"... Sangat imut, kyaaa... rasanya seperti seekor anak anjing yang takut dimarahi karena melakukan kesalahan,"
"Apakah aku boleh menyentuhnya? Tidak. Mungkin mengelus sedikit kepalanya? Lebih baik tidak juga, ada begitu banyak orang disini. Argh... "
Logika dan perasaanku saat ini tengah berdebat.
"Nona Besar, Tuan Muda," panggil Bapak Butler.
Perhatianku teralihkan, "Ada apa?"
"Tuan Besar sudah datang." tutur Bapak Butler.
Aku pun beralih pergi ke depan.
Dari kejauhan sebuah kereta-kereta kuda mewah tengah berjalan menuju ke tempat kami.
Ktopak... ktopak... ktopak...
Suara sepatu kuda yang semakin mendekat membuat rasa penasaran ku bergejolak.
Bukan karena penasaran dengan penampilan Marquess, tapi...
"Banyak sekali kereta kudanya,"
"Untuk apa Tuan Besar membawa begitu banyak kereta kuda?"
"Jangan-jangan Tuan Besar membawa simpanannya ke sini,"
"Hus! Kau ingin mati?!"
Diskusi para pelayan menjadi minyak yang memperbesar api penasaran dalam diriku.
Salah satu kereta kuda paling mewah berhenti tepat di tengah-tengah karpet merah.
Detak jantung berpacu ketika pintu kereta kuda dibuka.
Aku mulai menebak-nebak siapa saja orang yang ada di dalam kereta kuda.
Seorang pria tampan nan gagah bermata merah bak ruby darah dengan rambut putih yang berkilau di tengah gelapnya malam, muncul dari balik pintu berlapis emas dan turun melewati beberapa tangga gantung hingga kakinya menyentuh tanah.
Turunnya pria itu diiringi dengan salam dari orang-orang yang membungkuk penuh hormat.
"Salam kami kepada Yang Mulia Besar Marquess Charcraes, sang pilar Kekaisaran Stannis Magna." ujar mereka semua sembari membungkukkan tubuh, terkecuali aku.
"Apakah dia benar-benar Ayah Cassiopeia? Bukan kakak atau adiknya?"
Dalam cerita memang ada beberapa episode kemunculan Marquess Charcraes. Tapi, dia terlalu berbeda, yang aku lihat di dalam game dan sekarang jauh berbeda.
"Hm... "
Jawaban singkat yang hanya berupa dehaman dibalut oleh aura dingin nan mencekam ketika Marquess berjalan.
Aura yang tak main-main hingga mampu membuat tidak ada satupun yang bisa mendongakkan kepala.
Akan tetapi aku tak menyadari hal tersebut sama sekali, mataku masih fokus menatap sosok pria itu.
Ribuan pertanyaan menumpuk di kepala.
Bagaimana bisa Marquess yang biasanya sudah tua dan gendut bisa begitu tampan dan gagah seperti ini?
Seperti itu lah salah satu pertanyaan yang muncul di benakku.
Sosoknya semakin mendekat, kini berhenti tepat di depanku.
Tangannya terulur, ketika tangan itu tepat berada di depan wajahku tanpa sadar tanganku bergerak sendiri menepis tangan Marquess.
Ia menarik tangannya, aku tak mampu melihat ekspresi apa yang ia buat saat ini.
Tanpa ada satu pun kata, ia langsung masuk ke dalam meninggalkan aku sendirian yang masih termenung membuat gunung.
Sebuah tangan tiba-tiba menempel di pundak membuatku tersentak.
Aku pikir siapa, ternyata adalah Deo Amica Charcraes, anak itu segera menarik kembali tangannya.
"Maaf 'kan saya Kak,"
"Ck," decakan singkat keluar dari bibirku.
Aku memejamkan mata sesaat lalu menatap ke arah Deo.
"Bisakah kau berhenti untuk meminta maaf?"
Dia tertegun, aku pun melanjutkan kembali perkataan ku.
"Kau tidak perlu terus-terusan meminta maaf, lagipula tak ada gunanya jika hanya meminta maaf."
Setelah mengatakan hal tersebut aku berbalik pergi meninggalkan Deo yang mematung bagai patung es.
Pikiranku kalut, perasaan yang entah dari mana berkecamuk di dalam hatiku.
Aku memilih untuk menenangkannya dengan pergi ke suatu tempat, berharap bisa mendapatkan ketenangan diri.
•••
Udara dingin berhembus dengan pelan menggelitik kulit.
"Argh! Rasanya kepalaku ingin pecah!" pekikku seraya melemparkan batu ke danau besar di depan ini, berharap agar batu tersebut membawa semua perasaan yang menggangu.
"Apakah ini perasaan Cassiopeia yang sebenarnya?"
Aku terduduk di hamparan rerumputan yang dipenuhi dengan embun.
Walau sekarang baru jam 7 malam, akan tetapi rerumputan di tempat ini sudah penuh oleh air embun.
Sedih, bahagia, marah, kesal, senang. Bermacam-macam emosi menyeruak keluar.
Entah kenapa sejak menatap dia, tubuh Cassiopeia seperti ketakutan tanpa sebab.
Bahkan tanpa aku sadari, tubuh ini bereaksi sendiri untuk menghindari sentuhan Marquess, ayahnya sendiri.
Jika orang lain mungkin sudah wajar karena Cassiopeia juga phobia terhadap sentuhan orang lain.
Akan tetapi ini berbeda.
Aku meringkuk, menatap ke langit.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa tubuhmu sampai ketakutan seperti ini?" tanyaku kepada jutaan bintang, jauh di luar angkasa.
"Heh, memangnya apa yang aku harapkan. Masa iya aku berbicara dengan bintang berharap ada jawaban,"
Senyuman tawar dan hampa terlukis.
"Tidak seharusnya aku kabur seperti ini, orang-orang pasti sudah mencariku. Aku harus bergegas,"
Meskipun aku berbicara dengan yakin seperti itu.
"Tapi hati dan tubuhku rasanya tak kuat." ungkap ku menunduk ke bawah.
Srek... srek...
Tiba-tiba ada suara mencurigakan yang berasal dari arah belakang.
Aku segera berbalik, seorang remaja laki-laki tertangkap basah masuk ke dalam rerumputan di balik pohon.
Aku memutar bola mata malas melihat tingkah laku remaja pubertas tersebut.
Aku pun memutuskan untuk tidak memperdulikan nya dan kembali melemparkan bebatuan ke dalam danau.
1 detik 2 detik, bahkan sampai 5 menit lamanya tak ada pergerakan sedikitpun.
"Mau sampai kapan anak itu bermain petak umpet?"
Kegaduhan tak bersuara yang berasal dari tempat tadi membuatku tertawa cekikikan.
"Hah~ untuk kali ini aku akan memaafkannya, karena dia sudah mengobati mood yang sudah hancur."
Plak...
"Aw!" jerit seseorang.
"Ups... aku pikir itu kelinci kecil yang imut," sindir ku sembari menutup mulut agar tak tertawa terbahak-bahak.
Tidak kunjung ada jawaban juga.
"Jika tak salah di rerumputan lebat di balik pohon sakura rindang itu terdapat banyak sekali serangga," paparku.
Bruk...
"Serangga, siapa pun tolong!" pintanya sembari berteriak, berlari seraya membersihkan seluruh tubuhnya dengan bergidik.
"Pfffttt... buahahahaha,"
Sungguh, aku tidak mampu lagi menahan tawa melihat seorang Deo Amica Charcraes. Seorang manusia tanpa ekspresi kini ketakutan seperti dikejar-kejar hantu.
Dia menatapku datar dengan mimik biasanya.
Aku menghentikan tertawa dan beralih kembali duduk menatap danau.
Bulan yang dipantulkan oleh air serta pemandangan indah di sekitar membuatku tersadar, bahwa aku masih berada di dalam dunia palsu buatan imajinasi seorang penulis.
"Apakah saya boleh duduk di sini, Kak?" tanyanya sopan.
Aku tak menjawab dan beralih mengambil setangkai bunga dan memulai memetik satu persatu kelopak bunga.
"Sampai kapan ia terus berdiri seperti itu? Mungkin jika aku tak menjawab dia tak akan duduk, sungguh anak aneh."
Aku mendongak menatap ke arahnya.
"Sampai kapan kau akan terus berdiri?"
"Entahlah, mungkin sampai di izinkan." cetusnya.
"Pfffttt... "
Jujur saat ini aku ingin tertawa terbahak-bahak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
SoVay
ga apa kok pelan2, anggap aja rekreasi lewat tulisan
2022-02-18
1