Seharian Menik berdiam diri di kamar. Malas keluar kamar dan bertemu Sri Suketi. Menik takut tak bisa mengendalikan emosinya apabila Sri Suketi terus memancingnya. Dipandangnya ponsel yang masih membisu. "Mas Agus tumben belum telepon balik, atau pak Dewa lupa menyampaikan pesan Menik?" gumam Menik.
Lelah menunggu telepon dari Agus, akhirnya dia tertidur.
Dert ... dert ... ponsel Menik bergetar di atas nakas di samping tempat tidur. Dengan mata terpejam, tangannya menggapai gawai yang terus saja bergetar.
Klotak ... terdengar bunyi benda jatuh. Seketika mata Menik terbuka, membulat menyaksikan gawai kesayangannya mendarat dengan keras di atas lantai. Buru-buru diambil dan digesernya tombol hijau setelah tahu siapa yang menelepon.
"Halo, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam." jawab Menik
"Menik tadi telepon mas?" tanya Agus di sambungan telepon.
"Iya mas." jawab Menik malu-malu. Untung saja Agus nggak video call. Sehingga tidak melihat semburat merah yang muncul di pipi Menik. Sejak Agus menyatakan perasaannya, Menik jadi merasa canggung dengannya.
"Ada apa, tumben telepon aku duluan, kangen ya? Padahal belum ada dua puluh empat jam aku tak menghubungimu. Ternyata aku ngangenin kan." goda Agus
"Ish ... ish ... Mas Agus ke ge-eran. Siapa juga yang kangen!" elak Menik. "Menik itu cuma takut mas marah gara-gara Menik belum kasih jawaban. Kan biasanya mas Agus selalu hubungi Menik. Lha ini mas sama sekali nggak hubungi Menik. Berasa ada yang kurang hidup Menik tanpa telepon dari mas." ups Menik keceplosan.
Agus yang mendengar ocehan Menik, tanpa sadar ujung bibirnya melengkung membentuk senyuman. Pak Dewa yang memperhatikannya jadi ikut senyum.
"Ehm, ternyata kalau aku nggak nelpon, hidup Menik ada yang kurang?" ejek Agus
"Ais, nggak gitu mas ini jenggkelin. Menik tutup saja nie teleponnya." rajuk Menik
"Jangan ditutup Nik! Ehm kata ayah pulsamu habis. Tumben Menik nggak bisa isi. Biasanya nggak pernah kehabisan."
"Menik kelupaan mas. Dan sekarang Menik harus hemat. Harus pintar-pintar simpan uang. Karena tadi saja waktu Menik telepon mas pakai telepon rumah, eh ... ada yang nyindir Menik. Katanya, "enaknya yang telepon pacar pakai telepon rumah, dikira nggak mahal bayarnya." adu Menik sambil menirukan ucapan ibu sambungnya.
"Ha ... ha..." Agus tergelak. "Tumben Menik nggak keluar tanduknya." ejek Agus
"Sebenarnya sih mau Menik balas itu ucapan istri ayah. Tapi nggak jadi. Males Menik melawan orang seperti itu. Biar saja mau ngomong apa. Tapi kalau udah kebangetan, ya Menik sleding. Mas kan ingat semboyan Menik." "Senggol bacok"
"Hust ... nggak boleh seperti itu. Coba semboyannya itu yang bagus." nasihat Agus. "Nik, udah ada jawaban untuk aku belum? Sebelum aku berangkat."
"Mas mau berangkat kemana?" bukannya menjawab pertanyaan Agus. Menik malah gantian bertanya. Dasar Menik ini nggak peka banget. Kasihan Agus yang menunggu kepastian dari Menik.
"Jangan mengalihkan pembicaraan Nik, jawab dulu pertanyaanku!"
"He ... he ... kan janjinya mas beri waktu satu minggu untuk Menik mikir. Ini baru sehari, masih ada waktu enam hari lagi." elak Menik. Padahal dia belum punya jawaban yang pasti mengenai pinangan Agus.
...****...
Dua hari sudah Menik tinggal di rumah. Beragam sindiran sudah dia terima. Mulai dari biaya telepon rumah, lauk yang katanya khusus untuk ayahnya, dan masih banyak lagi. Bahkan untuk keperluan mandi pun Menik di komentari ibu sambungnya.
"Ayah, Menik pamit mau kuliah dulu." ucap Menik
"Bukannya Menik liburnya masih sampai minggu depan." ucap pak Broto. Beliau heran, karena tidak biasanya Menik akan cepat kembali ke kota S. Beliau lupa kalau ada orang yang membuat Menik tak nyaman di rumahnya sendiri.
"Iya sih Yah. Tapi Ince ngabarin Menik, ada berkas magang yang harus dilengkapi. Kebetulan Menik satu tempat magang sama Ince." jelas Menik
"Oh begitu. Yo wes berangkat sana. Hati-hati jangan ngebut. Kalau sampai sana langsung telepon Ayah. Awas jangan ngebut naik motornya. Ntar Ayah ganti si hitammu itu sama motor yang cc nya kecil. Biar nggak bisa ngebut lagi." ancam pak Broto. Beliau jengah, tiap waktu selalu pesan kepada Menik jangan ngebut. Tapi selalu Menik abaikan. Bahkan anak semata wayangnya itu pernah motor yang tinggi cc nya. Biar bisa ngebut ujarnya. Untung beliau tak mengabulkannya. Tak bisa dibayangkan bila dituruti. Bisa-bisa saingan sama Rossi.
Sebelum berangkat Menik, meraih tangan Ayahnya, dia cium dengan takzim. Pak Broto mengangsurkan dua lembar uang merah ke putrinya. "Ini untuk satu minggu."
Belum sempat Menik mengambilnya, Sri Suketi sudah mengambil uang itu, dan mengambilnya satu lembar.
"Aduh Papi, kalau untuk satu minggu kebanyakan. Cukup satu lembar uang merah saja. Papi harus mengajarkan kesederhanaan sama Menik. Jangan terlalu dimanja!" ujarnya sambil tersenyum sinis kepada Menik.
Huft ... Menik membuang napas dengan kasar. Dikembalikannya lagi uang selembar yang masih di tangannya, sambil berucap "Menik nggak usah di kasih uang saku nggak apa-apa kok Yah. Masih ada uang Menik. Menik pamit dulu Yah, jaga kesehatan Ayah selama menik nggak ada di rumah. Waspada dengan keadaan. Jangan sampai Ayah tertipu serigala berbulu domba." sindir Menik
Pak Broto hanya bisa memandang anak gadisnya melaju bersama si hitam kesanyanggannya. Beliau sebenarnya terkejut dengan sikap istri barunya itu. Tapi beliau memilih untuk diam. Beliau memilih diam-diam mengirim uang melalui sms banking tanpa sepengetahuan istrinya. Dan bukan hanya dua lembar uang merah, tapi sekaligus sepuluh lembar uang merah beliau kirimkan.
Sri Suketi yang tak mengetahuinya tersenyum bangga. Merasa berhasil mempengaruhi pak Broto untuk tidak memberikan banyak uang untuk Menik.
...***...
Menik tidak langsung menuju ke kota S, di belokkan arah motornya ke rumah Ince.
"Asslamualaikum ... tok ... tok" Menik mengucapkan salam dan mengetuk pintu rumah Ince.
Ceklek ... pintu rumah terbuka.
"Lho dik Menik, sini masuk. Ince sama Dwi udah di kamar atas." ucap bu Dani ibu Ince
"Siap ibu." jawab Menik sembari mencium takzim tangan bu Dani.
Bu Dani sudah Menik anggap sebagai ibu sendiri. Bahkan setiap bu Dani memasak cumi hitam, pasti Menik di suruh pulang ke rumah beliau.
Tap ... tap ... tap ... satu persatu anak tangga dilewati Menik. Sebelum mendekati kamar Ince, dia pelankan langkah kakinya.
"Dor!" teriaknya mengagetkan Ice dan Dwi yang sedang ghibahin most wanted kampus mereka.
Sontak Dwi dan Ince melempar bantal ke arahnya. Untung Menik bisa berkelit. Sehingga bantal itu tak jadi singgah di muka imutnya.
"Dasar teman nggak ada akhlak, kalau aku sampai jantungan gimana!" seru Dwi.
"Uluh-uluh diajeng bayikku yang manis sekali ... jangan marah-marah ... ntar manisnya ilang lho ... tinggal paitnya." olok Menik sambil meranggkul Dwi.
Diajeng bayik merupakan panggilan sayang Ince dan Menik kepada Dwi. Mereka gemas, karena setiap bicara, Dwi selalu latah bilang "amit-amit jabang bayi".
Begitu juga nama Ince yang sebenarnya bukan nama aslinya. Tapi mereka lebih suka memanggilnya dengan Ince ketimbang Nama aslinya Kartika.
Dwi yang digoda Menik hanya tersenyum dengan malas.
"Tumben kamu mampir Nik. Biasanya langsung ke kos-an dulu." ucap Ince
"Lagi pengin saja langsung ke sini kangen sama kamu."
"Preet." Dwi menimpali ucapan Menik.
Obrolan mereka kembali berlanjut. Ngalor ngidul nggak jelas. Dan yang menjadi objek pembicaraan mereka sudah pasti cowok-cowok yang mereka anggap paling ganteng di kampus.
Dert ... dert ... vibrasi ponsel Menik membuatnya meraih gawai yang masih bersembunyi di dalam kantong jaket. Diraihnya ponsek itu. Tertera nomer tak dikenalnya. Ragu Menik menjawabnya. Namun ponsel itu terus bergetar. Mau tak mau Menik pun mengangkatnya.
"Halo.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Marni
semoga layarnya tidak pecah
2022-05-15
0
laila
ingat Sri, Menik itu anak suamimu.jadi wajar kalau di kasih uang
2022-05-14
0
Grizzly Yui
siapa yang nelpon???? 🤔
2022-04-02
1