Sepi

Waktu bergulir, terus berputar cepat tanpa mempedulikan manusia-manusia di bumi yang mengharap waktu berjalan lebih lambat. Seminggu, sebulan dan entah berapa lama nampaknya Inas sudah lupa kapan terakhir kali menerima pesan singkat dari Aji. Sejak terakhir kali bertemu di auditorium saat itu, belum ada satu pesan singkat pun mampir di ponselnya. Mungkin sibuk. Padahal Inas sudah mencoba lebih membuka dirinya, menyambutnya berharap dapat memperbaiki mereka yang penuh sesal.

"Hhh...." tanpa sadar Inas menghela nafas panjang disela-sela kegiatannya membaca buku di perpustakaan.

"Kenapa lu?" tanya Rio yang sedari tadi memperhatikan Inas. Tahu, pikiran cewek di depannya itu sedang tak ada di sana.

"Eh, gak apa-apa. Baca ni buku dari tadi gak masuk masuk ke otak." jawab Inas, ngeles. Mencoba menutupi apa yang sebenarnya dipikirkannya.

"Elu bacanya kebalik, ya gak masuk masuk ke otak." ucap Rio sambil membenarkan posisi buku yang dipegang Inas.

Eh. Sejak kapan kebalik? Inas hanya nyengir, malu.

"Ada masalah sama kak Nathan?" tanya Rio, mencoba memancing jawaban dari Inas. Inas menatap Rio sesaat, kemudian menghela nafas panjang lagi.

"Hhh... gak tahu nih Yo. Hati manusia suka galau." jawab Inas.

"Maksud lu?" bingung dengan jawaban Inas yang sama sekali tidak menjelaskan apapun.

"Gak apa-apa. Sudahlah, biar waktu yang menjawab kegundahan hati ku." jawab Inas, sok puitis.

"Biasa juga cerita kalau ada apa-apa lu, Nas." ucap Rio, masih mencoba memancing Inas untuk menceritakan apa yang dipikirkannya. Inas hanya menunduk, menatap halaman buku di depannya, melayangkan pikirannya jauh. Selama ini memang Rio menjadi pendengar setia Inas dalam berbagai hal. Inas bisa menceritakan apa saja, bahkan ketika ada pertengkaran kecil dengan Nathan. Tapi kali ini kasusnya berbeda. Terlebih Nathan pernah bilang kalau Rio menyukainya, apa yang akan Rio pikirkan tentangnya kalau Inas menceritakan perihal kisah kasihnya waktu jaman putih biru. Gak mungkin cerita!

Rio yang sedari tadi menemani Inas mulai tak sabar dan beranjak dari duduknya.

"Mau kemana Yo?" tanya Inas yang melihat Rio sudah siap-siap pergi.

"Makan. Laper nemenin orang baper." jawab Rio agak ketus.

"Ikuuutt..." minta Inas dibuat-buat agak manja.

"Ada syaratnya." jawab Rio.

"Apaan? Aku yang bayar?" tanya Inas penasaran. Tak biasanya Rio seperti itu.

"Ntar pulang kuliah temenin gue."

"Kemana?"

"Udaaaah... temenin aja ntar juga tahu kemana."

"Berdua?"

"Bertiga. Sama setan."

"Ih gitu amat sih Yo jawabnya."

"Elu nanya mulu dari tadi. Gemes gue. Jadi ikut makan gak? Gue mau makan mie ayam belakang kampus. Kalau lu mau nemenin gue ntar pulang kuliah, sekarang gue traktir mie ayam."

"Eh, beneran?" tanya Inas dengan wajah berbinar-binar. Rio tahu kalau Inas paling suka jajan mie ayam, apalagi gratis.

"Buruan. Keburu masuk kuliahnya."

Tanpa banyak tanya-tanya lagi, Inas langsung memasukkan buku ke dalam tasnya dan mengekor mengikuti Rio. Sepasang manusia itu berlomba dengan waktu, menuju kedai langganan mereka, menyantap menu kesukaan mereka, meninggalkan perasaan kalut masing-masing dan memuaskan perut mereka. Rindu juga menguras tenaga!

***

Wajar saja kalau Inas merasa sepi. Nathan sedang sibuk magang, ke kampus untuk kuliah hanya seminggu dua kali. Walaupun komunikasi mereka tetap terjaga via pesan singkat maupun telepon, namun tetap berbeda, karena biasanya setiap hari mereka selalu bertemu menghabiskan waktu sepulang kuliah, walaupun hanya singkat.

Kesepian bertambah semenjak Inas mengenal kembali Aji, berharap Aji bisa menemaninya meski hanya lewat pesan singkat. Namun, kenyataannya sama sekali tak ada jejaknya. Inas sudah berkali-kali mencoba mengetik sebuah pesan singkat untuk Aji. Namun, ketika akan mengirimnya Inas selalu mengurungkan niatnya. Jaim. Jaim yang berujung sepi dan rindu.

Sebenarnya Inas sendiri masih bingung tentang perasaannya kepada Aji. Inas hanya merasa sangat senang ketika bertukar pesan singkat. Terlebih ketika bertemu dengan Aji dan mendapati bahwa cinta remajanya itu sudah lebih hangat dan lucu. Sepertinya mimpi masa remajanya baru menjadi nyata, dan Inas ingin terus merasakannya.

Ditatapnya cowok di hadapannya yang sedang sibuk melahap mie ayam super pedasnya. Inas sangat bersyukur ada Rio yang selalu menemaninya, kapanpun. Bahkan mendengar curhatan-curhatannya yang mungkin membosankan. Inas memang lebih nyaman menceritakan masalahnya kepada Rio daripada kepada Kiki, Lia maupun Tyas. Dia merasa tak pernah nyaman bercerita kepada sesama cewek. Ember. Menatap sahabatnya yang masih asyik dengan mie ayamnya, membuat Inas tergelitik ingin bertanya sesuatu.

"Yo, kamu normal kan?"

"Maksud lu?" sambil terus menyantap mie ayamnya tanpa melihat Inas.

"Yaa, kamu suka kan sama cewek gitu? Soalnya kamu gak pernah cerita tentang cewek ke aku."

"Normal lah. Dasar."

"Trus kenapa gak pernah cerita tentang cewek ke aku. Emang kamu gak punya gebetan gitu?"

"Gak penting juga sih cerita cerita, Nas. Kalau udah punya pacar ntar gue kenalin ke lu."

"Gak ada gebetan sekarang?"

"Hhh... ada sih." jawab Rio mulai jengah.

"Cantik? Anak sasing juga?" (sasing \= sastra inggris)

"Kepo lu."

"Lagian temen sendiri dikepoin boleh laah."

"Udah ntar aja kalau udah jadi cewek gue, gue kenalin ke lu. Cewek yang jadi pacar gue kudu kenal lu dulu, kudu mau temenan sama lu juga. Kalau gak mau ya gak usah jadi pacar gue."

"Kenapa emang?"

"Lah kan lu temen gue. Ogah kalau udah jadian trus gue lagi berdua sama lu kayak gini, dianya cemburu. Kan rese'. Kak Nathan aja gak pernah cemburu kan kalau lu pergi cuma berdua sama gue?"

"Iya juga ya. Kok dia gak cemburu sih? Padahal dia bilang ke aku kalau kamu suka sama aku." ucap Inas tanpa sadar.

"Uhuk..." Rio yang mendengar langsung tersedak.

"Pelan pelan sih Yo makannya. Ngapain sih kamu?" ucap Inas, berdiri sambil menepuk-nepuk punggung Rio.

"Lu tadi bilang apa?"

"Apa?"

"Barusan lu bilang kak Nathan bilang ke lu apa?"

Mendengar pertanyaan Rio, Inas baru tersadar akan apa yang telah dia katakan. Inas terdiam sesaat. Rio menatapnya, masih menunggu jawaban Inas, berharap dia salah dengar. Ragu sesaat, kemudian Inas buka mulut.

"Yaa... itu... dia bilang kalau kamu suka sama aku." menjawab sambil melirik ke arah Rio.

Kok kak Nathan bisa tahu? batin Rio.

"Ya suka lah. Kalau gak suka mana mau nemenin lu yang galau." ucap Rio dengan nada dibikin selengekan, berharap Inas menangkapnya becanda.

"Beneran Yo?" tanya Inas, ragu-ragu.

"Gak usah lu pikirin gue. Perasaan gue ke elu gimana biar gue sama Tuhan yang tahu. Yang cukup lu tahu, gue tulus temenan sama lu, tulus jadi pendengar setia masalah-masalah lu, dan tulus juga kasih saran dan solusi. Jadi, lu jangan sungkan dateng ke gue kalau ada apa-apa. Oke?" ucap Rio, menenangkan. Rio sendiri tidak ingin ada yang berubah setelah Inas mengetahui perasaannya.

"Udah... buruan diabisin mie ayam lu. Udah mepet nih."

Inas hanya malas-malas menghabiskan mienya. Ingin rasanya berhenti makan, tapi perutnya tak bisa berbohong. Jadi tambah laper!

***

Rasanya hari ini lebih melelahkan dari biasanya. Inas sudah merebahkan tubuhnya, melayangkan pikirannya pada kejadian sore tadi. Sepulang kuliah menghabiskan waktu bersama Rio, berdua saja. Bukan hal yang tak biasa. Mereka sering keluar berdua. Namun, sore itu atmosfernya jadi lain setelah Inas memastikan bahwa apa yang dikatakan Nathan tentang perasaan Rio kepadanya adalah benar. Kenapa selama ini aku gak peka banget sih?

Sore yang mereka habiskan di toko buku, mencari penghiburan favorit Inas dan Rio. Membaca. Walaupun mata Inas menatap buku-buku itu, pikirannya berlarian jauh dari sana. Tak sadar bahwa Rio memperhatikannya. Sudah ku duga. Gak mungkin gak berubah.

"Balik yuk!" ajak Rio, membuyarkan lamunan Inas.

"Eh, udah? Aku baru milih milih ini."

"Jujur, Nas. Kamu lagi gak di sini. Aku ngajak kamu ke sini supaya kamu gak galau lagi. Malah yang aku lihat kamu tambah galau. Jadi, ya udah ayo balik aja." ucap Rio. Ada nada kecewa di dalamnya.

Kok jadi aku-kamu gitu ngomongnya, batin Inas.

"Yuk." ajak Rio lagi karena Inas hanya diam.

"Bentar. Aku mau ambil ini, tapi uang ku kurang. Pinjem yak?" tanya Inas sambil meringis, berharap Rio tidak menganggapnya berubah.

"Iya gue bayarin." Inas yang mendengar jawaban Rio sudah kembali ke gue-elu lagi tersenyum.

"Aku minjem, gak minta dibayarin!" ucap Inas dibuat-buat agak kesal.

"Kalau minjem, baliknya harus tambah bunga."

"Riba' itu namanya. Dosa."

Dan mereka tertawa lepas, kembali seperti semula. Jangan berubah Yo, nanti sepi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!