"Soni mau minta kawin ... eh nikah bu. Tapi calonnya suda terlanjur ditikung orang. Soni harus bagaimana bu? Mau ikhlas tapi berat. Mau lepasinpun, berat banget"
Perlahan Bu Wagiyem mengurai pelukannya. Ditatapnya netra coklat Soni, warisan sang ayah yang sudah meninggal sejak dia SMP.
"Le..." dirangkumnya tangan Soni dalam genggamannya. "Jodoh itu di tangan Allah, jadi jangan putus asa. Masih banyak gadis di luar sana yang mau sama kamu. Jangan mengganggu calon istri orang."
"Tapi bu, di sini posisinya Soni yang kena tikung. Tak salah bukan kalau Soni menikung balik? Sebelum janur kuning melengkung bu. Soni akan tetap berusaha." gigih Soni.
"Jangan le! Nggak baik untuk ke depannya. Lupakan gadis itu, cari yang lain."
"Nggak bu! Soni akan tetap berjuang, meski harus menunggu dia jadi janda!"
"Hust ... nggak boleh ngomong begitu. Sekarang Soni ambil wudhu terus salat. Pasrahkan semua denganNya. Kalau memang dia jodohmu, pasti akan kembali sama kamu." nasihat bu Wagiyem.
Bu Wagiyem beranjak meninggalkan Soni yang kini larut dalam bermunajat pada Sang penulis takdir.
***
Tok ... tok ... tok
Soni mengetuk kamar Bu Wagiyem. Setelah menyerahkan semua urusannya pada Sang penulis takdir, dia pun memutuskan untuk kembali bekerja. Tekadnya sudah bulat untuk tetap menunggu Menik apapun statusnya.
Ceklek ... pintu kamar terbuka. Tampak bu Wagiyem baru saja selesai merapikan mukena.
"Ada apa Le? Tumben pagi-pagi sudah rapi, mau ke mana?" tanya bu Wagiyem yang heran melihat Soni telah kengkap dengan seragam ke besarannya.
"Soni mau berangkat lagi bu. Kebetulan tadi malam di telepon komandan. Insya Allah tahun depan Soni pulang." jelasnya.
"Mendadak sekali? Tadi malam kamu nggak cerita kalau mau pergi. Kenapa tiba-tiba mau pergi lagi? Bukankah katamu masih bulan depan berangkatnya?" cecar bu Wagiyem
"Awalnya Soni memang mau cuti dulu bu. Tapi daripada di sini Soni terus mikirin dia, mending Soni berangkat lagi."
"Nggak bisa dimundurkan lagi?" berat bu Wagiyem melepas anak bujangnya berangkat. Karena baru tiga hari pulang ke rumah.
Namun beliau tidak bisa berbuat banyak, selain mengizinkannya berangkat lagi.
"Yo wes ... ibu antar sekarang ke stasiun." ujarnya.
Ibu dan anak itu beranjak menuju stasiun yang hanya sepuluh langkah dari rumahnya.
Digenggam erat tangan yang mulai berkeriput. Perlahan diciuminya tangan itu dengan takzim. Dipeluknya perempuan yang sudah melahirkannya.
"Ibu Soni berangkat dulu, doakan Soni bisa melepaskan semua rasa di hati. Maafkan jika Soni harus pergi lagi." lirih Soni berujar, hatinya sesak mengingat kembali kenangan bersama gadis yang menjadi penghuni hatinya.
Bu Wagiyem merengkuh Soni ke dalam pelukkannya. "Ibu doakan yang terbaik buatmu."
***
Pagi perdana Menik memulai jadwal magangnya. Selama tiga bulan dia akan mengasah kemampuannya untuk menyunting bahasa.
Tring sebuh pesan masuk ke ponsel Menik
Ince: Nik...jangan lupa jemput aku. Tapi nggak usah ke kos. Aku tunggu di gapura perahu.
Menik: 👌👌👌
Menik meletakkan ponsel di nakas dan segera menyiapkan keperluan apa saja yang dia butuhkan.
***
Guk ... guk ... guk
Seperti kedatangan mereka pertama kali. Bleki menyambut dengan gonggongannya. Seketika membuat Menik dan Ince pias. Untung pemilik Bleki langsung keluar dan dengan santainya berucap, "Tenang, nggak usah takut. Bleki nggak akan gigit kalau nggak digigit duluan."
"Lah masak om samain kita sama Bleki. Ya nggak mungkinlah om kita yang cantik-cantik ini mau gigit Bleki. Yang ada malah kita yang digigit." ketus Ince menanggapi gurauan tak berfaedah pemilik Bleki.
Menik menarik tangan Ince sebagai isyarat ayo masuk. Ince pun mengikuti langkah Menik.
"Mbak Wuri, nggak bisa ya Bleki di kandangin saja. Masak tiap kita datang langsung dapat sambutan meriah darinya. Apalagi itu om yang punya Bleki, mosok bilang kalau Bleki nggak akan gigit kalau nggak digigit duluan. Aneh itu orang." omel Ince.
Mbak Wuri hanya mengulum senyum mendengar Ince yang nyerocos nggak ada titik komanya.
"Mau tahu cara biar kalau datang nggak dinyanyiin sama dia?" ucap mbak Wuri sambil masih senyum.
"Mau-mau, caranya gimana mbak?" tanya Ince, penasaran dengan apa yang dikatakan mbak wuri.
"Gampang kok ..." Wuri menjeda ucapannya.
"Beneran gampang mbak? Nggak tipu-tipu kan ini?" Ince mulai curiga dengan ide yang akan disampaikan oleh Wuri.
"Bener. Gampang. Tinggal kamu nikah sama om yang punya Bleki, pasti nggak akan dinyanyin lagi." ha ... ha ... seketika pecah tawa Menik, Wuri, dan Pak Waluyo, yang entah kapan sudah bergabung dengan mereka.
Ince refleks menoleh ke belakang, karena mendengar suara tawa laki-laki. Seketika wajahnya bersemu merah, menahan malu karena dikerjain Wuri di depan bos yang dia kagumi.
Hanya sekedar kagum lho, bukan cinta. Karena pak Waluyo sudah menikah dan mempunyai dua orang anak. Kebetulan pak Waluyo menikah dengan anak pemilik perusahaan percetakan tersebut.
"Menik, Ince, ikut saya sekarang!" perintah pak Waluyo
"Siap Pak." jawab mereka dengan kompak dan mengikuti langkah pak Waluyo.
Ternyata Ince dan Menik diajak ke bagian editing atau penyuntingan naskah. Di sana mereka diajari bagaimana cara menyunting naskah sebelum naik cetak.
Setelah dirasa paham, Pak Waluyo memberikan mereka masing-masing satu naskah buku yang akan naik cetak.
***
Sementara itu di kediaman Agus, tampak bu Islah dan Astuti yang mulai menyiapkan dan menghias barang yang akan menjadi seserahan untuk Menik.
"As, coba kamu cek lagi. Takutnya ada yang terlewat." pinta bu Islah kepada Astuti.
"Siap komandan." jawab Astuti.
Dia pun segera memeriksa semua barang, dan memberikan tanda centang pada nama-nama barang yang sudah ada.
"Bu, semua sudah lengkap. Sisa perhiasan yang belum ada. Kata Agus dia sendiri yang akan memilihnya." lapor Astuti
"Iya, kemarin Agus sempat mengatakan pada Ibu. Mau mandiri katanya. Jadi perhiasannya dia yang akan membelinya." jelas bu Islah
***
Di toko perhiasan tampak Agus sedang memilih cincin yang dia rasa cocok untuk di pakai Menik saat menjadi istrinya. Diamatinya barisan cincin kawin.
"Mbak coba lihat yang di barisan kedua." ucapnya
"Baik, yang ini?" kata penjual
Diangsurkannya cincin itu kepada Agus. Dia menimbang-nimbang. Kira-kira cocok tidak di jari Menik.
Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di punggungnya.
"Agus." terdengar suara seorang gadis yang sudah lama tak didengarnya. Sontak dia menoleh. Matanya mengerjab, seolah tak percaya melihat gadis ayu yang dulu sempat singgah di hatinya. Gadis itu berdiri dengan anggun di depannya. Dengan senyum yang terukir di bibirnya.
"Kamu ngapain di sini Gus?" tanya gadis itu
"Anu ... ehm ... ini aku cari cincin."
"Cincin untuk siapa Gus?" tanya gadis itu kembali
"Ehm ... untuk temanku." jawabnya tak jujur
"Teman? Tapi mengapa cincin kawin yang kamu beli Gus?" selidik gadis itu.
Agus terdiam, bingung mau menjawab apa. Keyakinannya untuk menikah dengan Menik terkoyak. Ragu menyusup di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Grizzly Yui
aq baca ulang thor
2022-06-10
0
ara Ara
kenapa tiba-tiba ragu Gus.
2022-06-02
0
tutubibi
nikah son..bukan kawin
2022-05-10
1