Bab 12

"Iya, aku siapa?" Menik balik bertanya.

"Aku Darmawan Nik." akhirnya terlontar juga namanya.

"Oalah Darmawan tho. Tumben telepon Menik. Ada apa wan?"

"Ada yang mau aku omongin sama kamu. Tapi," Darmawan menghela napas berat. Dia kumpulkan keberanian untuk menyatakan peradaannya. "Nik, aku mau ngomong sama kamu."

"Mau ngoming apa sih Wan? Bukannya kita ini sudah bicara?"

"Nik, A—aku." gugup Darmawan

"Iya, kamu kenapa Wan?"

"Aku ada rasa sama kamu!" tegas Darmawan

"Kamu ngomong apa Wan, aku nggak paham. Coba ngomongnya pelan-pelan. Jangan ngebut kaya kereta api." seloroh Menik.

"Nik, aku ada rasa sama kamu!" tegasnya kembali.

"Hah? Maksudnya?" Menik mengira dia salah dengar dengan ucapan Darmawan, sehingga dia menanyakannya kembali.

"Maksudnya, Aku ada rasa sama kamu Nik. Mau nggak kamu jadi pacarku?" ulang Darmawan.

"Jangan bercanda kamu Wan! Nggak mempan." ketus Menik.

"Siapa juga yang bercanda Nik. Aku serius. Lagipula tidak salahkan apabila aku suka sama kamu. Toh kita masing-masing nggak ada pasangannya!"

"Aduh Wan, aku jadi bingung harus jawab apa. Jujur selama ini aku nganggap kamu itu teman. Nggak ada terlintas sedikitpun untuk jadi pacar kamu. Lagi pula kamu sama aku kan tua aku Wan. Meski hanya selisih beberapa bulan."

"Nik, kalau usia yang jadi kendala untuk kamu suka sama aku, sebenarnya itu tidak bisa dijadikan alasan. Banyak kok pasangan yang wanitanya lebih tua. Tapi tetap langgeng."

"Wan, aku bukan mereka. Jadi maaf aku nggak bisa balas perasaan kamu!" tegas Menik.

"Ayolah Nik, kamu pikirkan lagi!" pinta Darmawan.

"Maaf Wan, aku tak bisa." Menik menghela napas, bingung harus jawab apalagi. Menik terkejut dengan sikap Darmawan yang biasanya kalem ternyata bisa tegas dan keras kepala.

Setelah menutup telepon, Menik bersandar di tepi ranjang. Ince yang melihatnya menjadi bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya, mengapa setelah menerima telepon Menik menjadi gusar. Karena waktu Menik menerima telepon, Ince pergi ke kamar mandi.

"Woi! Menik! Malah melamun. Kesambet baru kapok." seloroh Ince.

"Apaan sih Ce. Aku itu nggak melamun. Cuma bingung sama sikap Darmawan."

"Lha, apa hubungannya dengan Darmawan?" tanya Ince penasaran.

"Tahu itu anak, salah minum obat kali. Tiba-tiba ngungkapin perasaannya."

"Hah, apa!" teriak Ince karena terkejut tak percaya mendengar seorang Darmawan mengungkapkan perasaannya pada Menik.

"Beneran Nik? Nggak percaya aku."

"Masak aku bohong sama kamu Ce. Nih kalau nggak percaya kamu telepon sendiri Darmawan. Terus kamu tanyain. Tadi itu dia sadar nggak waktu nelepon aku. Takutnya dia dleming sehingga nggak sadar dengan ucapannya."

"Ogah." jawab Ince. Dia pun menggeser duduknya mendekati Menik. "Tanpa nanya ke Darmawan pun aku sudah tahu Nik. Kelihatannya kamunya saja yang nggak peka. terlalu larut mikirin istrinya Ayah."

"Kalau udah tahu ngapain juga kamu tadi terkejut Ce? Dan sejak kapan kamu tahu?"

"Aku mulai curiga waktu dia diam-diam suka perhatikan kamu Nik. Tapi salah kamu juga Nik. Kamu ingat nggak waktu kita ke Parangtritis, kamu nawarin ke Darmawan untuk menyimpankan ponsel dan dompetnya. Nah sejak itu dia suka sama kamu." jelas Ince

"Hah!" Menik terkejut, tidak menyangka hanya karena perhatian kecil itu, Darmawan salah paham.

"Makanya jadi anak jangan suka tebar pesona! Kamu tahu nggak Nik. Kalau menurutku kamu itu nggak cantik lho. Masih cantikkan aku." seloroh Ince sambil menaik turunkan alisnya.

Menik bukannya tersinggung dikatain jelek, dia malah tergelak. Karena sudah terbiasa dengan kenarsisan Ince.

"Iya ... iya ... kamu kebih cantik dariku." ucap Menik.

"Nah ... itu kamu ngakuin. Cuma apa sih yang menarik cowok-cowok itu suka sama kamu. Udah jelek, jarang mandi, dingin pula." ejek Ince.

Refleks Menik mengambil bantal dan melempar ke arah Ince. Karena Ince tak persiapan, bantal itupun mendarat dengan sempurna tepat di wajahnya. Ia pun memberengut.

"Menik ... awas kamu ya!" ancam Ince dengan melempar balik bantal.Tapi sayang lemparan itu meleset membentur dinding.

Menik berlari menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian Menik keluar kamar mandi dengan handuk membungkus surai hitam panjangnya.

"Nik, lapar." rayu Ince. "Beli makan yuk, atau beli burjo di bawah?" tanyanya lagi, karena tak mendapat jawaban dari Menik yang masih telaten menyisir surai hitam itu.

"Woi Menik!" teriaknya sekali lagi.

"Apaan sih Ce, nggak usah teriak-teriak. Telingaku masih normal kok." Menik meletakkan sisir merah muda itu pada tempatnya setelah mengikat ekor kuda surai hitam panjangnya.

Ceklek ... pintu kamar Menik terbuka. Terlihat mbak Nonie di depan pintu lengkap dengan kacamata dan dompetnya.

"Nik, aku sama Fati mau keluar beli makan. Nitip nggak?" tanya mbak Nonie.

"Mbak Nonie mau beli di mana?"

"Di warung bambu." jawab mbak Nonie

"Ce, kamu mau nggak kalau di warung bambu?" tanya Menik kepada Ince.

"Boleh. Aku nasi campur pakai tempe saja mbak. Nasinya sedikit saja. Mau diet nih." kelakar Ince.

"Oke. Kalau kamu Nik?"

"Samain saja sama Ince mbak."

Mbak Nonie berlalu sambil mengacungkan jempolnya.

"Mbak jangan lupa es jeruk dua." teriak Ince.

Mbak Nonie kembali menjawab dengan acungan jempolnya dan beranjak turun ke pintu gerbang. Kos-an Alvina terletak di lantai dua. Sedangkan lantai satu dihuni oleh ibu kos yang baik hati. Bahkan kadang usil juga. Kompak dengan anak-anak kos yang semuanya cewek.

...***...

Sementara itu Agus yang berada di kamarnya, merenung. Harap-harap cemas menunggu jawaban Menik yang kurang satu hari lagi. Dia khawatir kalau semua rencananya tidak bisa berjalan sesuai dengan keinginnannya.

"Gus, boleh mbak masuk?" suara mbak Astuti membuyarkan lamunannya.

"Boleh mbak, masuk saja."

"Ngapain melamun? Mikirin Menik? Sabar Gus, kan besok Menik janji memberikan jawaban."

"Agus khawatir saja mbak. Takut Menik lupa sama janjinya. Apalagi tadi Agus dapat surat mengenai pengajuan tanggal berangkat. Yang seharusnya masih bulan depan, diajukan jadi minggu depan mbak." keluhnya.

"Sudah nggak usah kamu pikirkan. Tenang saja, mbak yakin kok kalau Menik juga suka sama Agus. Mungkin saat ini dia masih bingung mengartikan rasa suka itu." hibur Astuti.

"Tapi mbak, kalau pun memang Menik membalas perasaan Agus, akankah waktunya cukup untuk mengurus semua surat untuk menikah?" Agus menghela napas berat. Berat baginya untuk meninggalkan Menik tanpa ikatan yang jelas. Karena Agus sadar, Menik mempunyai daya tarik tersendiri bagi kaum adam.

"Insya Allah cukup Gus. Nanti mbak bantuin ngurus surat-suratnya. Kalau pun nggak sempat, yang penting sah dulu di mata agama." nasihat Astuti.

"Tapi apakah Pak Broto setuju menjadikan Agus menantunya?" ragu Agus.

"Berdoa saja Gus! Karena kelihatannya berat. Kamu tahu sendirikan, Menik itu putri semata wayang Pak Broto. Sudah tentu beliau punya kriteria khusus bagi calon mantunya."

"Walah mbak, Agus jadi tambah galau nih. Kalau Menik mau tapi pak Broto nggak setuju, apa Agus bawa lari saja Menik."

Plak ... reflek tangan Astuti memukul pundak adiknya. "Ngawur kamu Gus." ketusnya.

"Masih banyak cara Gus selain bawa lari anak gadis orang. Pak Broto sama ayah kenal baik. Bukan sama ayah saja, pak Broto malah kenal dengan keluarga besar kita. Kemarin saja sebenarnya ibu ada ide untuk menjodohkan pak Broto sama mbak Ika. Tapi karena keyakinan berbeda, akhirnya nggak jadi."

"Lhah! Untung nggak jadi. Bisa bubar jalan rencana Agus kalau sampai ayah Menik menikah sama mbak Ika. Ibu ini ada-ada saja."

"Sudah nggak usah melamun terus. Mending kamu salat, minta petunjuk sama Allah. Berdoa semoga dimudahkan dan dilancar semua rencanamu." nasihat mbak Astuti.

"Iya mbak."

Terpopuler

Comments

Grizzly Yui

Grizzly Yui

typo thor

2022-06-03

0

Aumy Re

Aumy Re

go.. go.. go...💪

2022-05-21

0

ara Ara

ara Ara

tih Gus, dengarin nasihat mbak as

2022-05-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!