Adhisti

Adhisti

Bab 1

Jeder ... bak petir di siang bolong, Menik mendengar ayahnya pergi untuk menemui seorang gadis, adik ipar temannya. Perasaan tak enak menghampirinya. Dia belum siap ada penghuni baru di kamar mendiang ibunya.

Menik menunggu ayah nya yang tak kunjung pulang, padahal besok dia harus berangkat ke kuliah. Tak terasa waktu bergulir hingga senja, Menik memikirkan dengan uang darimana dia bisa berangkat ke kota S. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya.

"Assalamualaikum mas Sugeng, ehm ... Menik mau nanya, mas berangkat dari rumah mbak Imah jam berapa? Menik boleh numpang ke kampus?" tanya Menik.

"Waalaikumsalam, Menik kebiasaan, mas belum jawab salamnya udah nyerocos seperti kereta api. Kebetulan nanti jam tujuh malam dari sini, kira-kira jam delapan sampai rumah Menik. Siap-siap saja ntar mas jemput," ucap Sugeng.

"Alhamdulillah ... makasih mas. Menik janji sudah siap waktu mas jemput. Udah dulu ya mas, Menik mau siap-siap. Takut mas tinggal."

Menik segera menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke kota S. Ada hal yang membuat Menik gamang. Uang di dompet tersisa tiga puluh ribu.

Cukupkah untuk keperluan seminggu dan untuk ongkos pulang? batin Menik. Masak aku harus mengambil uang tabungan peninggalan ibu. Nggak aku tak boleh mengambilnya. Karena meski sakitpun ibu tak pernah menggunakannya. Aku harus menjaga amanah itu. Biarlah aku coba untuk mencukupkan tiga puluh ribu selama seminggu.

Bukankah nanti dia akan berangkat dengan mas Sugeng, sehingga menghemat ongkos bus. Dan untuk pulang minggu depan, semoga pas bertepatan dengan mas Sugeng ke rumah istrinya.

Tin ... tin ... tin ...

Terdengar klakson mobil di luar pagar, segera Menik menyambar jilbab dan memanggul tas nya. Di luar sudah ada Mas Sugeng.

"Ayo Nik, cepetan keburu tengah malam sampai di kos," teriak Sugeng dari dalam mobil.

Tepat pukul sepuluh malam Menik sampai di kos-an. Untung Menik diberikan kunci cadangan oleh ibu kos, sehingga dia bisa langsung naik ke kamar. Suasana sepi kos membuatnya sedikit merinding. Dengan tergesa dia putar kunci kamar dan segera masuk. Setelah membersihkan diri, Menik mengistirahatkan badannya di atas kasur ukururan tiga berseprai tweety.

Malam kian larut, namun Menik masih belum bisa memejamkan mata. Gelisah hati membuatnya tak bisa tertidur. Memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena tak kunjung juga terpejam, dia pun mengambil air wudu, menggelar sajadah, bermunajat kepada-NYA sang penulis takdir. Untaian doa dia rapalkan. Tak pernah terlupa untaian doa terindah untuk ibu yang telah meninggalkannya.

Air mata Menik luruh mengingat ibu yang telah tiada. Rasanya baru kemarin dia bermanja-manja. Namun takdir kematian telah memisahkannya. Sanggupkah Menik melihat perempuan lain di kamar itu. Kamar yang menjadi saksi perjuangan ibu melawan kanker yang mematikan.

Setelah mengadukan semua yang ada dalam pikirannya, dia pun menggulung sajadah dan melipatnya dengan rapi. Menik berusaha memejamkan mata. Lambat laut mata sipit itu terpejam.

Beb ... beb ... beb ...

Dering ponsel membangunkannya. Dia raba nakas di samping tempat tidur, matanya menyipit melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ayah, ngapain nelpon subuh-subuh, batin Menik. Jari lentik itu menggeser tombol ke arah merah. Masih malas untuk bicara dengan ayah. Ada sesak di dada karena ayah sudah menduakannya.

Ponsel itu terus berdering, dengan cepat Menik mematikannya. Biar ayah tahu kalau dia sedang marah. Tak lama sebuah pesan masuk. Menik melihat sekilas tanpa membuka pesan itu. Tertulis pesan dari ayah. Menik angkat telepon ayah. Huft ... Menik menghela napas panjang. Tapi dia masih enggan untuk menelepon ayahnya.

Menik segera mandi dan siap-siap berangkat ke kampus. Ah malesnya mau naik motor sendiri. Mending chat teman minta jemput, batin Menik.

Menik: Assalamualaikum Fen, ntar aku nebeng ke kampus ya, lagi males bawa motor.

Fendi: Oke. Ini aku baru mau berangkat

Menik: Siap. Aku tunggu di atas. Ntar begitu kamu kelihatan, aku turun. Makasih

Menik menunggu di samping jemuran sembari melihat ke arah jalanan. Begitu Fendi terlilhat, dia pun turun. Segera mereka berangkat ke kampus. Karena tak biasa berangkat bareng, maka banyak teman di kampus terkejut dengan kebersamaan mereka.

"Cie ... cie ..." sorak teman-teman kampus. Namun Menik dan Fendi melenggang dengan santai sambil tersenyum. Menambah rasa penasaran teman-temannya. Dan tanpa mereka sadari ada hati yang terbakar melihat kebersamaan mereka.

Sampai di kelas, Menik segera mengambil tempat duduk dengan Dwi, Mimi, dan Ince.

"Nik ... Menik ... sini dulu kamu!" panggil Hera sambil menarik tangannya.

"Apaan sih!" kesal Menik karena Hera menarik-narik tangannya.

Hera menarik Menik untuk duduk di sudut ruang kelas, menjauh dari tempat duduk mahasiswa yang lainnya.

"Nik, kamu ada hubungan apa dengan kak Fendi?" tanya Hera menyelidik.

"Emang kenapa, salah kalau aku tadi di jemput Fendi. Ngapain juga kamu nanya-nanya. Toh Fendi mau kok jemput aku," seloroh Menik.

"Ais ... bukan begitu Nik, kamu itu memang makhluk paling cuek. Nggak sadar kamu kalu ada anak yang terbakar hatinya," terang Hera.

"Hah ... siapa Her?" tanya Menik Penasaran

Plak ... plak ... plak ... pukulan mendarat di pundak Menik.

"Aduh ... kamu apa-apaan Her ... sakit tahu." keluh Menik sambil mengelus pundaknya.

"Nik ... memang kamu itu perlu ditonjok. Cobalah kamu peka sedikit dengan keadaan. Ada cowok yang suka sama kamu, tapi kamu cuekin seperti itu. Kasihan aku melihatnya." terang Hera.

"Siapa sih Her? Coba kasih tahu, aku beneran nggak tahu," tanya Menik

"Hadeh ..." Hera menepuk jidatnya. Susah punya teman nggak peka. Keluh Hera sambil berjalan menuju mejanya.

"Her ... Hera ... kok malah pergi," teriak Menik

Hera yang dipanggil hanya cuek dan langsung duduk di dekat Yanto pacarnya. Namun sebelum duduk Hera masih sempat menoleh dan menjulurkan lidahnya ke Menik.

Setelah berkutat dengan Semantik dan Morfologi akhirnya waktu makan tiba. Empat sekawan itupun melenggang ke kantin. Dan seperti biasa Ince membuat keributan.

"Yu Sri ... seperti biasa mie ayam empat, es teh empat, di meja pojokan," teriak Ince

"Ya ... sebentar," jawab Yu Sri sambil memasukkan mie ke dalam klakat berisi air mendidih. Dengan telaten wanita tigapuluh tahunan itu meracik mie ayam ke dalam mangkok. Dan setelah lengkap disusunlah mangkok-mangkok itu di atas nampan.

"Eh ... Mi ... tadi Hera bilang ada anak yang terbakar hatinya saat aku boncengan sama Fendi. Kan bukan salahku kalau hatinya terbakar. Salah siapa nggak mau ngomong kalau suka."

"Nik ... Menik ... kamu itu memang nggak peka dan lola. Coba kamu itu agak peka sedikit dan lolanya jangan kebangetan," sindir Dwi.

"Aku nggak minta pendapatmu Jeng, yang ku tanya Mimi ... eh malah Diajeng Bayik yang nyahut," kesal Menik

"Udah-udah. Kalian berdua ini memang nggak bisa kalau nggak berdebat," pisah Mimi.

"Tapi Nik, yang dikatakan Dwi itu benar. Kasihan sama itu cowok, udah kasih perhatian lebih ke kamu tapi kamunya cuek. Dan kamu itu kalau bisa jangan PHP-in dia. Kasihan tahu," terang Mimi panjang lebar.

"Mimiku sayang, kalau aku tahu siapa dia, pasti aku nggak mau dekat-dekat dia. Lha ini aku masih abu-abu siapa dia."

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

aku mampir kak. baru mulai baca, kelihatannya menarik

2022-06-03

0

Your name

Your name

Kira-kira siapanya yang kepanasan?

2022-05-30

1

Juliani gusung

Juliani gusung

Saya mampir thor...

2022-05-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!