Masih dihari kemarin
Semenjak malam itu, Nia berubah. Tidak ada lagi Nia yang periang seperti dulu. Ia lebih sering menghabiskan waktunya berdiam diri di kamarnya atau di perpustakaan pribadinya. Tenggelam dalam kesendiriannya.
Nia menjadi gadis yang pemurung, ia hanya akan berbicara jika di tanya. Itu pun hanya singkat dan seperlunya saja. Bahkan senyum yang selalu menghiasi wajahnya pun juga menghilang.
Berganti dengan raut wajah datar, dingin , dan sulit diartikan.
Selera makan Nia juga menurun drastis. Sering ia melewatkan makan bersama keluarganya. Bahkan jika Bik Tini harus mengantar makanan ke kamar Nia, dia akan mengambil kembali nampan dengan isi yang belum disentuh sedikitpun oleh Nia.
Beban pikiran di tambah dengan kondisi perut yang kosong, membuat kesehatan Nia memburuk. Hingga suatu ketika Bik Tini menemukan Nia pingsan, tergeletak di depan kamar mandi.
“Non Nia...!!” pekik Bik Tini
“Non.. kenapa non...??” Bik Tini panik menghampiri Nia mencoba membangunkan anak majikannya itu.
Bik Tini segera berlari keluar kamar setelah dirasa dia yakin bahwa anak majikannya bear - benar pingsan dan membutuhkan pertolongan.
“Nyonya... Tuan... Tolong ... Non Nia...” ujar Bik Tini tergopoh-gopoh menemui kedua majikannya yang duduk di ruang tengah.
“Kenapa Nia, Bik...?” tanya Mama Dessy khawatir.
“Anu nyonya... itu.. Non Nia anu..” Belum selesai Bik Tini menjawab majikannya, Pak Wijaya berlari melesat ke kamar putrinya.
“ Nia... kenapa kamu sayang..” Pak Wijaya membopong tubuh Nia keatas kasur.
“Pa, kita bawa ke rumah sakit aja pa... ayo pa...” pinta Mama Dessy.
Pak Wijaya membopong tubuh lemah Nia, bergegas memasuki mobil.
“Bik, jaga rumah selama saya tinggal ya,bik..” ucap Mama Dessy berpamitan sebelum masuk ke dalam mobil.
Lalu segera melesat ke rumah sakit terdekat.
Pak Wijaya dan Mama Dessy masih berada di ruangan tempat Nia dirawat. Mama dessy menggenggam tangan putrinya dengan sesekali mengusap airmatanya.
Saat melihat anaknya sakit seperti ini, ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Gagal menjadi pelindung bagi putrinya. Bahkan setelah mendengar penuturan dokter tadi tentang alasan Nia pingsan, semakin membuat dirinya merasa bersalah karena tidak mampu memahami anaknya sendiri.
Masih jelas di ingatannya saran dari dokter yang memeriksa putrinya.
“Asam lambung putri ibu naik. Hindari dulu makanan yang pedas, asam juga makanan yang berpotensi membuat asam lambung naik. Dan yang tidak kalah penting juga, jangan sampai pikiran putri ibu terbebani. karena asam lambung akan lebih cepat naik karena beban pikiran, bu”
Mama Dessy menatap nanar tubuh putrinya yang ini masih tergolek lemah diatas ranjang rumah sakit. Mengusap lembut punggung tangan putrinya.
“Maafin mama, Nia... Maafin mama, nak.” Ucap Mama Dessy pilu, yang bisa membuat siapapun yang mendengarnya ikut menangis.
Begitulah hati seorang ibu. Jika anaknya merasa sakit, seorang ibu akan lebih merasa kesakitan. Jika
sesuatu menimpa anaknya, ialah yang pertama kali akan merasa bersalah. Ia akan merasa yang paling bertanggung jawab, terlepas dari salahnya atau tidak. Seorang ibu lah yang paling merasa menderita karena itu.
Pak Wijaya menghampiri istrinya, merengkuh perlahan bahu istrinya. Mencoba menguatkan, namun Mama Dessy justru menepisnya. Menyingkirkan tangan suaminya dari bahunya.
Pak Wijaya hanya mampu menghela berat nafasnya.
Niko yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan hanya diam mematung, mengamati keluarga itu dari kejauhan.
Saat itu Niko mampir ke rumah Nia, ingin mengetahui kabar Nia. Karena sudah beberapa hari Nia bolos ngampus dan juga susah di hubungi. Dan saat memasuki pelataran rumah Nia, ia melihat Pak Wijaya tengah menggendong Nia yang tidak sadarkan diri.
Dan disinilah Niko berakhir. Di ruangan rawat inap, sama-sama menanti Nia untuk segera siuman.
“Nia... loe kenapa bisa sampe kayak gini...?? kalo ada masalah kenapa gak cerita sama gue... pleaseeee, bangun yuk Nia...” Niko memberanikan diri mendekati Nia, duduk tepat disamping ranjang dan menggenggam tangan Nia, setelah tadi kedua orangtua Nia berpamitan untuk keluar sebentar.
Tak berapa lama kemudian, Nia perlahan membuka matanya, mengerjapkannya beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya kamar.
Nia mengamati sekelilingnya,
“Pada akhirnya gue di rumah sakit juga.” Lirih Nia
“Nia, loe udah sadar Ni...?? are you okay...??” tanya Niko memastikan.
Nia menatap Niko dalam, ia baru saja menyadari bahwa Niko berada di sampingnya sejak tadi.
Nia mengangguk seraya melepaskan tangannya dari genggaman Niko. Niko menautkan kedua alisnya, melihat ada yang berbeda dari Nia.
Dibantu oleh Niko, Nia perlahan mencoba duduk bersandar di ranjangnya.
“Thanks Nik...” Nia melihat sekelilingnya.
“Bokap Nyokap loe masih keluar bentar, tadi bilangnya ada urusan.” Ucap Niko menjawab gelagat Nia yang mencari keberadaan orang tua nya.
Nia kembali menganggukkan kepalanya.
“Loe kenapa bisa tumbang gini sih Ni...??” tanya Niko yang masih menatap wajah Nia yang pucat.
“Gue juga gak tahu.. tiba-tiba aja gue gak enak badan.” Jawab Nia menghindari tatapan mata Niko.
“Loe pasti ada apa-apa. Kalau gak, gak mungkin loe ampe bolos kuliah terus tumbang kayak gini. Kenapa Ni...?? loe bisa cerita ama gue...??”
Nia menautkan kedua alisnya, semakin dalam menatap mata Niko.
“Kenapa Ni...??” tanya Niko yang merasa aneh dirinya dilihat seperti itu.
“Ada yang salah sama gue...??” tanyanya lagi.
Nia menggeleng.
“Mungkinkah Niko belum tahu...??” batin Nia.
“Loe kalau ada masalah bisa cerita ama gue. Biasanya juga gitu kan..?? loe gak bisa nyimpen masalah loe sendiri, terus kepikiran, terus akhirnya lambung loe kumat. Ya kan...??” jelas Niko panjang lebar.
Nia hanya diam saja mendengar celoteh Niko. Semakin dirasa, semakin Nia merasa canggung dengan Niko.
“Mau minum...??” tawarnya.
Nia menganggukkan kepalanya.
“Siapa...?? Pak Satya..?? loe kepikiran dia..??” tanya Niko seraya menempatkan gelas pada ujung bibir Nia. Nia meminumnya sedikit.
“Loe gak pernah ada masalah ama keluarga loe. Kalau bukan Pak Satya siapa lagi...??”
“Bawel loe...!!” ucap Nia kesal. Seraya memposisikan dirinya untuk tidur lagi.
Hanya berdua bersama Niko di dalam kamar rumah sakit, membuatnya sedikit merasa aneh. Padahal bukan pertama kali mereka dalam kondisi seperti ini.
Sejak kecil Nia lumayan sering menginap di rumah sakit karena asam lambungnya. Dan juga bukan sekali dua kali Niko yang menemaninya.
Inilah yang ia benci jika harus memiliki hubungan dengan teman atau sahabat sendiri. Suasananya akan terasa berbeda, akan terasa canggung. Apalagi jika hanya salah satu pihak yang mempunyai perasaan itu.
Namun terlepas dari itu, memang selama ini perasaan Nia pada Niko hanya sebatas sahabat. Tidak pernah lebih.
“Sayang, kamu sudah siuman...?” tanya Mama Dessy tiba-tiba di ujung pintu.
Nia menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Papa, Mama beserta Tiara yang sudah berdiri menatapnya bahagia.
Niko melangkah mundur, memberi kesempatan untuk orang tua Nia mendekat.
Mama Dessy berjalan menghampiri Nia, di dekapnya erat-erat putri sulung yang sangat ia cintai itu. Tiada suara yang terdengar, hanya sesenggukan lirih dan tetesan airmata yang menetes di pipi wanita paruh baya tersebut.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Hai Readers, ini adalah karya pertama Author, mohon maaf jika masih agak kaku ya.
Jangan lupa like dan koment, supaya Author lebih semangat lagi dalam berkarya.
Terimakasih.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments