Bab 5

Seminggu berlalu, Menik berusaha merayu Pak Broto untuk memundurkan tanggal pernikahannya. Namun Pak Broto tetap kukuh dengan keputusannya. Padahal Menik sudah mengalah dengan menyetujui pernikahan itu meski terpaksa. Dia hanya minta untuk di mundurkan harinya. Karena tepat tanggal 15, Menik masih mid semester hari terakhir. Bahkan hanya untuk memundurkan waktunya saja, Pak Broto tak bersedia. Menik mengalah, tak banyak lagi berucap.

Sah ... sah ... sah ... seru beberapa warga yang diundang dipernikahaan Pak Broto.

Beberapa warga kasak kusuk menanyakan keberadaan anak semata wayang Pak Broto dan mendiang bu Asih, yang tidak terlihat sejak awal acara.

Pak Broto yang mendengar kasak kusuk itu tak menghiraukannya. Beliau cukup bahagia dengan pernikahannya telah berlangsung dan sah di mata hukum negara dan agama.

Budhe Harmini terus saja menyeka air matanya yang terus luruh tak mau berhenti. Beliau kepikiran tentang nasib keponakan manjanya setelah pernikahan ini. Beliau khawatir, karena Broto ayah Menik yang sudah tak peduli lagi dengan keponakannya itu. Bukti terlihat nyata di depan budhe Harmini.

Bahkan beliau mendengar kasak kusuk dari keluarga pengantin wanita, yang mengharuskan wanita itu punya anak. Ya, wanita itu harus punya anak, sebagai senjata untuk menguasai harta Pak Broto. Lagi pula, bukankah sekarang wanita itu berhasil menjauhkan Pak Broto dari anaknya.

Pakdhe Harjo tak tega melihat sang istri yang terus menangis.

"Bu ... ayo pulang." ajaknya.

Budhe Harmini menoleh ke arah suaminya. "Ayo." ucapnya.

Tanpa berpamitan, pasangan yang tak lagi muda itu pulang ke rumahnya.

...***...

Sementara Pak Broto terbuai dengan kebahagiannya, Menik tengah berjuang menyelesaikan deretan-deretan soal. Otak yang biasa encer, berubah menjadi beku. Sebeku es batu yang berdiam di dalam frezer selama berbulan-bulan.

"Waktu habis, silakan kumpulkan jawaban kalian." seru pengawas ujian

Dengan gontai Menik berjalan ke delan kelas dan mengumpulkan kertas jawabannya.

Pengawas itu melihat sekilas lembar jawaban Menik. Banyak soal yang tak di jawabnya, membuat pengawas itu terheran-heran.

Bukankah dia mahasiswi terpandai di kelas ini. Tapi mengapa lembar jawaban hampir separuh kosong. Aku harus menyampaikan ini ke pembimbing akademiknya. Kasihan kalau nilainya turun, batinnya

"Nik ... Menik ... sini duduk." panggil Ince

Menik pun menghampiri Ince yang duduk sendirian.

"Ada apa Ce?"

"Kamu kenapa Nik? Ayolah cerita sama aku. Apa kau sudah tak menganggapku teman lagi? Sehingga kamu masih bungkam hingga saat ini!" cecar Ince.

Tes ... tes ... air mata itu luruh tanpa bisa dijeda. Refleks Ince memeluk sahabatnya yang tergugu di depannya. Dia hanya bisa menepuk perlahan punggung Menik sambil berucap, "Sabar Nik".

Setelah puas menangis, terbata-bata Menik menceritakan permasalahannya kepada Ince.

"Ce, a—ku sedih banget Ce. Berasa anak terbuang." sambil terisak Menik bercerita.

"Hust, nggak boleh ngomong seperti itu Nik. Lihat, kamu masih punya ayah yang menyanyangimu dan selalu ada untukmu."

"Tapi Ce, semua udah berubah, bahkan ayah sudah tak peduli lagi padaku. Kamu belum tahu Ce, hari ini ayah menikah meski aku tak ada di sana."

"Apa? Kau pasti bohong. Nggak mungkin ayah seperti itu. Aku hapal dengan sifat ayah. Beliau bijaksana. Sama aku saja yang bukan anak kandungnya, beliau sangat menyayangiku." bela Ince.

"Itukan dulu Ce, sebelum ayah kenal dengan Sri Suketi." bantah Menik.

"Sri Suketi? Siapa dia? Perasaan aku pernah dengar nama Suketi, tapi di mana aku lupa." ucap Ince.

"Suketi itu Ce. Peran Suzana pas main jadi mbak-mbak berdaster putih. Kalau ini ada Sri nya."

Ha ...ha ... ha ... Ince tergelak mengetahui kalau nama Suketi adalah nama Suzana ketika bermain peran di salah satu film.

"Tapi Nik, beneran ayah nikah lagi hari ini?" tanya ince yang masih tak percaya.

"Bener Ce. Masak aku bohong. Atau kau mau ke Purwodadi untuk ngecek langsung?" tanya Menik.

"Jadi beneran Nik?" tanyanya lagi

"Iya Ce, bahkan udah selesai acaranya."

"Kamu nggak pulang Nik?"

"Ngapain aku pulang Ce? Aku sudah tak dianggap lagi. Biar saja Ce. Aku masih belum siap ketemu sama Suketi. Nyesek dadaku Ce. Rasanya mau ikut ibuku saja."

"Hust, ngak boleh ngomong begitu Nik. Masih banyak yang sayang sama kamu."

"Halah ... paling yang sayang sama aku itu, kamu, Mimi, sama Dwi." bantah Menik

"Sok tahu kamu Nik. Kamu saja yang nggak peka kalau ada teman kita yang jadi fans beratmu."

"Hah? Siapa?" tanya Menik

"Cari tahu sendiri, aku ogah ngasih tahu kamu." elak Ince. Dia pun segera beranjak dari duduknya meninggalkan Menik yang masih berpikir tentang siapa fans berat yang dimaksud Ince.

...***...

Setelah berbagi cerita dengan Ince, hati Menik sedikit lega. Namun dia masih enggan untuk pulang sore ini. Menik takut apabila memaksa pulang dan bertemu Suketi, dia akan berbuat bodoh karena hatinya masih penuh amarah dan kecewa.

Malam semakin merambat, belum ada tanda-tanda Pak Broto mengubungi Menik. Bagaimana mau menghubungi Menik, kalau beliau sudah lupa punya anak. Silau dengan istri barunya.

Huft ... Menik menghela napas panjang. Ditatap ponsel yang masih membisu. Dia berharap Pak Broto menghubunginya, atau setidaknya Suketi yang menghubunginya. Karena Menik belum pernah berkenalan dengan Suketi.

Sepertinya ayah memang sudah lupa sama aku. Biarlah, terserah ayah. Mulai sekarang aku akan jarang pulang. Toh aku masih simpan peninggalan ibu, yang bisa aku pakai untuk hidup dan mencukupi kebutuhan kuliahku.

...***...

Pagi-pagi Menik menstater si hitam kesayangannya. Dia elus-elus, sambil berucap. "Hitam, kita ke tempat Ibu yuk. Aku kangen." ucapnya.

Empat puluh lima menit terlewati, Menik pun sampai di makam. Dia ambil sapu dan membersihkan pusara ibu, bulik, dan Buyutnya. Setelah dirasa semua bersih, ditaburkannya bunga yang dia beli sewaktu di perjalanan.

"Ibu, bulik, mbah yut ... Menik datang lagi." ujarnya sembari bersimpuh di antara pusara mereka.

"Mbah Yut ... seandainya simbah masih ada pasti Simbah sudah jewer telinga ayah. Bulik pun pasti sudah keluarkan ajian pamungkasnya untuk melarang ayah ... hiks ... hiks...ayah jahat sama Menik mbah ... Menik dilupain ... Menik di buang!"

Menik terus saja berucap di dekat pusara simbah buyut dan buliknya. Tanpa menyadari ada sosok yang terus memperhatikan gerak-geriknya. Padahal biasanya Menik selalu merasa jika ada yang memperhatikannya.

"Ibu ... ibu ...Menik kangen, Menik ikut ibu saja ya! Menik nggak mau ikut ayah. Ayah sudah lupa sama Menik bu! Hiks ... hisk ... tangisan Menik menggema di makam yang sunyi.

Sosok yang memperhatikannya sedari tadi perlahan mendekati Menik. Dia ulurkan tangannya untuk mengelus kepala Menik. Namun sebelum tangan itu menjangkau kepala Menik, tiba-tiba Menik menoleh. Matanya membulat melihat sosok selama ini yang selalu dirindukannya. Saking terkejutnya lidah Menik mendadak kelu tak bisa berucap.

"Kamu ... kamu ... ka— mu?"

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

aku kirimkan setangkai mawar, supaya author tambah semangat

2022-06-08

0

Pujiati

Pujiati

Ujian Kesetiaan mampir kak

salam dari Pejel_manis

2022-06-08

0

cutegirl

cutegirl

coba dengarkan anakmu pak Broto

2022-05-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!