Menikmati Dua Cinta (part 2)

Ditatapnya Trisna yang masih nyenyak dalam mimpinya. Dia tak pernah menyangka cewek yang selama ini menjadi obsesinya ternyata begitu nakal dan menggoda. Apa seperti ini kelakuannya dengan cowoknya dulu? Nathan tak pernah membayangkannya. Dia mengenal dan dekat dengan Trisna sudah sejak SMA. Yang dia tahu Trisna bukan cewek gampangan. Sejauh yang dia tahu, Trisna hanya punya dua mantan kekasih, yang satu ketika mereka masih SMA, yang satu yang baru saja putus sebelum Nathan menyatakan perasaannya. Dan siapa yang tahu kalau gaya pacarannya seperti itu. Dari luar tidak seperti cewek yang suka hal-hal intim dan romantis seperti itu. Bahkan Trisna sama sekali tidak menolak apapun yang dilakukan Nathan terhadapnya.

Namun hari itu Nathan dapat mengendalikan dirinya. Dia tidak berbuat lebih dari sekedar bercumbu, meski Trisna terlihat menuntunnya untuk melakukan lebih. Bagaimana mungkin bisa melakukan lebih ketika wajah Inas menghantui pikirannya, yang membuat dia tetap bisa mengendalikan dirinya.

Nathan beranjak dari tempatnya duduk, mengusap wajahnya. Berjalan menuju kamar mandi dan mencuci wajahnya yang kuyu. Memandangnya di cermin. Diam. Lalu pergi meraih ponselnya. Tak ada pesan singkat dari Inas. Tumben. Diliriknya jam di dinding. Jam tiga lebih. Masih sempet ke kampus bentar, pikirnya. Mengetikkan sesuatu lalu mengirimnya.

Belum selesai kuliah kan? Nathan otw ke kampus. Kangen.

Melihat Trisna yang masih terlelap, Nathan mencoba membangunkannya perlahan.

"Aku mau ke kos Alex. Ngerjain tugas kelompok." aku Nathan. Trisna menggeliat perlahan.

"Udah sore gini?"

"Iya. Anak-anak pada ngurus ijin magang tadi pagi. Baru pada sempetnya sore. Kamu istirahat aja, ntar aku telepon kalau udah selesai."

"Ya udah. Hati-hati."

Dan Nathan pun berlalu. Memacu motornya menuju kampus. Aku sudah mulai tak waras.

***

Perkuliahan panjang dan menjemukan telah usai. Gerombolan Inas masih membahas mata kuliah terakhir hari ini yang sama sekali tidak mereka pahami dari awal sampai akhir.

"Gue udah buka telinga lebar-lebar. Udah niat banget tuh nyimak dosen. Eee giliran didengerin malah kumur-kumur gak jelas." ucap Rio teman sekelas Inas.

"Lah elu pasang telinga. Gue yang duduk di depan bapaknya aja kagak paham tuh bapak ngomong apaan." Kiki menimpali.

"Pronunciation bapaknya pake aksen mana sih? Perasaan English British masih lebih jelas daripada kalau tuh dosen ngomong." tambah Lia.

"Jangan lupa minggu depan ada quis." ucap Inas dan semua otomatis mencelos.

"Open book aja semoga." harap Tyas.

"Ngarep lu!!" ucap Lia sambil menoyor kepala Tyas.

"Emang elu kagak?" sahut Tyas, sedikit tak terima kepalanya ditoyor.

"Hehe. Iya sih." jawab Lia sambil menjulurkan lidahnya.

"Emang open book kok besok itu quisnya." ucap Inas santai sambil memainkan ponselnya, membalas pesan singkat dari Nathan. Inas tunggu di lobi bawah.

"HAAAH?? SERIUS??" sahut Rio, Kiki, Lia dan Tyas bersamaan. Inas hanya mengangguk saja. Masih melihat teman-temannya tak percaya, Inas menambahkan, "Kan bapaknya tadi bilang 'Next week we'll have quis. You may open your books for the references' gitu. Ga denger?"

"Boro-boro denger, Nas. Udah bosen gue kudu mengurai omongan bapaknya yang gak pernah jelas." jawab Rio.

"Kok lu bisa denger gitu sih?" tanya Tyas penasaran karena memang dosen mereka yang satu itu hampir tidak bisa dicerna dengan jelas apa yang dibicarakannya.

"Dengernya jangan pake telinga. Pake hati dan perasaan." jawab Inas sekenanya. Semua manyun mendengar jawabannya. "Udah lah santai aja. Quis Cross Cultural Understanding aja gak usah dibikin pusing. Biasanya juga soalnya pake 'What is your opinion about bla bla bla' jadi kan jawabannya ngarang aja." ucap Inas menenangkan. Tak lama Nathan sudah muncul di samping Inas, tersenyum dan menyapa teman-teman Inas, "Heboh amat?"

"Iya nih kak. Bahas dosen CCU." jawab Kiki.

"Haha. Sabar ya. Emang gitu bapaknya. Banyakin doa aja kalau pas quis." ucap Nathan sambil tertawa.

"Udah yuk." ajak Inas kepada Nathan. Nathan hanya mengangguk.

"Duluan yak." pamit Inas kepada teman-temannya.

"Pacaran teroooosss." kelakar Rio.

"Wajar sih ya, punya soalnya."jawab Inas sambil berlalu dan tertawa kecil, mengejek Rio yang terkenal jomblo abadi. Gimana mau punya pacar, Nas. Kamu aja udah kecanthol sama kakak tingkat duluan, batin Rio. Kiki, Tyas dan Lia yang melihat Rio hanya menepuk-nepuk bahu Rio, menenangkannya.

***

"Rio kayaknya suka kamu deh." kata Nathan tiba-tiba, setelah beberapa langkah meninggalkan gerombolan teman-teman Inas yang masih asyik berdebat di lobi bawah.

"Hah? Engga ah. Mana mungkin coba." respon Inas terkejut. Inas tak pernah sadar bahwa Rio sudah lama menyukainya.

"Nathan kan cowok, Nas. Punya insting semacam itulah." jawab Nathan. Inas hanya tersenyum, tak percaya.

Ketika mereka berbelok menuju koridor yang menghubungkan dengan tempat parkir, tiba-tiba Nathan menarik tangan Inas, menyudutkannya di sudut dinding, mencium bibirnya. Lembut, batin Nathan.

"I do miss you." bisik Nathan kemudian menggandeng tangan Inas yang masih terkejut dengan apa yang dilakukan Nathan barusan.

Untung sepi, pikir Inas.

Sial! Jadi baper gegara ngomongin cowok lain, batin Nathan.

"Dulu, Nathan pikir Rio itu cowok Inas. Kelihatan deket banget gitu sama Inas." kata Nathan mencoba memecah keheningan yang canggung.

"Banyak yang ngira gitu sih. Padahal engga. Pas awal-awal dulu sempet ngegebet juga, tapi pas kenal deket malah jadinya gak pengen ngegebet. hahaha." aku Inas.

"Kenapa? Kan ganteng tuh si Rio, pinter juga kan?" tanya Nathan penasaran.

"Haha. Iya ganteng, tapi kadang kalau ngobrol sama Inas suka gak nyambung, suka ngeblank dia. Udah gitu kalau ngelucu kadang garing, sampe bilang 'garing ya?' saking Inas cuma diem aja gak ketawa. hahaha."

"Kalau putus dari Nathan, Inas sama Rio aja. Dia cowok baik." ucap Nathan tiba-tiba. Seketika membuat Inas bingung, tapi Inas hanya mampu diam. Putus? Baru kali ini Nathan ngomong kayak gini.

"Hhhh..." Inas menghela nafas setelah diam yang menyesakkan. Nathan yang menikmati sepiring batagor menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Nathan.

"Gak apa-apa. Abis Nathan bilang kalau putus gitu. Jadi mikir..."

"Gak usah mikir aneh-aneh. Kan itu seumpama aja. Nathan gak mau Inas dapet yang lebih buruk dari Nathan seandainya kita putus." potong Nathan. Ngomong apaan sih, umpat Nathan kepada dirinya sendiri. "Buruan diabisin. Alex udah nunggu di kos katanya."

Inas pikir setelah makan batagor dia akan pulang, ternyata masih harus mampir ke kos Alex. Ada sedikit trauma setelah kejadian terakhir kali di kamar kos Alex. Namun, Inas mencoba percaya kepada Nathan bahwa kejadian itu tidak akan terulang.

Di kos Alex sudah ada Liana yang menyambut Inas. Inas merasa lega tidak akan berdua saja dengan Nathan. Ini pertama kalinya Inas merasa lega tidak hanya berdua saja dengan Nathan. Biasanya Inas tidak masalah ditinggal berdua saja dengan Nathan di kamar kos Alex.

"Sini sini, Nas. Masuk." sambut Liana ramah seperti biasa.

"Iya kak. Udah lama kak?" tanya Inas basa-basi.

"Lumayan. Udah bisa satu ronde." jawab Alex becanda. Liana yang mendengar hanya manyun saja.

"Iya satu ronde. Bantuin beres-beres kamar kamu. Tumben banget berantakan." jawab Liana sebal.

"Kemarin dipake tidur Doni sama temen-temennya." jawab Alex santai. Doni, tetangga sebelah kamar Alex.

"Emang kamar Doni kenapa?" tanya Liana.

"Berantakan katanya." jawab Alex.

"Suruh bersihin lah kalau berantakan, bukan malah nebeng kamar orang terus ikutan dibikin berantakan!" sembur Liana. Alex hanya meringis sambil memetik gitarnya. Dua sejoli ini memang sering berdebat masalah-masalah sepele yang membuat Inas merasa terhibur melihat pertengkaran kecil mereka.

"Ayo jadi gak?" ajak Liana kepada Alex.

"Mau kemana kak?" tanya Inas, sedikit cemas.

"Nyari makan dulu, Nas. Si bibi kelaperan abis bersih-bersih. Ikutan?" jawab Alex, diiringi pukulan Liana di bahunya.

"Barusan makan bro. Lu makan dulu aja, ntar kita omongin abis itu." jawab Nathan.

"Oke. Agak lama tapi ya. Si bibi minta bayaran traktiran mahal." ucap Alex, lagi-lagi menyindir Liana dan langsung mendapat hadiah cubitan di pipi dari Liana. Sepasang kekasih itupun berlalu.

Inas merasa agak tidak nyaman. Dia memperhatikan Nathan yang tengah sibuk memetik gitar Alex dan menyanyikan lagu yang Inas tak pernah dengar. Lagu mereka, tentu saja. Tiba-tiba Nathan berhenti bernyanyi, menatap Inas. Inas yang gugup dan takut memalingkan pandangannya, berputar-putar hingga tak menyadari Nathan sudah berada di hadapannya. Memeluknya.

"Jangan pernah pergi dari Nathan. Nathan mohon." Inas yang semula takut, menjadi iba. Membalas pelukan Nathan, mengelus punggungnya.

"Aku suka aroma mu." ucap Nathan, masih tetap menenggelamkan kepalanya di leher Inas. Jantung Inas berdebar lebih kencang. Dan seperti yang Inas duga, sedetik kemudian bibir mereka beradu. Tanpa mempedulikan waktu. Aroma candu!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!