NovelToon NovelToon

Adhisti

Bab 1

Jeder ... bak petir di siang bolong, Menik mendengar ayahnya pergi untuk menemui seorang gadis, adik ipar temannya. Perasaan tak enak menghampirinya. Dia belum siap ada penghuni baru di kamar mendiang ibunya.

Menik menunggu ayah nya yang tak kunjung pulang, padahal besok dia harus berangkat ke kuliah. Tak terasa waktu bergulir hingga senja, Menik memikirkan dengan uang darimana dia bisa berangkat ke kota S. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya.

"Assalamualaikum mas Sugeng, ehm ... Menik mau nanya, mas berangkat dari rumah mbak Imah jam berapa? Menik boleh numpang ke kampus?" tanya Menik.

"Waalaikumsalam, Menik kebiasaan, mas belum jawab salamnya udah nyerocos seperti kereta api. Kebetulan nanti jam tujuh malam dari sini, kira-kira jam delapan sampai rumah Menik. Siap-siap saja ntar mas jemput," ucap Sugeng.

"Alhamdulillah ... makasih mas. Menik janji sudah siap waktu mas jemput. Udah dulu ya mas, Menik mau siap-siap. Takut mas tinggal."

Menik segera menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke kota S. Ada hal yang membuat Menik gamang. Uang di dompet tersisa tiga puluh ribu.

Cukupkah untuk keperluan seminggu dan untuk ongkos pulang? batin Menik. Masak aku harus mengambil uang tabungan peninggalan ibu. Nggak aku tak boleh mengambilnya. Karena meski sakitpun ibu tak pernah menggunakannya. Aku harus menjaga amanah itu. Biarlah aku coba untuk mencukupkan tiga puluh ribu selama seminggu.

Bukankah nanti dia akan berangkat dengan mas Sugeng, sehingga menghemat ongkos bus. Dan untuk pulang minggu depan, semoga pas bertepatan dengan mas Sugeng ke rumah istrinya.

Tin ... tin ... tin ...

Terdengar klakson mobil di luar pagar, segera Menik menyambar jilbab dan memanggul tas nya. Di luar sudah ada Mas Sugeng.

"Ayo Nik, cepetan keburu tengah malam sampai di kos," teriak Sugeng dari dalam mobil.

Tepat pukul sepuluh malam Menik sampai di kos-an. Untung Menik diberikan kunci cadangan oleh ibu kos, sehingga dia bisa langsung naik ke kamar. Suasana sepi kos membuatnya sedikit merinding. Dengan tergesa dia putar kunci kamar dan segera masuk. Setelah membersihkan diri, Menik mengistirahatkan badannya di atas kasur ukururan tiga berseprai tweety.

Malam kian larut, namun Menik masih belum bisa memejamkan mata. Gelisah hati membuatnya tak bisa tertidur. Memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena tak kunjung juga terpejam, dia pun mengambil air wudu, menggelar sajadah, bermunajat kepada-NYA sang penulis takdir. Untaian doa dia rapalkan. Tak pernah terlupa untaian doa terindah untuk ibu yang telah meninggalkannya.

Air mata Menik luruh mengingat ibu yang telah tiada. Rasanya baru kemarin dia bermanja-manja. Namun takdir kematian telah memisahkannya. Sanggupkah Menik melihat perempuan lain di kamar itu. Kamar yang menjadi saksi perjuangan ibu melawan kanker yang mematikan.

Setelah mengadukan semua yang ada dalam pikirannya, dia pun menggulung sajadah dan melipatnya dengan rapi. Menik berusaha memejamkan mata. Lambat laut mata sipit itu terpejam.

Beb ... beb ... beb ...

Dering ponsel membangunkannya. Dia raba nakas di samping tempat tidur, matanya menyipit melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ayah, ngapain nelpon subuh-subuh, batin Menik. Jari lentik itu menggeser tombol ke arah merah. Masih malas untuk bicara dengan ayah. Ada sesak di dada karena ayah sudah menduakannya.

Ponsel itu terus berdering, dengan cepat Menik mematikannya. Biar ayah tahu kalau dia sedang marah. Tak lama sebuah pesan masuk. Menik melihat sekilas tanpa membuka pesan itu. Tertulis pesan dari ayah. Menik angkat telepon ayah. Huft ... Menik menghela napas panjang. Tapi dia masih enggan untuk menelepon ayahnya.

Menik segera mandi dan siap-siap berangkat ke kampus. Ah malesnya mau naik motor sendiri. Mending chat teman minta jemput, batin Menik.

Menik: Assalamualaikum Fen, ntar aku nebeng ke kampus ya, lagi males bawa motor.

Fendi: Oke. Ini aku baru mau berangkat

Menik: Siap. Aku tunggu di atas. Ntar begitu kamu kelihatan, aku turun. Makasih

Menik menunggu di samping jemuran sembari melihat ke arah jalanan. Begitu Fendi terlilhat, dia pun turun. Segera mereka berangkat ke kampus. Karena tak biasa berangkat bareng, maka banyak teman di kampus terkejut dengan kebersamaan mereka.

"Cie ... cie ..." sorak teman-teman kampus. Namun Menik dan Fendi melenggang dengan santai sambil tersenyum. Menambah rasa penasaran teman-temannya. Dan tanpa mereka sadari ada hati yang terbakar melihat kebersamaan mereka.

Sampai di kelas, Menik segera mengambil tempat duduk dengan Dwi, Mimi, dan Ince.

"Nik ... Menik ... sini dulu kamu!" panggil Hera sambil menarik tangannya.

"Apaan sih!" kesal Menik karena Hera menarik-narik tangannya.

Hera menarik Menik untuk duduk di sudut ruang kelas, menjauh dari tempat duduk mahasiswa yang lainnya.

"Nik, kamu ada hubungan apa dengan kak Fendi?" tanya Hera menyelidik.

"Emang kenapa, salah kalau aku tadi di jemput Fendi. Ngapain juga kamu nanya-nanya. Toh Fendi mau kok jemput aku," seloroh Menik.

"Ais ... bukan begitu Nik, kamu itu memang makhluk paling cuek. Nggak sadar kamu kalu ada anak yang terbakar hatinya," terang Hera.

"Hah ... siapa Her?" tanya Menik Penasaran

Plak ... plak ... plak ... pukulan mendarat di pundak Menik.

"Aduh ... kamu apa-apaan Her ... sakit tahu." keluh Menik sambil mengelus pundaknya.

"Nik ... memang kamu itu perlu ditonjok. Cobalah kamu peka sedikit dengan keadaan. Ada cowok yang suka sama kamu, tapi kamu cuekin seperti itu. Kasihan aku melihatnya." terang Hera.

"Siapa sih Her? Coba kasih tahu, aku beneran nggak tahu," tanya Menik

"Hadeh ..." Hera menepuk jidatnya. Susah punya teman nggak peka. Keluh Hera sambil berjalan menuju mejanya.

"Her ... Hera ... kok malah pergi," teriak Menik

Hera yang dipanggil hanya cuek dan langsung duduk di dekat Yanto pacarnya. Namun sebelum duduk Hera masih sempat menoleh dan menjulurkan lidahnya ke Menik.

Setelah berkutat dengan Semantik dan Morfologi akhirnya waktu makan tiba. Empat sekawan itupun melenggang ke kantin. Dan seperti biasa Ince membuat keributan.

"Yu Sri ... seperti biasa mie ayam empat, es teh empat, di meja pojokan," teriak Ince

"Ya ... sebentar," jawab Yu Sri sambil memasukkan mie ke dalam klakat berisi air mendidih. Dengan telaten wanita tigapuluh tahunan itu meracik mie ayam ke dalam mangkok. Dan setelah lengkap disusunlah mangkok-mangkok itu di atas nampan.

"Eh ... Mi ... tadi Hera bilang ada anak yang terbakar hatinya saat aku boncengan sama Fendi. Kan bukan salahku kalau hatinya terbakar. Salah siapa nggak mau ngomong kalau suka."

"Nik ... Menik ... kamu itu memang nggak peka dan lola. Coba kamu itu agak peka sedikit dan lolanya jangan kebangetan," sindir Dwi.

"Aku nggak minta pendapatmu Jeng, yang ku tanya Mimi ... eh malah Diajeng Bayik yang nyahut," kesal Menik

"Udah-udah. Kalian berdua ini memang nggak bisa kalau nggak berdebat," pisah Mimi.

"Tapi Nik, yang dikatakan Dwi itu benar. Kasihan sama itu cowok, udah kasih perhatian lebih ke kamu tapi kamunya cuek. Dan kamu itu kalau bisa jangan PHP-in dia. Kasihan tahu," terang Mimi panjang lebar.

"Mimiku sayang, kalau aku tahu siapa dia, pasti aku nggak mau dekat-dekat dia. Lha ini aku masih abu-abu siapa dia."

Bab 2

Pulang dari kampus Menik merebahkan badan di kasur. Dilihatnya ponsel di meja nakas perlahan dia ambil dan dilihatnya banyak telepon dan pesan dari ayahnya. Dengan enggan Menik menekan nomor ayah.

Tut ... tut ... tut ... tut .. bunyi nada sambung keempat masih belum diangkat oleh ayahnya. Wah kelihatannya gantian ayah yang ngambek sama Menik.

Dert ... dert ... dert ... ponsel Menik bergetar. Sengaja Menik tak mengaktifkan deringnya. Karena dia berkutat dengan tugas statistik yang harus dikumpul esok hari. Melihat nama yang tertera di layar ponsel, dia pun segera mengangkatnya, keburu ayah ngambek lagi.

"Assalamualaikum Menik," sapa Ayah.

"Waalaikumsalam. Tumben Ayah telepon Menik. Masih ingat kalau punya anak Yah?" ketus Menik karena masih kecewa dengan sikap ayah yang tidak jujur padanya.

"Waduh ... anak ayah ngambek. Ehm ... ada yang mau ayah bicarakan dengan Menik. Tapi tidak enak apabila lewat telepon. Ayah tunggu Menik pulang saja. Terus ayah mau sampaikan juga, kalau uang saku Menik sudah ayah transfer barusan. Maaf kemarin ayah lupa," jelas ayah.

Huft ... Menik menghela napas mendengar penjelasan ayah. Rasanya mau marah, tapi lidah Menik kelu.

"Terima kasih ayah masih ingat Menik. Dan Menik sudah tahu apa yang akan ayah bicarakan. Sampai kapanpun Menik nggak akan rela posisi ibu digantikan siapapun," lirih Menik menjawab sembari menahan isak tangis dan jempolnya menggeser ke arah ikon berwarna merah.

Lagi-lagi ponsel itu terus berdering. Panggilan dari Ayah. Namun dia bergeming, hanya dilirik ponsel itu. Karena merasa terganggu akhirnya ponsel di non aktifkan olehnya.

Konsentrasi Menik pun buyar, angka-angka itu terlihat kabur. Air mata luruh perlahan membahasi pipi. Perlahan dia buka dompet. Dipandanginya wajah ayu nan teduh dalam potret hitam putih yang tersimpan rapi di dompet maupun ingatannya.

"Ibu ... ibu ... mengapa tega ninggalin Menik. Menik kangen ibu. Kangen dengan semuanya. Ibu tahu nggak, ayah sekarang sudah tak sayang lagi sama Menik. Ayah sudah punya tambatan hati. Belum menikah saja Menik sudah terasingkan, apalagi kalau ayah beneran menikah. Menik nggak mau ibu. Menik mau ikut ibu saja." ucap Menik di sela tangisnya.

Terlalu lama Menik menangis, dia pun tertidur dengan memeluk foto mendiang ibu nya.

Kukuruyuk ... kukuruyuk ... terdengar ayam bapak kos berkokok menandakan pagi menjelang. Perlahan Menik membuka matanya yang terasa lengket. Dengan mata separuh terpejam, dia pun menuju ke kamar mandi untuk berwudu, membentangkan sajadah dan bermunajat kepada sang penulis takdir. Dia curahkan semuanya. Pasrah akan semua takdir yang telah ditulis sang pemilik jagat raya.

Setelah puas bermunajat, Menik teringat tugas statistik yang belum terselesaikan. Dengan enggan dia buka lagi bukunya, perlahan dia selesaikan tugas itu. Untung hari ini kuliah siang. Jadi Menik masih sempat untuk menyelesaikannya.

Hosh ... hos ... hosh ...

Menik terengah-engah karena berlari dari parkiran menuju ruang dosen. Dia melihat mobil sedan putih sudah memasuki parkiran. Dia bergegas menaruh tugas statistik di meja dosen. Bila keduluan dosen sampai di kantor, bisa-bisa harus ngulang semester depan.

"Menik ..." sapa dosen statistik.

"Eh Bapak ... selamat pagi pak," jawab Menik sambil tersenyum.

"Tumben pagi-pagi sudah masuk ruang dosen," tanya dosen penuh selidik. Karena beliau heran, Menik yg biasanya ngumpul jauh sebelum beliau datang, hari ini hampir terlambat mengumpulkan tugasnya.

"Oh ... eh ... itu Pak ... Menik baru saja ngumpul tugas di meja bapak," ucap Menik sambil menunduk. Waduh ketahuan lambat ngumpul tugas batin Menik

"Menik permisi dulu Pak, mau ke kelas," pamit Menik

Dosen itu mengangguk sambil memperhatikan mata mahasiswinya yang bengkak. Ada apa dengan anak ini, tak bisanya dia seperti ini batin dosen itu.

Sesampainya di depan kelas, ternyata kelas sudah ramai. Ketiga temannya pun sudah berkumpul di tempat favorit mereka. Menik pun menghampiri mereka. Dia langsung duduk di samping Ince.

Mimi, Dwi, dan Ince saling pandang melihat tingkah Menik yang aneh hari ini. Ince mengedikan bahunya saat Mimi dan Dwi bertanya lewat isyarat tentang Menik.

"Nik ... Menik ... kamu kenapa, tumben lambat. Biasanya kamu selalu yang nomor satu ngumpul tugas statistik." tanya Ince.

Menik mengangkat kepalanya sebentar dan meletakkannya lagi di atas kedua lipatan tangannya. Melihat Menik yang tak merespon, Ince menghela napas. Dari ketiga sahabatnya, dialah yang paling dekat dengan Menik. Dia biarkan Menik untuk menenangkan diri. Karena jika sudah siap, Menik pasti akan bercerita sendiri kepadanya.

Pengumuman ... pengumuman ... teriak ketua tingkat di depan kelas. Seketika kelas yang riuh langsung sunyi.Perhatian anak-anak pun terpusat padanya.

"Woi ... Kating ... ada apa?" teriak Kholil dari meja belakang.

"Mata kuliah Statistik dan Semantik hari ini diliburkan, karena dosen ada rapat mendadak." jelas ketua tingkat.

"Yes ..." kompak anak-anak menjawab pengumuman ketua tingkat.

Sontak kelas kembali riuh. Terdengar beberapa mahasiswa merencanakan langsung pulang dan ada beberapa yang berencana nonton bioskop. Namun Menik bergeming, dia masih sibuk dengan pikirannya.

Ince yang melihat sahabatnya begitu terpuruk hanya bisa diam menunggunya untuk berbagi cerita. Dwi dan Mimi sudah beranjak duluan menuju kantin kampus untuk bertemu yu Sri tersayang.

"Nik ..." panggil Ince sambil menyentuh pundak Menik.

"Kamu kenapa, mau cerita sama aku?"

Menik menoleh sekejab, dan kembali menunduk. Tak lama bahunya pun terguncang. Terdengar lirih isak Menik. Ince hanya bisa menepuk-nepuk pundak Menik.

Setelah beberapa saat, pundak Menik sudah mulai berhenti berguncang, isaknya pun tidak terdengar. Ince angsurkan tisu untuk mengusap sisa tangisnya. Menik menyambut tisu itu sambil tersenyum dan berucap terima kasih.

"Ce ... ayo ke kantin, aku lapar," ucap Menik.

"Ayo," jawab Ince sambil tersenyum dan menyandang tas.

Berdua mereka menyusuri lorong kampus menyusul dua sahabatnya yang sudah terlebih dulu ke kantin. Sepanjang jalan menuju kantin, Menik masih terdiam. Irit bicara, tak seperti biasa seperti burung prenjak yang tak berhenti berkicau.

"Ince ... Menik ... sini ... kita di sini," teriak Dwi sambil melambaikan tangannya.

Mereka berdua menghampiri meja Dwi. Sudah tersedia dua mangkok soto, tempe mendoan dan es jeruk favorit Ince dan Menik.

Mimi memandang Menik yang hanya mengaduk-aduk mangkok sotonya. Tak seperti biasanya yang lahap makan soto yu Sri. Hanya diaduk-aduk dengan pandangan kosong.

Mimi menyenggol Ince, menanyakan ada apa dengan Menik. Ince hanya menggeleng menjawab pertanyaan Mimi.

"Aku duluan ya teman ... ngantuk, mau lanjut bobok cantik di kos," seru Menik sambil beranjak dari kursi.

"Nik ... aku ikut ke kosmu boleh?" tanya ince sambil mengejar Menik yang melangkah menuju yu Sri untuk membayar.

"Boleh," sahut Menik sekilas.

Sesampainya di kos, mereka pun langsung merebahkan diri. Dan Menik pun masih diam.

Bab 3

Senja menjelang, semburat jingga di ujung barat. Tak terasa sudah di ujung minggu. Saatnya Menik pulang ke rumah. Tapi kali ini Menik malas untuk pulang. Padahal biasanya dia selalu menunggu untuk pulang bertemu dengan ayahnya.

Jumat siang Menik putuskan untuk pulang. Siap dengan segala rencana ayah meski hati berat.

Satu jam sepuluh menit Menik sampai di kota kelahirannya.

Teng ... teng ... teng ...

"Ayah ... Ayah ... buka pagarnya." seru Menik sembari memukulkan gembok berwarna silver ke besi pagar. Sudah empat tahun ini dia tak bisa lagi memanggil ibu untuk mebukakan pagar. Kanker ganas telah memisahkannya.

Teng ... teng ...

Menik kembali memukulkan gembok, karena belum ada jawaban dari dalam rumah.

"Ayah kemana ya? Tumben jam segini tidak di rumah. Atau Aku panjat pagar saja." monolog Menik.

Belum sampai kedua kakinya turun dari pagar besi, tiba-tiba terdengar teguran.

"Mbak Menik ngapain manjat pagar ... ayo turun, nggak enak di lihat orang. Masak cewek jago panjat pagar." tegur Pak Aji sambil menahan senyum dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Menik yang tak berubah sedari kecil. Pak Aji sudah hapal dengan hobi panjat agar dan panjat pohon Menik.

"He ... he .... Pak Aji kagetin Menik. Untung Menik nggak jatuh. Coba Pak Aji negurnya pas Menik sudah sampai bawah. Ini baru berhasil manjat belum berhasil turun sudah di tegur." jawabnya sambil menahan malu.

"Pak Aji, tahu ayah kemana nggak?" tanya Menik.

"Oh ... Pak Broto tadi saya lihat pergi ke rumah Pak RT. Mau urus surat-surat ujarnya." terang pak Aji.

Menik tak bisa menjawab perkataan pak Aji. Tak terasa cairan hangat mengalir turun di pipi. cepat-cepat Menik menghapusnya, sebelum ketahuan Pak Aji. Padahal Pak Aji sudah melihatnya. Namun beliau sengaja tidak menegurnya. Takut Menik tambah sedih.

"Ya sudah mbak Menik, saya pulang dulu. Ingat jangan panjat pagar. Sebentar lagi Pak Broto pulang. Atau mbak Menik mau ke rumah saya dulu. Kebetulan Rani ada di rumah."

"Terima kasih Pak, biar Menik tunggu ayah saja." jawabnya

Tak berselang lama, terlihat motor Pak Broto mendekat. Pria paruh baya itu tersenyum melihat anak semata wayangnya. Namun Gadis itu tak menghiraukannya. Pak Broto hanya bisa menghela napas. Beliau paham dengan sifat anak gadisnya apabila sedang merajuk.

Pintu pagar terbuka. Menik memindahkan motor ke dalam garasi, dan segera masuk kamar serta menguncinya. Dia masih malas untuk berbicara dengan ayahnya.

Hingga Isya Menik masih berdiam diri di kamar. Merenung sambil menatap gambarnya bersama mendiang ibu.

Tok ... tok ... terdengar ketukan pintu kamar.

"Nduk ... ini ayah ... buka pintunya." ucap ayah dari balik pintu.

Dengan enggan Menik bangkit dari sajadah, melipat dan menyimpannya.

Kriet ... terdengar pintu kamar terbuka. Pak Broto langsung tersenyum melihat anak gadisnya mau membuka pintu kamarnya.

"Boleh ayah masuk?" pinta Pak Broto.

Tanpa menjawab Menik membuka lebar pintu kamar dan duduk di atas kasur peninggalan mendiang ibu.

"Nduk ... ayah mau bicara penting, tolong jangan disela sampai ayah selesai bicara." ujar pak Broto.

Menik masih bergeming, acuh dengan Pak Broto.

"Nduk ayah mau nikah lagi. Ayah kesepian kalau kamu kuliah. Ayah butuh teman. Dan Ayah harap kamu setuju dengan keputusan Ayah. Karena Ayah sudah melamarnya, jadi mau tidak mau kamu harus terima." jelas Pak Broto.

"Kalau memang ayah tak butuh pendapat Menik ... ngapain ayah cerita. Tak ada gunanya bukan? Toh Menik sudah dianggap nggak ada di dunia ini. Terserah ayah ... mau menikah atau nggak Menik tidak peduli. Memangnya Ayah pikir hanya ayah yang butuh pendamping. Menik juga masih butuh ibu. Tapi bukan seperti ini jalannya Yah. Baik ... karena Menik sudah tak dianggap, mending Menik pergi dari rumah. Terserah Ayah maunya apa. Mau nikah silakan ... Menik tak peduli lagi." ketus Menik.

Setelah itu Menik langsung berlari menuju kamar mendiang ibunya. Dia masukkan satu persatu baju dan barang-barang peninggalan ibunya dalam kardus. Diangkatnya kardus-kardus itu ke dalam kamarnya. Sambil menangis Menik memindahkan semua barang mendiang ibunya. Pak Broto bergeming, hanya memandang Menik.

Tengah malam semua barang-barang telah berpindah ke kamar Menik. Dia pun menyandang tas ransel, memakai jaket dan mengambil kontak motor. Tanpa pamitan dia lajukan si hitam kesayangannya membelah malam. Hilang semua rasa takutnya ketika harus membelah hutan monggot yang terkenal dengan keangkerannya. Rasa sedih mengalahkan rasa takutnya.

Sampai di pintu lintasan , Menik berputar arah kembali ke desa G. Tepat pukul dua dini hari Menik berada dipusara ibunya. Dia peluk erat nisan itu. Dielus-elusnya seakan-akan mengelus ibunya. Luruh tangis Menik di sana. Tak peduli lagi kicauan burung hantu dan tatapan makhluk-makhluk astral di sana. Bagi Menik saat ini dia hanya ingin dekat dengan ibunya. Meski sebatas memeluk nisannya.

Lelah menangis, Menik tertidur beralaskan daun kering. Kepalanya bersandar di atas nisan ibunya.

Tok ... tok .. tok ...

"Mbah Minto ... Mbah ... buka pintunya!"

Terdengar ketukan dan teriakan di balik pintu. Tergopoh-gopoh Mbah Minto berlari menuju pintu. Melihat siapa yang datang. Biasanya kalau subuh ada yang ketuk-ketuk pintu, ada orang yang minta bantuan untuk melahirkan. Kebetulan mbah Minto dukun beranak.

Kriet ... Pintu tua itu berderit nyaring saat terbuka. Dan terlihatlah sosok kang Doweh di balik pintu.

"Lha dalah ... ono opo tho Weh ... dodokin lawang isuk-isuk. Sopo sing arep lairan kok kethoke awakmu kesusu." ujar mbah Minto.

"Bukan mbah ... saya ke sini bukan karena ada yang mau lairan, tapi ..."

"Tapi kenapa?" kejar mbah Minto

"Anu mbah ... anu ..."

"Iya ... anu kenapa Doweh!" bentak mbah Minto. Beliau tak sabar melihat Doweh yang tak kunjung menyampaikan maksud kedatangannya.

"Anu mbah ... genduk Menik tidur di atas kijing budhe Asih." jelas Doweh

Seketika mbah Minto terkejut, langsung mengangkat jariknya berjalan menuju kuburan. Netra tuanya menangkap siluet cucu kesayangannya, tertidur lelap memeluk nisan menantunya.

Perlahan mbah Minto mendekati Menik yang masih lelap. Menik begitu damai bisa tidur di samping nisan ibunya. Jemari keriput menepuk pundak Menik.

"Nduk ... Genduk." panggil Mbah Minto.

Menik seperti mimpi ada yang memanggil dan mengelus pundaknya. Semoga bukan mbak Darmi yang mengelus pundakku batin Menik. Ragu-ragu dia membuka mata. Tapi karena usapan di punggungnya telah berubah menjadi tepukan, dia pun segera membuka matanya.

Mata sipit keturunan bu Asih mengerjab perlahan, memastikan benar mbah Minto yang berada di hadapannya, bukan mbak Darmi legenda penunggu kuburan.

"Mbah .. Simbah." hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Dia langsung menubruk tubuh renta mbah Minto. Yang membuat mbah Minto sedikit terhuyung. Untung Kang Doweh sigap menyangga tubuh renta itu, sehingga tak terjungkal menyentuh tanah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!