Bab 10

"Halo."

Tut ... tut ... tut

Menik memandang gawainya. "Aneh, nelepon diangkat malah dimatikan". gumamnya.

"Siapa Nik?" tanya Ince.

Menik yang ditanya cuma mengangkat bahunya.

"Coba lihat ponselmu." ucap Dwi

Menik pun menyerahkan ponsel kepada Dwi. Terlihat Dwi mengamati nomor yang baru saja menghubungi Menik sambil manggut-manggut. Seakan dia tahu itu nomor siapa.

"Ce, sini dech." ucapnya memanggil Ince

"Apa?" tanya Ince.

"Coba kamu lihat Ce, ini nomor siapa? Perasaan aku kenal nomor ini."

Ince pun mengambil ponselnya dan memencet nomor sesuai yang tertera di ponsel Menik. Tak di sangka dan tak dinyana, muncul nama salah satu teman kuliah mereka. Refleks Ince dan Dwi tersenyum simpul. Menik yang melihatnya heran kenapa dua orang sahabatnya kompak tersenyum. Tapi karena mengantuk, Menik tak menghiraukannya. Dia terlelap dengan nyenyak.

"Lhah ni anak memang *****. Ketemu bantal langsung aja molor. Eh Ce, itu anak sudah berani telepon Menik, berarti ada kemajuan." oceh Dwi.

"Capek kali dia, mencintai dalam diam."

"Tapi aku kasihan sama dia Ce. Kamu kan tahu sendiri gimana Menik kalau nggak suka sama orang. Bakalan dibantai itu anak."

"Biarin saja Dwi, sudah resikonya berani jatuh cinta sama Menik." jawab Ince dan kemudian terlelap menyusul Menik ke dunia mimpi.

"Ealah, malah tidur semua. Mending aku ke bawah saja bantuin ibu masak. Kan lumayan bisa icip-icip duluan." gumam Dwi.

...***...

Sementara itu, ada seseorang yang galau hatinya, menatap sendu ke arah ponselnya. Perasaannya berkecamuk, memikirkan tentang keberaniannya menelepon seorang gadis super cuek bernama Menik. "Aku harus minta pendapat Fendi. Kira-kira langkahku untuk maju sudah benar ataukah salah." gumamnya.

Tut ... tut ... tut

"Aih Fendi ke mana sih, teleponku nggak diangkat." gusarnya.

Beb ... beb ... beb

Ponsel pemuda itu berdering. Tertera nama yang tadi dihubunginya.

"Halo, Assalamualaikum. Ada apa tumben telepon. Biasanya langsung datang ke rumah." ucap Fendi.

"Kebiasan jelek kamu Fen. Salam belum ku jawab kamu sudah mirip petasan renteng bunyi tak ada jedanya." ketusnya. "Fen, aku mau nanya sama kamu tentang Menik. Kira-kira dia akan menjauhiku nggak ya, kalau tahu perasaanku?" tanyanya

"Kalau menurutku sih, bakalan menjauh itu anak. Tapi masak belum maju udah mau mundur. Jadi laki-laki jangan cemen. Lagi pula sampai kapan kamu mau pendam perasaanmu. Keburu jadi bisul kapok. Atau aku yang maju duluan?" tantang Fendi.

"Haduh ... kamu memang teman nggak punya perasaan Fen. Sudah tahu kalau aku menaruh hati sama Menik. Eh, malah mau kamu tikung."

"Salah siapa kamu nggak maju-maju. Kalau diambil orang bisa nyesel kamu. Kamu kan belum tahu, kalau Menik habis dilamar orang."

Dasar Fendi kompor mleduk, sudah tahu ada orang kepanasan malah tambah disiram pertalite. Memang teman nggak ada akhlak.

"Yang bener Fen? Kapan? Dan siapa yang melamar dia?" cecarnya.

"Kita ketemuan saja dech, daripada kamu penasaran. Besok di kampus jam delapan pagi kutunggu di tempat yu Sri. Awas kalau lambat!"

"Cerita sekarang saja kenapa sih. Kalau menunggu besok bisa mati penasaran aku. Nggak keren kan, cowok ganteng ngikuti jejak tante berdaster putih."

"Ish ... ish ... nggak sabar amat nie anak orang. Amat saja sabar." ejek Fendi. "Kalau mau menunggu besok, aku bakalan cerita. Kalau nggak mau ya sudah. Aku tutup mulut rapat-rapat."

"Oke-oke. Besok jam delapan pagi di tempat yu Sri saja. Dari pada nggak tahu info terbaru dari pujaan hatiku."

"Nah gitu dong. Selamat penasaran."

Tut ... tut ... sambungan telepon diputuskan Fendi sepihak. Pemuda yang diseberang hanya bisa tersenyum masam.

"Rupanya aku harus bersabar untuk menggali informasi tentangmu Nik. Kamu yang selalu membuatku penasaran. Semoga kamu mau menerima hatiku." gumam Darmawan

...***...

Selepas Magrib Ince, Dwi, dan Menik berpamitan kepada bu Dani untuk berangkat ke kampus. Kompak mereka menyalami tangan dan memeluk bu Dani. Tak lupa Bu Dani membungkuskan cumi hitam kesukaan Menik.

"Dik Menik, ini ibu bungkuskan khusus untukmu. Dwi sama Tika nggak usah dibagi lagi." pesan bu Dani.

Di keluarganya, Ince yang nama panjangnya Kartika Prameswari Ristono dipanggil Tika. Ince hanyalah panggilan sayang dari teman-teman akrabnya. Nama Ince tersemat padanya sejak kuliah semester dua.

"Nggih ibu." jawab Menik.

"Ternyata Menik telah menggeser posisiku sebagai anak kandung ibu." rajuk Ince.

"Aku juga." timpal Dwi.

Bu Dani tertawa mendengar ocehan tidak berfaedah gadis-gadis itu. Karena beliau sudah terbiasa menghadapi kekoyolan mereka berempat. Namun kali ini minus Mimi, yang tak mendapatkan izin ke rumah Ince. Karena kebetulan kakak sepupunya keluar kota. Sehingga Mimi harus jagain kedua keponakannya. Kalau ada Mimi, kekonyolan mereka bertambah berjuta kali lipat.

"Sudah sana berangkat! Keburu kemalaman di jalan. Apalagi kalian nggak ada yang ngawal." saran bu Dani yang melihat mereka belum berangkat juga. Padahal udah salim dan dibawain bekal.

"Siap ibu." kompak mereka menjawab perkataan bu Dani.

...***...

Ting ... bunyi pesan masuk di ponsel Ince

Menik: Berangkat jam berapa?

Ince: Ini sudah siap-siap. Nunggu diajeng bayik mandi. Tahu tuh udah tiga puluh menit nggak selesai-selesai mandinya.

Menik: Ya sudah. Aku ganti baju dulu. Ntar aku tunggu, di mana? Tempat yu Sri atau di depan Seni Rupa?

Ince: Di depan seni rupa boleh juga. Siapa tahu bisa lihat yang bening-bening.

Menik: 😱😱😱

Ince: Jam delapan kurang lima menit kamu berangkat dari kos. Secara kos kamu kan cuma lima langkah ke kampus. Daripada kamu nungguin aku sama diajeng bayik kelamaan. Ntar kamu malah menggenapi patung yang ada di sana. 🤣🤣

Menik: 🤨😤😡😡

...***...

Sesuai arahan dari Ince, Menik melajukan si hitam ke kampus. Sampai di kampus dengan langkah mantab dia menuju ke arah taman anak seni rupa, yang dihiasi banyak patung karya mereka.

Belum sempat Menik mendaratkan bokong di kursi ada suara bariton yang memanggilnya.

"Menik."

Refleks Menik menoleh ke arah suara. Dia pun tersenyum setelah melihat siapa yang memanggilnya.

"Eh kamu. Tumben pagi-pagi udah di kampus, sendirian pula."

"Iya nih. Nggak tahu juga tumben tergerak pengin berangkat pagi. Seperti ada bisikan ghaib yang menyuruhku berangkat pagi."

"Lhah bisikan ghaib. Asal bisikannya bagus sih nggak apa-apa. Takutnya bisikan ghaib seperti yang ada di berita-berita kriminal itu." ucap Menik sambil bergidik ngeri.

"Dasar kamu Menik. Ya enggaklah. Mosok aku dibisikin untuk nganiaya orang."

"Siapa tahu lhoh. Aku kan jadi parno. Jangan-jangan kamu dapat bisikan untuk nguntit aku." oceh Menik.

Pemuda itu menghela napas panjang. Bingung dia menghadapi satu cewek yang absurd seperti Menik. Tapi itulah yang menjadi daya tarik tersendiri. Menik memang tidak cantik-cantik amat. Hanya saja saat melihat wajah dan sikapnya yang selalu ceria, membuat orang menjadi tertarik.

"Mau tahu nggak bisikan ghaibnya apa?" godanya.

"Apa coba?" tanya Menik

"Bisikannya adalah ..."

Terpopuler

Comments

mariana

mariana

siapa dia

2022-05-17

0

ara Ara

ara Ara

bisikan rindu

2022-05-16

0

cutegirl

cutegirl

sabar wan

2022-05-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!