum lagi semalam ia mengerjai Vaya dengan menyuruh wanita itu memakai lingerie yang benar-benar pada akhirnya membuat Vier tertawa sampai kehabisan napas.
Biasanya melihat wanita memakai lingerie membuat naluri lelakinya bangkit dan bergairah. Vaya justru malah membuatnya tak tahan untuk mengejek wanita itu habis-habisan. Tertawa sampai lupa bagaimana cara bernapas.
"Haha! Dia memang benar-benar konyol!" Vier kembali tertawa-tawa.
...*****...
"Aku rasa wanita itu pasti bukan istri sungguhan Pak Vier," pelayan bernama Tasya berhenti sebentar dari kegiatannya mengelap pegangan tangga.
"Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu, Tasya?" tanya Berlina yang masih sibuk mengepel lantai.
"Aku melihat sendiri, wanita itu tidak tidur sekamar dengan Pak Vier. Wanita itu bahkan diasingkan di paviliun barat," lanjut Tasya.
"Ehem!"
Dehaman seseorang membuat kedua pelayan itu terperanjat.
"Pak Jo!" seru Tasya dan Berlina.
"Tugas kalian di sini adalah bekerja, bukan untuk bergunjing! Sekali lagi saya melihat kalian bergunjing, saya akan menganggap kalian mengundurkan diri!" tandas Pak Jo.
"'Maaf, maaf, Pak Jo!" sahut kedua pelayan itu ketakutan.
Kedua pelayan itu segera melanjutkan pekerjaan mereka dengan penuh ketakutan. Sudah menjadi tugas Pak Jo untuk berkeliling dan mengontrol pekerjaan para pelayan.
"Aduh, Pak Jo, ada apa pagi-pagi begini sudah ngomel-ngomel?" tegur Vier.
"Maaf membuat kenyamanan Anda terganggu, Pak Vier," Pak Jo menunduk dalam.
"Pak Vier, saya sudah menyiapkan sarapan Anda, Anda mau sarapan di ruang makan atau di taman?" tanya Pak Jo.
"Hmm, cuacanya nampak mendung, aku rasa aku sarapan di ruang makan saja," sahut Vier.
"Baik, akan segera saya siapkan," jawab Pak Jo.
"Oh ya, aku ingin sarapan bersama istriku, jadi, jemput dia ya," kata Vier.
Tasya dan Berlina saling melemparkan pandangan mereka.
Wanita itu benar-benar istri Pak Vier?
Vier melangkah menuju ke ruang makan, sesampainya di ruang makan, ia segera duduk di kursi.
Mike menghampirinya lalu menyerahkan surat kabar pagi. Vier mengambil surat kabar dan membolak-balik halamannya. Membaca sekilas topik utama yang saat ini sedang marak diperbincangkan.
"Pak Vier," Pak Jo melangkah tergesa-gesa menghampiri Vier.
"Ada apa, Pak Jo?" tanya Vier keheranan.
"Maaf, Pak, saya tidak menemukan Bu Vaya di paviliun barat, menurut informasi dari penjaga, pagi-pagi sekali, Bu Vaya sudah pergi," jawab Pak Jo.
Vier mengerutkan kedua alisnya. Ia menelengkan kepalanya ke arah Mike.
"Saya akan menghubungi Bu Vaya," kata Mike cepat-cepat mengambil gawai cerdasnya.
"Pak Jo, siapa yang mengizinkan Vaya pergi tanpa izin dariku?" tanya Vier.
"Maaf, Pak Vier," kata Pak Jo menunduk dalam.
"Siapa petugas yang menjaga pintu gerbang?" tanya Vier.
"Baik, Pak Vier, akan saya cari tahu," jawab Pak Jo.
Ekspresi Vier berubah masam ketika melihat jam tangannya.
"Baiklah, Pak Jo, kumpulkan petugas itu malam ini," kata Vier.
"Baik, Pak Vier," sahut Pak Jo dengan wajah yang memucat.
"Dasar wanita itu! Benar-benar tidak bisa diatur!" keluh Vier.
...*****...
Vaya sudah tiba di kantornya tepat waktu. Untunglah ia sudah pergi meninggalkan rumah Vier di pagi buta tatkala ayam jantan pun belum berkokok.
Vaya harus berangkat lebih awal, mengingat bahwa rumah Vier benar-benar jauh dan macam terisolasi dari peradaban. Kawasan yang begitu privat hingga berada di luar jangkauan ojek daring.
Vaya lebih dulu singgah ke messnya yang berjarak sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki. Ia juga menyempatkan diri untuk berganti pakaian kemudian mengemasi beberapa pakaiannya.
Ia pikir lebih baik baginya untuk hidup terpisah dari Vier daripada harus jadi korban perundungan pria itu. Toh, pernikahan mereka sudah jelas hanyalah sebuah status semata.
"Mbak Vaya, bagaimana, sudah lebih baik setelah mengambil cuti?" tanya Evi.
Vaya yang sedang sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kerjanya segera menoleh ke arah Evi.
"Hehe, yah, lumayan, tapi melihat pekerjaan yang sudah menumpuk ini, rasanya aku jadi menyesal telah mengambil cuti," Vaya terkekeh.
"Jadi, cuti kemarin ke mana, Mbak Vaya? Pulang ke rumah orang tua?" tanya Evi.
"Hmm, ya, begitulah," jawab Vaya.
Vaya menyeringai, ia tidak mungkin secara terus terang mengaku bahwa mengambil cuti untuk menikah. Bisa-bisa terjadi kegemparan yang sejatinya tidak diperlukan.
Ponsel Vaya kembali berdering, memunculkan nama Mike.
Vaya memejamkan matanya, enggan untuk menjawab telepon itu.
"Mbak Vaya? Kok tidak dijawab?" tanya Evi.
"Aduh, malas, paling ini telepon dari telemarketing asuransi," sahut Vaya.
"Sini, Mbak, biar aku saja yang jawab, aku ahli menolak telemarketing," Evi menawarkan.
"Haha, tidak perlu, Evi," sahut Vaya.
Kling..
Sebuah pesan muncul di layar gawai cerdas Vaya, Vaya melotot membaca pesan tersebut.
Bu Vaya, jika Anda tidak menjawab telepon saya, polisi akan datang menjemput Anda.
Vaya segera keluar dari ruang kerjanya, menuju ke tangga darurat untuk menjawab teleponnya yang kembali berdering.
"Halo, Pak Mike, kenapa polisi harus menjemputku? Memangnya aku salah apa?" cerocos Vaya.
"Bu Vaya, maaf, tapi ini perintah Pak Vier," kata Mike. "Pak Vier berpikir bahwa Anda kabur begitu saja."
"Pak Mike, aku tidak kabur! Aku pergi bekerja!" sahut Vaya.
"Bu Vaya, tetap saja Pak Vier menganggap Anda kabur karena Anda pergi tanpa seizin beliau," ucap Mike.
"Aduh! Dasar Vier!" keluh Vaya. "Pak Mike, tolong sampaikan pada Vier, aku tidak kabur, aku hanya pergi bekerja! Aku pasti akan pulang setelah pekerjaanku selesai," kata Vaya sebelum menutup teleponnya.
"Huhh! Dasar Vier! Dia kenapa sih?!" gerutu Vaya.
...*****...
"Terima kasih," ucap Vaya kepada seorang sopir yang membukakan pintu untuknya.
Sopir tersebut diutus untuk menjemput Vaya. Suasana tegang seketika terasa begitu Vaya memasuki lobi paviliun utama.
Mata Vaya tertuju pada dua orang petugas keamanan yang berlutut sambil menangis dengan kedua tangan yang diborgol.
"Oh, kau sudah kembali."
Vier menyambut Vaya dengan seringaian horor.
"Vier, ada apa ini?" tanya Vaya keheranan.
Kedua petugas keamanan itu langsung melayangkan tatapan mereka pada Vaya.
"Nyonya! Maafkan kami! Maafkan kami!" seru mereka.
"Tunggu, ada apa ini?"
"Mereka seperti ini karena kebohongan Anda, Bu Vaya," sahut Mike.
"Apa? Kebohonganku?"
"Mereka adalah petugas keamanan yang bertugas saat Anda meninggalkan rumah pagi ini," Mike menjelaskan.
"Tunggu, aku benar-benar tidak mengerti," kata Vaya.
"Vaya, bukankah aku sudah melarangmu untuk pergi dari rumah ini tanpa izin dariku? Tapi kau justru melanggarnya!" Vier menyeringai.
"Vier, aku tidak kabur! Aku hanya pergi bekerja!" Vaya membela diri.
"Mau kau pergi bekerja, mau kau pergi ke neraka! Kau tetap saja pergi dari rumah ini tanpa seizinku! Dan mereka membantumu pergi setelah kau berbohong kepada mereka bahwa kau adalah pelayan yang mau pergi ke pasar! Haha!" Vier tertawa sinis.
"Sungguh lancang sekali mereka! Lancang!" seru Vier menggelegar.
"Maafkan kami! Maafkan kami, Pak!" salah satu petugas kembali menangis ketakutan.
"Pak, tolong maafkan kami, kami hanya tidak tahu bahwa beliau ini adalah istri Anda!" petugas yang lain membela diri.
"Aku tidak peduli, mereka berdua bersalah, dan mereka berdua harus dijebloskan ke penjara!" sahut Vier enteng.
"Pak, tolong, Pak! Saya tidak mau dipenjara! Saya punya tiga anak yang masih kecil-kecil!"
"Pak, istri saya baru saja melahirkan anak keempat! Bagaimana nasib anak-anak saya kalau saya dipenjara?!"
"Aku tidak peduli! Itu salah kalian!" sahut Vier sambil menyeringai horor.
"Pak maaf, Pak, ampuni kami, Pak!"
"Vier, cukup!" sergah Vaya.
Vaya menatap Vier dengan tatapan jengah. Ia benar-benar kesal dengan sikap kekanak-kanakan Vier.
"Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini?! Mereka tidak bersalah dan kenapa kau menyalahkan mereka?" sergah Vaya.
Vier mengulas senyum sinisnya ke arah Vaya.
"Vaya, di mataku, salah tetaplah salah! Mereka sudah bersalah karena membiarkanmu pergi tanpa seizinku! Mereka juga bersalah karena percaya kebohonganmu! Mereka percaya bahwa kau adalah seorang pelayan!" tandas Vier.
"Vier, lepaskan mereka, mereka tidak bersalah! Aku yang salah!" ucap Vaya.
Puas kau, Vier?! Puas! Maki Vaya dalam hati.
Vier menyeringai.
"Baiklah, aku akan melepaskan mereka, tapi dengan satu syarat," sahut Vier.
Vaya kembali tertegun saat Vier menjentikkan jarinya ke arah Mike. Mike dengan sigap mengeluarkan sebuah amplop.
Vaya bisa menebak isi amplop itu tanpa perlu membukanya. Isinya pastilah kontrak perbudakan birahi pria itu.
Ya, pasti itu! Vaya membatin kesal.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Hanum Anindya
waduh kenapa sih vier harus begitu sama vaya sih. edisi pengen jitak
2022-11-05
0
Kar Genjreng
Vier nanti jadi suka lo ha ha😂😂... ngejek kin Vaya terus..... sudah terima🙏💕 tanda tangan...... sekalian ijin kerja
2022-07-06
0
YouTrie
Sasar Vier 🤣🤣🤣
2022-05-25
0