Bab 2

Pulang dari kampus Menik merebahkan badan di kasur. Dilihatnya ponsel di meja nakas perlahan dia ambil dan dilihatnya banyak telepon dan pesan dari ayahnya. Dengan enggan Menik menekan nomor ayah.

Tut ... tut ... tut ... tut .. bunyi nada sambung keempat masih belum diangkat oleh ayahnya. Wah kelihatannya gantian ayah yang ngambek sama Menik.

Dert ... dert ... dert ... ponsel Menik bergetar. Sengaja Menik tak mengaktifkan deringnya. Karena dia berkutat dengan tugas statistik yang harus dikumpul esok hari. Melihat nama yang tertera di layar ponsel, dia pun segera mengangkatnya, keburu ayah ngambek lagi.

"Assalamualaikum Menik," sapa Ayah.

"Waalaikumsalam. Tumben Ayah telepon Menik. Masih ingat kalau punya anak Yah?" ketus Menik karena masih kecewa dengan sikap ayah yang tidak jujur padanya.

"Waduh ... anak ayah ngambek. Ehm ... ada yang mau ayah bicarakan dengan Menik. Tapi tidak enak apabila lewat telepon. Ayah tunggu Menik pulang saja. Terus ayah mau sampaikan juga, kalau uang saku Menik sudah ayah transfer barusan. Maaf kemarin ayah lupa," jelas ayah.

Huft ... Menik menghela napas mendengar penjelasan ayah. Rasanya mau marah, tapi lidah Menik kelu.

"Terima kasih ayah masih ingat Menik. Dan Menik sudah tahu apa yang akan ayah bicarakan. Sampai kapanpun Menik nggak akan rela posisi ibu digantikan siapapun," lirih Menik menjawab sembari menahan isak tangis dan jempolnya menggeser ke arah ikon berwarna merah.

Lagi-lagi ponsel itu terus berdering. Panggilan dari Ayah. Namun dia bergeming, hanya dilirik ponsel itu. Karena merasa terganggu akhirnya ponsel di non aktifkan olehnya.

Konsentrasi Menik pun buyar, angka-angka itu terlihat kabur. Air mata luruh perlahan membahasi pipi. Perlahan dia buka dompet. Dipandanginya wajah ayu nan teduh dalam potret hitam putih yang tersimpan rapi di dompet maupun ingatannya.

"Ibu ... ibu ... mengapa tega ninggalin Menik. Menik kangen ibu. Kangen dengan semuanya. Ibu tahu nggak, ayah sekarang sudah tak sayang lagi sama Menik. Ayah sudah punya tambatan hati. Belum menikah saja Menik sudah terasingkan, apalagi kalau ayah beneran menikah. Menik nggak mau ibu. Menik mau ikut ibu saja." ucap Menik di sela tangisnya.

Terlalu lama Menik menangis, dia pun tertidur dengan memeluk foto mendiang ibu nya.

Kukuruyuk ... kukuruyuk ... terdengar ayam bapak kos berkokok menandakan pagi menjelang. Perlahan Menik membuka matanya yang terasa lengket. Dengan mata separuh terpejam, dia pun menuju ke kamar mandi untuk berwudu, membentangkan sajadah dan bermunajat kepada sang penulis takdir. Dia curahkan semuanya. Pasrah akan semua takdir yang telah ditulis sang pemilik jagat raya.

Setelah puas bermunajat, Menik teringat tugas statistik yang belum terselesaikan. Dengan enggan dia buka lagi bukunya, perlahan dia selesaikan tugas itu. Untung hari ini kuliah siang. Jadi Menik masih sempat untuk menyelesaikannya.

Hosh ... hos ... hosh ...

Menik terengah-engah karena berlari dari parkiran menuju ruang dosen. Dia melihat mobil sedan putih sudah memasuki parkiran. Dia bergegas menaruh tugas statistik di meja dosen. Bila keduluan dosen sampai di kantor, bisa-bisa harus ngulang semester depan.

"Menik ..." sapa dosen statistik.

"Eh Bapak ... selamat pagi pak," jawab Menik sambil tersenyum.

"Tumben pagi-pagi sudah masuk ruang dosen," tanya dosen penuh selidik. Karena beliau heran, Menik yg biasanya ngumpul jauh sebelum beliau datang, hari ini hampir terlambat mengumpulkan tugasnya.

"Oh ... eh ... itu Pak ... Menik baru saja ngumpul tugas di meja bapak," ucap Menik sambil menunduk. Waduh ketahuan lambat ngumpul tugas batin Menik

"Menik permisi dulu Pak, mau ke kelas," pamit Menik

Dosen itu mengangguk sambil memperhatikan mata mahasiswinya yang bengkak. Ada apa dengan anak ini, tak bisanya dia seperti ini batin dosen itu.

Sesampainya di depan kelas, ternyata kelas sudah ramai. Ketiga temannya pun sudah berkumpul di tempat favorit mereka. Menik pun menghampiri mereka. Dia langsung duduk di samping Ince.

Mimi, Dwi, dan Ince saling pandang melihat tingkah Menik yang aneh hari ini. Ince mengedikan bahunya saat Mimi dan Dwi bertanya lewat isyarat tentang Menik.

"Nik ... Menik ... kamu kenapa, tumben lambat. Biasanya kamu selalu yang nomor satu ngumpul tugas statistik." tanya Ince.

Menik mengangkat kepalanya sebentar dan meletakkannya lagi di atas kedua lipatan tangannya. Melihat Menik yang tak merespon, Ince menghela napas. Dari ketiga sahabatnya, dialah yang paling dekat dengan Menik. Dia biarkan Menik untuk menenangkan diri. Karena jika sudah siap, Menik pasti akan bercerita sendiri kepadanya.

Pengumuman ... pengumuman ... teriak ketua tingkat di depan kelas. Seketika kelas yang riuh langsung sunyi.Perhatian anak-anak pun terpusat padanya.

"Woi ... Kating ... ada apa?" teriak Kholil dari meja belakang.

"Mata kuliah Statistik dan Semantik hari ini diliburkan, karena dosen ada rapat mendadak." jelas ketua tingkat.

"Yes ..." kompak anak-anak menjawab pengumuman ketua tingkat.

Sontak kelas kembali riuh. Terdengar beberapa mahasiswa merencanakan langsung pulang dan ada beberapa yang berencana nonton bioskop. Namun Menik bergeming, dia masih sibuk dengan pikirannya.

Ince yang melihat sahabatnya begitu terpuruk hanya bisa diam menunggunya untuk berbagi cerita. Dwi dan Mimi sudah beranjak duluan menuju kantin kampus untuk bertemu yu Sri tersayang.

"Nik ..." panggil Ince sambil menyentuh pundak Menik.

"Kamu kenapa, mau cerita sama aku?"

Menik menoleh sekejab, dan kembali menunduk. Tak lama bahunya pun terguncang. Terdengar lirih isak Menik. Ince hanya bisa menepuk-nepuk pundak Menik.

Setelah beberapa saat, pundak Menik sudah mulai berhenti berguncang, isaknya pun tidak terdengar. Ince angsurkan tisu untuk mengusap sisa tangisnya. Menik menyambut tisu itu sambil tersenyum dan berucap terima kasih.

"Ce ... ayo ke kantin, aku lapar," ucap Menik.

"Ayo," jawab Ince sambil tersenyum dan menyandang tas.

Berdua mereka menyusuri lorong kampus menyusul dua sahabatnya yang sudah terlebih dulu ke kantin. Sepanjang jalan menuju kantin, Menik masih terdiam. Irit bicara, tak seperti biasa seperti burung prenjak yang tak berhenti berkicau.

"Ince ... Menik ... sini ... kita di sini," teriak Dwi sambil melambaikan tangannya.

Mereka berdua menghampiri meja Dwi. Sudah tersedia dua mangkok soto, tempe mendoan dan es jeruk favorit Ince dan Menik.

Mimi memandang Menik yang hanya mengaduk-aduk mangkok sotonya. Tak seperti biasanya yang lahap makan soto yu Sri. Hanya diaduk-aduk dengan pandangan kosong.

Mimi menyenggol Ince, menanyakan ada apa dengan Menik. Ince hanya menggeleng menjawab pertanyaan Mimi.

"Aku duluan ya teman ... ngantuk, mau lanjut bobok cantik di kos," seru Menik sambil beranjak dari kursi.

"Nik ... aku ikut ke kosmu boleh?" tanya ince sambil mengejar Menik yang melangkah menuju yu Sri untuk membayar.

"Boleh," sahut Menik sekilas.

Sesampainya di kos, mereka pun langsung merebahkan diri. Dan Menik pun masih diam.

Terpopuler

Comments

Juliani gusung

Juliani gusung

Makanan kesukaan kita sama nik...soto

2022-05-18

2

lana

lana

aku mampir kak

2022-05-16

2

Agus

Agus

up...up

2022-05-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!