Bab 3

Senja menjelang, semburat jingga di ujung barat. Tak terasa sudah di ujung minggu. Saatnya Menik pulang ke rumah. Tapi kali ini Menik malas untuk pulang. Padahal biasanya dia selalu menunggu untuk pulang bertemu dengan ayahnya.

Jumat siang Menik putuskan untuk pulang. Siap dengan segala rencana ayah meski hati berat.

Satu jam sepuluh menit Menik sampai di kota kelahirannya.

Teng ... teng ... teng ...

"Ayah ... Ayah ... buka pagarnya." seru Menik sembari memukulkan gembok berwarna silver ke besi pagar. Sudah empat tahun ini dia tak bisa lagi memanggil ibu untuk mebukakan pagar. Kanker ganas telah memisahkannya.

Teng ... teng ...

Menik kembali memukulkan gembok, karena belum ada jawaban dari dalam rumah.

"Ayah kemana ya? Tumben jam segini tidak di rumah. Atau Aku panjat pagar saja." monolog Menik.

Belum sampai kedua kakinya turun dari pagar besi, tiba-tiba terdengar teguran.

"Mbak Menik ngapain manjat pagar ... ayo turun, nggak enak di lihat orang. Masak cewek jago panjat pagar." tegur Pak Aji sambil menahan senyum dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Menik yang tak berubah sedari kecil. Pak Aji sudah hapal dengan hobi panjat agar dan panjat pohon Menik.

"He ... he .... Pak Aji kagetin Menik. Untung Menik nggak jatuh. Coba Pak Aji negurnya pas Menik sudah sampai bawah. Ini baru berhasil manjat belum berhasil turun sudah di tegur." jawabnya sambil menahan malu.

"Pak Aji, tahu ayah kemana nggak?" tanya Menik.

"Oh ... Pak Broto tadi saya lihat pergi ke rumah Pak RT. Mau urus surat-surat ujarnya." terang pak Aji.

Menik tak bisa menjawab perkataan pak Aji. Tak terasa cairan hangat mengalir turun di pipi. cepat-cepat Menik menghapusnya, sebelum ketahuan Pak Aji. Padahal Pak Aji sudah melihatnya. Namun beliau sengaja tidak menegurnya. Takut Menik tambah sedih.

"Ya sudah mbak Menik, saya pulang dulu. Ingat jangan panjat pagar. Sebentar lagi Pak Broto pulang. Atau mbak Menik mau ke rumah saya dulu. Kebetulan Rani ada di rumah."

"Terima kasih Pak, biar Menik tunggu ayah saja." jawabnya

Tak berselang lama, terlihat motor Pak Broto mendekat. Pria paruh baya itu tersenyum melihat anak semata wayangnya. Namun Gadis itu tak menghiraukannya. Pak Broto hanya bisa menghela napas. Beliau paham dengan sifat anak gadisnya apabila sedang merajuk.

Pintu pagar terbuka. Menik memindahkan motor ke dalam garasi, dan segera masuk kamar serta menguncinya. Dia masih malas untuk berbicara dengan ayahnya.

Hingga Isya Menik masih berdiam diri di kamar. Merenung sambil menatap gambarnya bersama mendiang ibu.

Tok ... tok ... terdengar ketukan pintu kamar.

"Nduk ... ini ayah ... buka pintunya." ucap ayah dari balik pintu.

Dengan enggan Menik bangkit dari sajadah, melipat dan menyimpannya.

Kriet ... terdengar pintu kamar terbuka. Pak Broto langsung tersenyum melihat anak gadisnya mau membuka pintu kamarnya.

"Boleh ayah masuk?" pinta Pak Broto.

Tanpa menjawab Menik membuka lebar pintu kamar dan duduk di atas kasur peninggalan mendiang ibu.

"Nduk ... ayah mau bicara penting, tolong jangan disela sampai ayah selesai bicara." ujar pak Broto.

Menik masih bergeming, acuh dengan Pak Broto.

"Nduk ayah mau nikah lagi. Ayah kesepian kalau kamu kuliah. Ayah butuh teman. Dan Ayah harap kamu setuju dengan keputusan Ayah. Karena Ayah sudah melamarnya, jadi mau tidak mau kamu harus terima." jelas Pak Broto.

"Kalau memang ayah tak butuh pendapat Menik ... ngapain ayah cerita. Tak ada gunanya bukan? Toh Menik sudah dianggap nggak ada di dunia ini. Terserah ayah ... mau menikah atau nggak Menik tidak peduli. Memangnya Ayah pikir hanya ayah yang butuh pendamping. Menik juga masih butuh ibu. Tapi bukan seperti ini jalannya Yah. Baik ... karena Menik sudah tak dianggap, mending Menik pergi dari rumah. Terserah Ayah maunya apa. Mau nikah silakan ... Menik tak peduli lagi." ketus Menik.

Setelah itu Menik langsung berlari menuju kamar mendiang ibunya. Dia masukkan satu persatu baju dan barang-barang peninggalan ibunya dalam kardus. Diangkatnya kardus-kardus itu ke dalam kamarnya. Sambil menangis Menik memindahkan semua barang mendiang ibunya. Pak Broto bergeming, hanya memandang Menik.

Tengah malam semua barang-barang telah berpindah ke kamar Menik. Dia pun menyandang tas ransel, memakai jaket dan mengambil kontak motor. Tanpa pamitan dia lajukan si hitam kesayangannya membelah malam. Hilang semua rasa takutnya ketika harus membelah hutan monggot yang terkenal dengan keangkerannya. Rasa sedih mengalahkan rasa takutnya.

Sampai di pintu lintasan , Menik berputar arah kembali ke desa G. Tepat pukul dua dini hari Menik berada dipusara ibunya. Dia peluk erat nisan itu. Dielus-elusnya seakan-akan mengelus ibunya. Luruh tangis Menik di sana. Tak peduli lagi kicauan burung hantu dan tatapan makhluk-makhluk astral di sana. Bagi Menik saat ini dia hanya ingin dekat dengan ibunya. Meski sebatas memeluk nisannya.

Lelah menangis, Menik tertidur beralaskan daun kering. Kepalanya bersandar di atas nisan ibunya.

Tok ... tok .. tok ...

"Mbah Minto ... Mbah ... buka pintunya!"

Terdengar ketukan dan teriakan di balik pintu. Tergopoh-gopoh Mbah Minto berlari menuju pintu. Melihat siapa yang datang. Biasanya kalau subuh ada yang ketuk-ketuk pintu, ada orang yang minta bantuan untuk melahirkan. Kebetulan mbah Minto dukun beranak.

Kriet ... Pintu tua itu berderit nyaring saat terbuka. Dan terlihatlah sosok kang Doweh di balik pintu.

"Lha dalah ... ono opo tho Weh ... dodokin lawang isuk-isuk. Sopo sing arep lairan kok kethoke awakmu kesusu." ujar mbah Minto.

"Bukan mbah ... saya ke sini bukan karena ada yang mau lairan, tapi ..."

"Tapi kenapa?" kejar mbah Minto

"Anu mbah ... anu ..."

"Iya ... anu kenapa Doweh!" bentak mbah Minto. Beliau tak sabar melihat Doweh yang tak kunjung menyampaikan maksud kedatangannya.

"Anu mbah ... genduk Menik tidur di atas kijing budhe Asih." jelas Doweh

Seketika mbah Minto terkejut, langsung mengangkat jariknya berjalan menuju kuburan. Netra tuanya menangkap siluet cucu kesayangannya, tertidur lelap memeluk nisan menantunya.

Perlahan mbah Minto mendekati Menik yang masih lelap. Menik begitu damai bisa tidur di samping nisan ibunya. Jemari keriput menepuk pundak Menik.

"Nduk ... Genduk." panggil Mbah Minto.

Menik seperti mimpi ada yang memanggil dan mengelus pundaknya. Semoga bukan mbak Darmi yang mengelus pundakku batin Menik. Ragu-ragu dia membuka mata. Tapi karena usapan di punggungnya telah berubah menjadi tepukan, dia pun segera membuka matanya.

Mata sipit keturunan bu Asih mengerjab perlahan, memastikan benar mbah Minto yang berada di hadapannya, bukan mbak Darmi legenda penunggu kuburan.

"Mbah .. Simbah." hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Dia langsung menubruk tubuh renta mbah Minto. Yang membuat mbah Minto sedikit terhuyung. Untung Kang Doweh sigap menyangga tubuh renta itu, sehingga tak terjungkal menyentuh tanah.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

kalau aku sudah pasti nggak berani ke makam malam². pagi saja ngeri, apalagi malam hari

2022-06-08

0

Anonymous

Anonymous

awas jatuh nik, ntar tersangkut di pagar

2022-06-08

0

Pujiati

Pujiati

Ujian Kesetiaan hadir lagi kak

2022-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!