Sementara Inas menikmati tawa canda bersama cinta remajanya, di sisi lain, di kota X, Nathan yang sudah selesai mengurus ijin magang di instansi pemerintah daerah setempat, termangu di ruang tunggu stasiun. Mencoba memahami hatinya yang kusut, antara cintanya dengan Inas dan obsesinya dengan Trisna. Beradu jadi satu. Berusaha mengurai yang mana yang lebih dia ingini. Dua-duanya.
Trisna yang sudah sejak SMA menghuni ruang di hatinya, yang akhirnya dapat dia taklukkan, tak mungkin dengan mudah dilepaskannya. Sedangkan Inas, dengan kehangatan dan kelembutannya, penerimaannya yang tak pernah menuntut apapun dari Nathan membuatnya terlena dengan kenyamanan dan ketulusan Inas.
Biarkan saja. Jalani saja. Begitu akhirnya Nathan menyudahi pikirannya yang rumit. Hari ini dia akan menghabiskan waktu bersama Trisna. Kemarin Trisna mengirim pesan singkat kalau dia akan pulang, kuliah libur beberapa hari karena ada acara kampus dan sebagian besar dosennya sibuk mengikuti acara tersebut.
"Besok siang jemput aku di stasiun ya sayang. Kamu kuliah gak besok?" rengek Trisna kemarin di telepon. Sebelum pacaran, Trisna tidak pernah sampai merengek-rengek manja kepada Nathan. Nathan sedikit merasa risih. Jujur, dia lebih suka Trisna yang mandiri. Sama seperti Inas yang tidak pernah memintanya menjemput atau mengantarnya kemana pun.
"Jam berapa?"
"Jam 11.15. Bisa kan sayang?"
"Iya bisa. Besok aku gak ada kuliah."
"Okay. Makasih sayang. See you. Muach."
Lebay, pikir Nathan. Apa Trisna juga kayak gitu sama mantannya dulu? Nathan merasa sangat aneh dengan perubahan sikap Trisna, dari mulai memanggilnya sayang hingga terkadang merengek-rengek manja. Tidak pernah terbayangkan oleh Nathan kalau Trisna akan berubah seperti itu.
Diingatnya dulu ketika sedang mendekati Inas. Sebenarnya Nathan tak ada niatan untuk menjadikannya pacar. Hanya saja hatinya selalu ingin bersama Inas, selalu ingin Inas hanya hangat dan lembut kepadanya. Sikap yang tulus yang tak dibuat-buat.
Pikirannya melayang, melompat ke dua tahun yang lalu.
***
Dua tahun yang lalu...
Waktu itu gerimis syahdu, setelah hujan deras mendinginkan bumi. Dua sosok insan yang terjebak hujan di lobi fakultas sastra itu memutuskan untuk membeli minuman hangat di kantin. Kantin sudah mulai sepi. Wajar, hari sudah sangat sore, sudah waktunya mahasiswa pulang kecuali mahasiswa-mahasiswa yang sibuk dengan kegiatannya ataupun sok sibuk dengan perkara sepele.
Berjalan ke kantin dalam diam. Inas yang waktu itu belum menjadi pacar Nathan, diam saja ketika Nathan berjalan sambil menggandeng tangannya. Setelah memesan dua gelas kopi susu hangat, mereka duduk di sudut kantin. Masih terdiam. Inas tak ingin menanyakan apapun. Malam sebelumnya Nathan mengungkapkan perasaannya lewat pesan singkat.
Aku nyaman sama kamu de'. Aku gak pengen kamu pergi. Tapi kalau kamu gak bisa, gak apa-apa. Setelah ini jangan pernah anggap aku ada.
Nathan mencoba mengingat-ingat apa yang mereka bicarakan sebelumnya, kenapa dia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi waktu itu. Yang dia ingat Inas hanya membalas singkat.
Besok diomongin lagi yak, kak. Biar lebih plong.
Dan begitulah, Inas hanya terdiam keesokan harinya ketika mereka bertemu. Tapi tidak menunjukkan dia marah ataupun tidak nyaman. Sedari tadi bertemu, Nathan terus menggenggam tangan Inas dan Inas tidak berusaha melepasnya. Bahkan sampai tangan mereka basah berkeringat pun Inas tetap saja tak melepaskannya, begitupun Nathan. Hujan deras yang turun menjadi saksi bisu perasaan mereka. Nathan masih asyik ngobrol dengan teman-temannya yang terjebak hujan. Sesekali melihat Inas yang sibuk memainkan ponselnya dengan tangan satunya yang bebas. Begitu hingga hujan menjadi gerimis dan satu per satu teman Nathan memutuskan pulang dan Nathan memutuskan untuk mengajak Inas ke kantin, membeli sesuatu yang hangat untuk tubuh mereka.
Setelah pesanan dua gelas kopi susu hangat mereka tiba, Nathan melepaskan genggamannya. Tangannya kini sibuk mengaduk-aduk kopi susu hangat di hadapannya. Inas melakukan hal serupa.
"Jadi gimana?" tanya Nathan, memecah kesunyian. Inas menoleh, melihat tatapan Nathan yang tak seperti biasa, ada ketakutan, kelembutan dan kegundahan jadi satu di dalamnya.
"Gimana apanya, kak?" tanya Inas mencoba bersikap biasa.
"Ya udah." jawab Nathan sedih. Inas menoleh, melihat wajah Nathan yang tak kalah mendungnya dengan langit sore itu.
"Kak Nathan mau Inas gimana? Inas gak bakal kemana-mana. Inas bakal nemenin kak Nathan terus tiap hari. Jadi, jangan sedih ya." Nathan masih terdiam. Sudah berpaling, tak melihat ke arah Inas.
"Inas sayang kak Nathan." ucap Inas lirih. Mendengar ucapan Inas, Nathan terkejut, melihat ke arah Inas yang tidak melihatnya, menyibukkan diri dengan meminum kopi susu di depannya. Nathan menggenggam tangan Inas lagi. Ketika Inas menoleh ke arahnya, Nathan berkata sambil menyunggingkan senyum di wajahnya,
"Makasih. Nathan sayang Inas."
Dan begitulah hubungan mereka berjalan sampai saat ini tanpa saling merubah sikap, tanpa saling menyembunyikan sesuatu, tanpa saling curiga, tanpa saling memaksa. Mereka berada dalam kenyamanan dan saling melengkapi.
***
Masa kini...
Suara pengumuman di stasiun membangunkan Nathan dari lamunan masa lalunya. Bersiap-siap menyambut kekasihnya. Atau kekasih gelapnya. Entah. Dari pintu kedatangan terlihat Trisna yang melambai-lambaikan tangannya dengan senyum secerah matahari menghiasi wajahnya.
Tanpa malu-malu dilihat banyak orang, Trisna langsung merangkulkan tangannya ke lengan Nathan.
"Kangeeen..."
"Makan dulu yuk." ajak Nathan tanpa membalas ungkapan kerinduan Trisna.
"Ayuk, laper juga. Belum sarapan tadi." Dan mereka pun berlalu.
Setelah puas merangkap sarapan dan makan siang bersama, Nathan mengantar Trisna pulang.
"Mampir dulu kan, sayang?" pinta Trisna ketika mereka sudah sampai di rumah Trisna. Nathan turun dari motornya, mengikuti Trisna yang masuk ke rumah. Nathan tak heran jika suasana rumah Trisna sepi. Tak ada orang di rumah. Trisna juga dari keluarga broken home. Dia tinggal hanya bersama mamanya yang tentu saja pada jam-jam seperti itu tengah bekerja.
Trisna langsung menuju kamarnya. Nathan duduk menunggu di ruang tamu. Tak berselang lama, Trisna keluar dengan tanktop hitam dan hotpants abu-abu, menunjukkan dengan jelas lekuk tubuhnya. Nathan yang melihatnya sedikit terkejut, pasalnya Trisna tak pernah berpenampilan seperti itu di depannya sebelumnya. Dengan santai Trisna duduk di samping Nathan, sangat dekat.
"Gerah banget ya." ucapnya. Nathan hanya diam berusaha mengalihkan pandangannya dari Trisna. Tak ada respon dari Nathan, Trisna menggenggam tangan Nathan.
"Sayang mau minum apa?" tanya Trisna.
"Apa aja deh." jawab Nathan yang coba mengontrol perasaannya. Dia tidak ingin lepas kendali seperti terakhir kali dia bersama Trisna dulu. Trisna yang merasa bahwa Nathan berusaha menahan sesuatu, mulai memancingnya.
"Kamu gak kangen sama aku, sayang" tanya Trisna sambil memajukan tubuhnya ke arah Nathan. Nathan yang merasa diberi kesempatan, tak menjawab, dan tak peduli lagi. Dia langsung ******* bibir Trisna yang sedari tadi provokatif menggodanya. Dasar cewek nakal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments