Senyum Inas perlahan memudar melihat tatapan tajam Aji yang mengerikan sekaligus mempesona. Keren! Inas terdiam dan tetap menatap Aji tanpa suara. Suasana benteng yang sepi menambah atmosfer ketegangan diantara keduanya.
"Kamu... beneran cemburu kak?" tanya Inas lirih, masih tetap menatap Aji yang masih tajam menatapnya.
Sambil melepaskan genggaman tangannya dan kembali berjalan menyusuri benteng, Aji menjawab, "Cemburu atau tidak, tidak akan ada bedanya kan de'?" Inas hanya diam. Rasanya dia ingin meraih kembali tangan Aji dan mengatakan tidak perlu cemburu terhadap Rio. Namun, diurungkan niatnya. Benar tak ada bedanya. Dia juga tidak ingin memberikan harapan kepada Aji. Tentang rasa yang ada di hatinya, masih sama seperti kala remaja atau tidak, Inas pun masih bimbang.
"Sudah jangan dipikirin de'." ucap Aji sambil duduk di teras salah satu bangunan benteng. Inas duduk disampingnya. Meminum soft drink di tangannya. Menatap Aji yang juga tengah minum soft drink. Inas tersenyum.
"Kenapa de'?" tanya Aji heran.
"Kamu lucu kak kalau cemburu. hehe." jawab Inas sambil memalingkan wajahnya ke arah depan, menatap pelataran benteng yang dilalui beberapa turis asing.
Tangan Aji kembali meraih tangan Inas. Menggenggamnya, seakan mencari ketenangan, meredakan rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Inas tak bergerak, tetap menatap ke arah turis-turis asing yang sibuk mengamati bangunan benteng sambil sesekali bercakap-cakap dalam bahasa mereka.
"Mereka ngomong apa de'?" tanya Aji yang tahu Inas tengah memperhatikan turis-turis asing yang heboh.
"Entah. Bukan bahasa Inggris kak. haha."
"Kirain kamu lagi nguping. Ngomong sana!"
"Gak pede aku kak kalau ngomong sama bule. Nilai speaking ku aja C. haha."
"Masa' cuma C?"
"Iya. Dosennya acak kasih nilai. Temen ku yang jarang masuk aja dapet B. Heran."
"Dosen emang macem-macem jenisnya."
Dan pembicaraan mereka berlanjut ke hal-hal remeh temeh yang tak menyangkut urusan hati dengan tangan masih saling menggenggam, sesekali ibu jari Inas mengelus punggung tangan Aji tanpa disadarinya, seakan memberikan ketenangan. Jangan cemburu kak.
***
Aji tak sanggup lagi menahan panas di hatinya ketika Inas bertanya dengan nada sedikit mengejek.
"Penasaran? Atau malah kamu yang cemburu?" pertanyaan Inas yang ditujukan kepadanya dengan nada mengejek itu sungguh membuat Aji ingin berteriak, IYA!! Aku cemburu. Aku kacau semalaman memikirkan kamu dengan cowok lain, padahal aku tahu bukan tempat ku untuk cemburu. Namun Aji hanya sanggup mengatakan itu dalam hati sambil menatap Inas tajam. Pada akhirnya, "Menurut mu?" hanya itu yang keluar dari mulut Aji.
Cukup lama mereka terdiam. Aji masih terbakar cemburu yang coba dia sangkal sejak semalam. Dengan wajah takut-takut Inas bertanya padanya apakah dia benar-benar cemburu. Aji yang sempat hampir meledak tiba-tiba mendingin dan melepaskan genggamannya. Apakah cemburu ku penting?
"Cemburu atau tidak, tidak akan ada bedanya kan de'?" Tidak penting aku cemburu atau tidak!
Terdiam sambil menyusuri tiap bangunan benteng, akhirnya Aji pun duduk di teras sebuah bangunan. "Sudah jangan dipikirin de'." ucapnya akhirnya, mencoba merubah atmosfer yang jadi canggung. Rasanya tak hanya hati dan pikirannya yang lelah, tapi juga kakinya. Inas duduk di sampingnya sambil meminum soft drink. Jadi mulut botol enak kali, pikir Aji sedikit nakal. Diminumnya soft drink yang masih utuh tak terminum sedari tadi sambil menatap tangannya, masih dirasanya bekas tangan Inas di telapak tangannya. Masih terasa hangat, basah oleh keringat. Rasanya, masih belum cukup lama menggenggam.
Tersadar Inas sedang memperhatikannya sambil tersenyum, Aji pun heran, "Kenapa de'?"
"Kamu lucu kak kalau cemburu. hehe." jawaban yang membuat Aji gemas. Diraihnya lagi tangan Inas. Eh, gak nolak. Aji berpikir setelah suasana canggung yang tercipta, Inas akan berubah, menjaga jarak, tidak memberi harapan. Namun ternyata Inas masih sama saja, seperti tak terjadi apa-apa. Mencoba mencari pembahasan yang ringan tanpa mengenai hal-hal sensitif. Aji hanya ingin menikmati waktunya bersama Inas saat ini, waktu yang mungkin tak akan terulang lagi. Merasai ibu jari Inas yang sesekali mengelus punggung tangannya, Aji perlahan merasakan ketenangan. Seperti ini saja, biarkan mengalir.
***
Senja merah mengiringi Aji kembali ke kosnya. Pertemuannya dengan Inas sudah berakhir beberapa jam yang lalu, tapi Aji memutuskan untuk mampir ke suatu tempat. Toko buku. Mencoba meredakan campuran emosi yang tak terkendali. Coba tadi ajak Inas ke sini, pikirnya. Dilihatnya beberapa buku. Aji sedang tak ingin membeli buku apapun. Dia hanya membutuhkan ketenangan sebentar saja.
Meski matanya tertuju pada buku di dalam rak, pikiran Aji melayang-layang mengurai pertemuannya dengan Inas. Ketagihan. Aroma tangan Inas masih tercium di telapak tangan Aji. Wangi. Sepanjang menyusuri benteng, Aji tak ingin melepaskan tangan Inas. Terus digenggamnya, terlebih Inas juga tidak menampakkan ketidaknyamanan. Tidak ada penolakan yang membuat Aji semakin erat menggenggam tangan Inas.
Kenapa gak nolak? Kan dia udah punya cowok? Aji hampir lupa kalau Inas bukan cewek jomblo. Apa dia masih suka gue? dan sedetik kemudian Aji menggelengkan kepalanya mencoba untuk tidak terlalu percaya diri, walaupun dia sangat yakin Inas masih memiliki perasaan yang sama seperti saat remaja. Diingatnya kembali percakapan mereka sebelum berpisah.
"Makasih ya de'."
"Buat apa kak?"
Aji hanya tersenyum. Inas pun membalas senyumannya.
"Aku yang harusnya makasih kak udah ditemenin jalan-jalan sambil ngobrol banyak." ucap Inas kemudian.
"Kalau ke sini lagi jangan mendadak ya bilangnya, jadi bisa jalan-jalan kemana gitu."
"Ada yang cemburu kemarin, jadi gak bisa bilang duluan kalau mau ke sini." ejek Inas.
"Aku suka jalan-jalan di benteng kok kak. Enak. Sepi. Bisa ngobrol banyak." tambah Inas. Aji hanya terdiam. "Jadi kalau aku ke sini lagi, jalan-jalan di dalem aja." ajak Inas sambil tersenyum menunjuk benteng di belakang mereka.
"Okelah."
"Ya udah aku jalan ke halte ya kak. Hati-hati." pamit Inas.
"Aku temenin sampai kamu naik bus de'."
Tak berselang lama mereka berdiri menanti, bus yang akan membawa Inas pulang terlihat di kejauhan.
"Aku pulang ya kak." pamit Inas.
"Hati-hati ya. "
Ditatapnya bus yang membawa nostalgi kecilnya berlalu. Merasa seperti berpisah dengan kekasih. Berat.
Aji masih menatap buku-buku di rak. Berusaha menebak perasaan Inas terhadapnya yang tak mampu dia terjemahkan. Atau mengartikan rasa gundahnya saat ini yang terus terbayang wajah cantik Inas yang sederhana. Tak berhasil mendapat ketenangan dan jawaban. Dan pada akhirnya dia berjalan, berlalu, menuju motornya yang setia menunggu di luar toko buku. Memacunya kembali menuju tempat kos yang mungkin mampu memberi sedikit kedamaian. Sudahlah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments