"Nik, Aku suka sama kamu." ucap Agus setelah mengumpulkan keberaniannya.
"Terus—" jawab Menik
Seketika muka Agus memucat, terkejut dengan jawaban santai dari Menik. Keringat dingin menghiasi kening, tangannya pun terasa dingin.
Astuti yang mengintip dari kamar menahan senyum melihat adiknya yang sok ganteng itu tiba-tiba terdiam tak bisa menjawab kata-kata Menik. "Kapok kamu Gus, Menik dilawan."
"Kok jawabnya terus?" tanya Agus
"Memangnya Menik harus jawab apa?" goda Menik
"Yah, setidaknya jawab sukalah."
"Mas Agus mau prank Menik. Tiba-tiba nggak ada angin, nggak ada hujan, muncul petir."
"Nik, bukannya aku mau prank kamu, aku serius. Kalau aku nggak serius, ngapain aku sampai minta tolong ibu untuk ngomong sama kamu." Agus menggeser duduknya mendekati Menik. "Jawab yang serius Nik, aku bukan ngajak kamu pacaran, tapi ngajak langsung nikah."
Mendengar pernyataan Agus, seketika Menik terperanjat. Selama ini mereka memang dekat, tqpi hanya sebatas kakak dan adik. Mengapa tiba-tiba Agus bilang suka dan ngajak menikah.
"Mas ... untuk saat ini terus terang Menik nggak bisa jawab pertanyaan Mas. Menik bingung mau jawab apa."
"Menik nggak suka sama aku?"
"Bukan begitu mas." sanggah Menik. "Untuk saat ini Menik bingung. Menik masih belum percaya kalau mas suka sama Menik. Apalagi langsung ngajak nikah."
Menik terdiam menarik napas panjang. "Jangan-jangan mas ngomong suka sama Menik, karena Menik lagi sedih. Bukannya beneran suka sama Menik. Nggak usah merasa kasihan sama Menik mas. Insya Allah Menik masih kuat untuk menghadapi masalah ini." Air mata Menik luruh seketika. Dia menyangka Agus menghasihani dirinya. Sehingga mengajaknya untuk menikah.
Digenggamnya tangan Menik, "maaf aku nggak bermaksud seperti itu. Tulus aku suka sama kamu sejak pertama kali kamu datang ke sini. Padahal waktu itu aku hanya melihatmu sekilas dari pantulan kaca jendela ruang tamu." jelas Agus
"Stop ... stop ... Gus, lepasin tangan Menik." gertak bu Islah. "Belum muhrim." ujar beliau
Menik pun menarik tangannya dari genggaman Agus. Terdunduk malu, tak berani menatap bu Islah dan Pak Dewa. Sedang Agus malah senyum. Hati Agus bersorak gembira, karena ketahuan memegang tangan Menik oleh kedua orang tuanya, akan semakin memuluskan keinginannya untuk meminang Menik.
"Agus, jangan paksa Menik untuk menjawab sekarang. Tentu saja dia terkejut. Kamu selama ini nggak pernah menyatakan perasaanmu, tiba-tiba mengajaknya menikah. Sudah sekarang antar Menik pulang dulu, biarkan dia berpikir. Toh waktumu masih satu bulan lagi untuk berangkat." nasihat pak Dewa.
"Satu bulan? Berangkat? Kemana?" tanya Menik di hatinya.
Mendengar nasihat ayahnya, Agus akhirnya mengalah. Menunggu sampai Menik siap menjawab pertanyaannya. Digenggam erat kotak hitam di dalam saku bajunya. Urung kotak itu diberikan pada Menik malam ini. "Semoga kamu mau jadi istriku Nik, sebelum aku berangkat." batin Agus.
Menik berpamitan kepada bu Islah dan pak Dewa. Mencium takzim tangan pasangan paruh baya itu. Karena selama kenal dengan mbak Astuti, Menik sudah menganggap beliau sebagai orang tuanya.
...***...
Di dalam kamar Menik masih memikirkan tentang Agus. Dia bingung, apakah harus menerima pinangan itu ataukah menolaknya. Jujur saat ini belum ada perasaan suka, yang ada hanyalah perasaan nyaman mempunyai kakak laki-laki.
Malam semakin larut, Menik masih bergumul dengan jawaban apa yang harus diberikan pada Agus. Karena pada saat berpamitan tadi, Agus memberikan waktu satu minggu untuk menjawab pertanyaannya. Belum selesai masalah dengan ayahnya, muncul masalah baru.
...***...
Tok ... tok ... tok ... terdengar ketukan pintu.
"Menik, lihat siapa yang ketuk-ketuk pintu!" teriak budhe Harmini dari dapur.
Ceklek pintu terbuka, seketika mata Menik terbelalak, melihat siapa yang datang.
"Ayah—" ucapnya lirih
Pak Broto yang sudah tahu jika Menik berada di rumah budhe Harmini hanya tersenyum melihatnya.
Menik yang ingin membalas senyum ayahnya langsung diurungkannya. Karena melihat Sri Suketi yang ikut datang bersama ayahnya.
Sri Suketi dengan percaya diri langsung memeluk Menik. "Anak mami." ujarnya.
Menik bergeming tak membalas pelukan ibu sambungnya. Namun Sri Suketi tetap memeluknya dengan erat. "Tunggu saatnya aku jauhkan kau dari ayahmu." batin Sri Suketi.
"Lho, ada tamu ternyata." ujar pakde Harjo. "Sini duduk, jangan pada berdiri semua." ajaknya.
Sri Suketi mengurai pelukannya, dan menarik Menik untuk duduk di sampinya. Sri Suketi duduk diantar Pak Broto dan Menik. Perlahan namun pasti dia melancarkan rencananya.
Setelah berbincang lama, akhirnya dengan terpaksa Menik menuruti ajakan dan saran dari pak Broto dan pakde Harjo untuk pulang ke rumah.
"Budhe, Menik pulang dulu. Tapi budhe masih mau nerima Menik kalau minggat dari rumah ayah lagi kan?"
"Nduk ... rumah budhe selalu terbuka lebar untuk kamu. Budhe hanya punya kamu sebagai kenang-kenangan Asih. Setiap melihat matamu, seakan budhe melihat Asih." Budhe Harmini menyeka air mata yang tak bisa diajak kompromi. "Budhe masih ingat kata-kata terakhir Asih waktu itu." Katanya, "Yu, Aku sudah sembuh lho, sel kankerku sudah minggat. Jadi aku masih bisa bantuin Yu Mini masak kalau ada arisan kampung."
Mendengar cerita budhe Harmini, seketika Menik menangis. Dieratkannya pelukan kepada budhe Harmini.
Jarak usia budhe Harmini dan bu Asih terpaut jauh. Sehingga budhe Harmini malah seperti ibu bagi bu Asih. Dan yang mengenalkannya kepada Pak Broto juga budhe Harmini. Hanya saja mereka menikah bukan karena di jodohkan, tetapi karena terbiasa ketemu. Seperti pepatah orang jawa witing tresno jalaran soko kulino.
...***...
Sri Suketi mulai melancarkan aksinya. Di depan Pak Broto dia bersikap sangat manis. Namun, Menik tetap waspada agar tak terbuai oleh sikap manis Sri Suketi.
Menik memandangi ponsel yang lebih banyak diam akhir-akhir ini. Tak ada pesan dan telepon dari Agus ataupun Ince yang biasanya membuat gawainya tak bosan berdering.
"Tumben mas Agus tak menghubungiku. Apa dia marah? Atau aku harus duluan menghubunginya?" monolognya.
Di tekannya nomor Agus, bukannya nada sambung yang didengarnya, melainkan suara mbak operator. "Pulsa di kartu anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Segera isi ulang kartu prabayar anda."
Menik menepuk jidatnya. Ternyata dia lupa mengisi pulsa. Diapun keluar kamar menuju telepon rumahnya.
Tut ... tut ... tut terdengar nada sambung dari seberang.
"Halo assalamualaikum." ucap Menik
"Waalaikumsalam." terdengar jawaban di seberang telepon.
Ternyata Pak Dewa yang mengangkatnya, Menik ragu untuk menanyakan Agus.
"Halo!" terdengar sapaan lagi dari seberang
Menik pun memberanikan diri untuk bertanya, "Halo Bapak, ini Menik pak. Mas Agusnya ada tidak?"
"Oalah Menik ternyata. Agus kebetulan baru saja keluar ngantar ibu ke pasar. Nanti kalau sudah pulang, bapak sampaikan kalau Menik barusan telepon. Atau Menik langsung hubungi nomernya." ucap pak Dewa.
"He ... he ... kebetulan pulsa Menik habis pak, jadi Menik pakai telepon rumah. Nanti saja Menik telepon lagi."
Menik pun mengakhiri panggilannya. Belum sempat dia berajak dari sisi meja telepon, tiba-tiba ada yang menegurnya.
"Enaknya yang telepon pacar pakai telepon rumah. Dikira nggak mahal bayarnya!" sindir Sri Suketi.
Ingin Menik balas perkataan ibu sambungnya itu. Namun dia urungkan. Menik hanya istiqfar, belum dua puluh empat jam mereka bertemu, Sri Suketi sudah berani menyindirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
laila
muka dua
2022-05-14
1
laila
semangat nulis thor
2022-05-14
0
Mario bros
pinta bersandiwara
2022-05-08
0