Hari sudah semakin sore, Pak Rahmat membayar total belanja, di depan kasir. Dirinya merasa tidak enak, karena ada Ernest, menunggu lama di dalam mobil.
Trouble mesin kasirlah, ternyata yang menjadi penyebab, antrian pembayaran menjadi mengular. Sambil membawa belanjaan, Pak Rahmat keluar minimarket, berlari ke mobil.
Sore itu, suasana benar-benar, sudah mendekati dengan adzan maghrib. Lampu penerang jalan, otomatis menyala tanpa dikomando. Langit sudah gelap, tanpa senja lagi.
Gemerlip lampu papan iklan, tak kalah menyoroti seisi kota disore itu. Lampu dari mobil, sepeda motor, minibus, semua menyalakan penerangnya sendiri.
"Tuan Ernest, maaf tuan, tadi antrian kasir sangat panjang," Pak Rahmat merasa tidak enak.
"Tadi saya sebetulnya sudah cancel belanja, tapi Bik Yuni betul-betul membutuhkan bahan baku yang dipesan," imbuhnya.
Pak Rahmat meminta maaf, dengan sibuk tangannya menaruh bungkusan, kresek besar warna hitam. Anehnya, ucapan dari Pak Rahmat, tidak ada balasan. Baik dari Ernest maupun Jovi.
Laki-laki paruh baya itu, masuk ke dalam mobil. Pak Rahmat melihat ke belakang, ternyata Ernest dan Jovi tengah ketiduran.
"Wah.. Tuan Ernest dan Suster Jovi sampai ketiduran, gara-gara kelamaan di minimarket," gumamnya.
"Ternyata mereka berdua, kelihatan cocok," Pak Rahmat tersenyum, melihat pemandangan dibelakangnya.
Ernest nampak menyandarkan, tubuh lelahnya di atas jok mobil. Sementara tidak ada yang berubah, kepala Jovi masih pada posisi sama, berada diatas pangkuan Ernest.
Tetapi kali ini, tangan kiri Ernest, sudah terlihat berpindah ke arah pinggang Jovi. Mata mereka sama-sama masih memejam, karena lelah.
Mobil melaju kencang, dengan lewatan macet yang sedikit bisa terhindar. Karena alternatif jalan tol, sudah dipilih oleh Pak Rahmat.
Hiruk pikuk suasana kota Surabaya, sama sekali tidak terdengar, pada kedua telinga Jovi dan Ernest. Apalagi bisingnya bus-bus provinsi akan sangat tidak dihiraukan.
*****************
(Dirumah Tuan Toni)
"Tuan Ernest, tuan.. kita sudah sampai."
"Tuan Ernest.. suster Jovi."
"Tuan Ernest..."
Pak Rahmat mencoba membangunkan keduanya. Tidur lelap Ernest, mulai terbangun, ketika cahaya teras lampu rumahnya. Tak sengaja menyinari wajah Ernest, berada didalam mobil.
Mata Ernest samar memandang Pak Rahmat, yang duduk di kursi sopir. Dirinya baru tersadar, setelah tertidur lebih dari setengah jam.
"Pak Rahmat..," mata Ernest membuka tutup.
"Iya tuan, kita sudah sampai dirumah."
"Ouh baik Pak Rahmat, maaf tadi saya ketiduran."
"Saya yang harusnya minta maaf tuan," Pak Rahmat keluar mobil.
Ernest beranjak pergi dari mobil. Tetapi dia baru menyadari, ternyata Jovi masih belum tersadar dari tidur. Kemungkinan, rasa sakit maag dialami Jovi tadi, membuat wanita cantik itu, pulas tertidur.
"Suster, kita sudah sampai," ucapnya mencoba membangunkan.
"Sus.... suster," Ernest mulai menggoyang-goyang tubuh Jovi.
"Suster Jovi, kita sudah sampai dirumah," bisik Ernest mesra ditelinga kanan Jovi.
"Suster...."
Ernest menepuk-nepuk pipi Jovi, tidak biasanya, suster cantiknya sangat susah dibangunkan. Telinga Jovi mendengari, suara tak asing di malam itu. Matanya mencoba dibangunkan.
Seketika itu, Jovi baru sadar, jika yang memanggil adalah suara Ernest. Dia baru menyadari, tubuhnya lancang tidur dipangkuan Ernest.
"Tuan....," Jovi sigap membangunkan diri.
"Ma-maaf tuan."
"Saya benar-benar tidak sadar tuan, sampai berani tidur di pangkuan Tuan Ernest."
"Nggak papa."
"Iya tuan, tapi saya betul-betul tidak sengaja."
"Sudah-sudah, ayo kita turun.. ini sudah malam."
Jovi mengamati halaman rumah yang sudah gelap, dari matahari berganti bulan. Jemari tangan Jovi membuka pintu mobil, langsung mengajak Ernest masuk ke dalam kamar.
Rasa lelah Ernest, masih memupuk hebat ditubuhnya. Suara obrolan Tuan Toni dan Pak Rahmat terdengar menyambut, saat Jovi dan Ernest memasuki ruangan.
Tuan Toni yang melihat Ernest datang, mengajak kakinya menghampiri, dan mulutnya seolah tidak sabar ingin menanyakan kondisi tubuh Ernest.
"Ernest, gimana keadaan kamu? tadi Dokter Edo telpon, katanya dia sempat ke kantor."
"Kamu habis makan apa? Ini bentol-bentol ditubuh kamu, masih belum kempes lo," Tuan Toni mengecek bintik-bintik di tangan Ernest.
"Iya pa, alergi Ernest kumat tadi," jawabnya santai.
"Kenapa bisa? kamu tidak sedang habis meeting kan? kamu mengkonsumsi udang? kamu habis makan diluar?," semua dipertanyakan Tuan Toni.
"Iya pa tadi pagi, waktu sarapan mungkin Suster Jovi salah mengambil menu makanan."
"Makanan apa?," Tuan Toni melihat Jovi bingung.
"Ma-maaf tuan, tadi pagi Bik Yuni masak udang kupas teriyaki, dan teksturnya hampir sama dengan ayam cincang, yang juga dimasak bumbu teriyaki," ucap Jovi memberanikan diri.
"Terus?? kamu salah siapin bekal?," mata Tuan Toni memandang tidak suka ke arah suster.
"I-iya tuan, saya tidak tau Tuan Toni, saya mi-minta maaf," Jovi mengaku salah.
Pandangan Tuan Toni semakin meruncing, saat perempuan cantik tersebut, mengakui kesalahannya. Laki-laki tua tersebut menghela nafas kesal ke arah Jovi.
"Ini sudah kedua kalinya, kamu lagi-lagi mengecewakan saya ya suster."
"Maaf tuan, saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi," Jovi menunduk serta tangan, masih memegangi dorongan kursi roda.
"Apa lidah kamu tidak bisa difungsikan? harusnya kamu bisa mencicipi dulu, mana rasa ayam dan mana rasa udang?," Tuan Toni geleng-geleng kecewa.
"Bukannya Bik Yuni juga sudah bilang, kalau Ernest itu tidak suka udang.. Kamu catat baik-baik dong, kalau Ernest tidak suka kedelai dan udang."
"Kemarin kamu berani membantah saya, sekarang kamu melakukan kesalahan.. lihat apa yang terjadi dengan Ernest? tubuhnya gatal-gatal semua kan," ucap Tuan Toni mengeluarkan semua kekesalannya.
"Sudah pah, ini bukan murni kesalahan Jovi. harusnya bik Yuni, juga bisa membedakan pemilihan wadahnya..!! mana piring untuk udang dan mana piring untuk ayam," bela Ernest.
"Kenapa kamu jadi membela suster Jovi?," papa Ernest tidak suka.
"Ya karena Jovi memang baru pa disini.. Ernest bukan membela siapa-siapa," jawabnya.
"Ini masalah sepele, tapi papa selalu melebih-lebihkan," ajak Ernest berdebat.
"Bukan, papa bukan melebih-lebihkan.. tapi biar suster Jovi lebih bisa teliti, dalam melakukan setiap pekerjaan dia, hanya itu saja kok."
"Ernest paham pah.. tapi bukan begitu caranya? cobalah, papa kasih toleransi sedikit.. Suster Jovi juga baru kerja disini, mana mungkin dia langsung tau semua tentang Ernest," bentakan Ernest terdengar di seluruh ruangan.
"Tapi Suster Jovi bisa mengecek dulu kan? pekerjaan dia adalah memantau kondisi kamu, begitu saja tidak maksimal, bagaimana kalau ditambah dengan pekerjaan yang lain," papa Ernest tidak mau kalah.
"Ernest tau pa, tapi?? pagi tadi kondisi kita berangkat saja, sudah tergesa-gesa. kok papa masih mau mencari pembenaran saja."
"Selama ini, Ernest merasa Jovi sudah baik menjalankan tugasnya dengan baik pah," imbuh Ernest.
"Baik..?? Apa yang baik..?? Tapi Ernest, kamu terlalu sering memberi toleransi, Ahhh.. sudahlah," jawab Tuan Toni merasa kalah dari putranya.
Nampaknya argumen dari Ernest, selalu membuat laki-laki yang sudah ditinggalkan istrinya itu, menjadi mengalah, menjadi diam.
Semua itu terdengar, dari suara Tuan Toni, yang mulai menurun tidak se keras, sebelum mendengar pembelaan Ernest. Matanya sampai terasa, ingin meloncat keluar.
Jovi yang menjadi tersangka, dalam kejadian siang tadi. Menunduk terus ke lantai, dia tidak memiliki keberanian melihat ke arah Tuan Toni, Jovi takut.
Wajah putih Tuan Toni, dibuat naik pitam, setelah mengetahui alergi Ernest kumat lagi. dari 1 tahun yang lalu, alergi tersebut, sudah tidak pernah kumat ataupun muncul.
Suasana hening ruangan, tak bisa terpecah sama sekali. Ernest yang membela Jovi, dan Tuan Toni masih tidak mau mengakui kekalahannya.
Pria tua tersebut, terlalu over protektif dengan apa saja, yang menyangkut putra tercintanya. Semua harus maksimal, tidak ada kesalahan, jika menyangkut Ernest.
"Suster Jovi, kamu bisa pergi tinggalkan ruangan ini," pinta Tuan Toni.
"Baik Tuan Toni, sekali lagi saya minta maaf, sudah mengecewakan tuan lagi," kata terakhir Jovi sebelum meninggalkan ruangan.
"Emmmb...," Tuan Toni menganggukkan kepala.
Perempuan cantik itu, sangat berbudi luhur dan sopan pada tuan di rumah besar yang ditempatinya kerja. Pembelaan dari Ernest, tidak serta merta, membuat Jovi bahagia dan berbesar kepala.
Perdebatan sengit Ernest dan Tuan Toni, semakin menambah pusing kepala Jovi. Kakinya mengajak masuk ke kamar, mengistirahatkan diri dari rasa lelah dan maag di perut.
Sekarang tinggal, Tuan Toni dan Ernest yang berada di ruangan. Mereka sama-sama meredakan emosi terlebih dahulu. Sikap dewasa kedua'nya terlihat, ketika menyikapi permasalahan.
Terlihat ruangan mewah, memiliki lampu gantung besar, ditengah plafon. Guci antik, serta lukisan mahal, juga tak luput mempesona, terpasang di setiap dinding tembok rumah.
Apalagi, ditambah harga-harga interior rumah Tuan Toni, begitu mahal untuk dibeli. Semuanya terlihat klasik terpadu dengan catt minimalis modern.
"Ernest,"
"Iya pah."
"Setelah papa pikir.. papa kurang setuju dengan rencana kita, menyelidiki kasus rekrutmen, tapi itu harus mengorbankan kondisi kamu," tutur Tuan Toni bersuara lirih.
"Kalau tidak seperti ini pa..!! kita tidak punya cara lain, untuk mengetahui siapa orang dibalik semua itu?? Bagaimana kita bisa mengetahui semua, kalau papa mau memberhentikan Jovi?"
Ernest sudah bisa menebak, apa yang akan dilakukan papa tercintanya itu. Orang tua satu-satunya Ernest, merasa sangat was-was oleh apa yang dilakukan suster baru dirumah itu.
"Apa kamu bisa menjamin?? jika memang Jovi, adalah wanita yang termasuk dalam rekrutmen pegawai di rumah sakit tahun lalu??," tanya papa Ernest.
"Dan apakah kamu yakin, jika memang benar dia, dia masih ada hubungan dengan orang yang ada dibalik semua itu?" Tuan Toni ingin segera menyudahi.
"Ernest belum tau pa, tapi ada kejanggalan yang Ernest temui, setelah tadi Dokter Edo dikantor bilang, kalau Jovi adalah salah satu mahasiswi yang diandalkan Dokter Edo, saat test rekrutmen itu," ucapnya.
"Ernest yakin, orang dibalik semua ini, tidak akan membuang Jovi dengan sia-sia, apalagi dia anak yang pintar," kata Ernest optimis.
Laki-laki tampan tersebut, mencoba menyakinkan Tuan Toni.
"Ernest, Jovi tidak memiliki keanehan-keanehan seperti orang suruhan, atau mata-mata yang seperti papa lihat. Bagaimana kalau dia hanya anak biasa?? yang memang mengundurkan diri tanpa paksaan."
"Kemudian dia melamar pekerjaan seperti pada umumnya.. Aahhh.. itu semakin akan membuang-buang waktu saja Ernest..!!," tukas Tuan Toni menyandarkan tubuh di sofa.
"Ernest, apa kamu melihat Jovi seperti orang yang aneh? dia biasa-biasa saja. malah dia sangat baik terhadap kamu," pria berkacamata itu, melepaskan kaca pembantu diwajahnya.
"Kamu juga melihat sendiri kan, takutnya dia ketika papa marah, disiplinnya dia melakukan semua pekerjaan dengan baik, walaupun papa sedikit kecewa, apa itu tidak membuka mata kamu?," tanya papa Ernest lagi.
"Suster Jovi, sama sekali tidak memiliki keanehan apapun, jika dia memang benar-benar orang suruhan, papa yakin, dia sudah melakukan banyak kesalahan mulai awal," pendapat Tuan Toni keluar.
Ernest hanya terdiam, mendengarkan pendapat Tuan Toni, yang memang dirasa benar. Anak pemilik RS Wijaya tersebut, mendiami diri, tidak menelan mentah semua yang dikatakan papanya.
Diatas kursi roda, kepalanya menunduk, pikirannya masih ingin membuktikan, tapi perasaan Ernest, mengatakan seperti apa yang dikatakan Tuan Toni.
Selama bekerja, Jovi memang tidak pernah menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang aneh. Yang ada, perempuan cantik tersebut, melayani sepenuh hati serta selalu mengkhawatirkan kondisi Ernest.
"Apa mungkin bukan suster Jovi..?? Apa mungkin dia hanya perempuan biasa, seperti yang dikatakan papa..?? dan tidak ada sangkut pautnya dengan rekrutmen tempo lalu"
"Jovi... Jovi... Joviii... Siapa kamu?" (Kepala Ernest pusing)
Ernest melamun mencoba berunding dengan hati kecilnya. Pikirannya semakin semerawut. Mana yang akan dia percayai. Hati kecilnya atau perkataan papa Ernest.
Sampai kapan, dirinya akan mencurigai Jovi. Pendapat dari papanya, dirasa ada benarnya. Jika orang suruhan, semua tidak akan selancar sekarang.
Apa rencana yang akan diselidiki Ernest ke Jovi? ataukah Ernest tetap akan membiarkan Jovi seperti perawat sebelumnya tanpa menaruh curiga?? Semua campur aduk jadi satu.
"Pah.. kalau gitu, Ernest ke kamar dulu, pikiran Ernest pening."
"Iya sayang.. kamu istirahat dulu."
"Iya pah.. badan Ernest capek semua," pamitnya.
"Jangan terlalu capek, kamu baru masa pemulihan Ernest," nasehat papa Ernest.
Ernest mengangguk, kemudian menjalankan tombol kursi roda otomatis miliknya, berjalan menuju ke kamar.
Tidak berapa lama, suara adzan Isya', terdengar masuk ke dalam rumah besar itu. Yang masjidnya bertempat tidak jauh, dari kediaman Ernest dan Tuan Toni.
Rumah terasa sunyi, karena para asisten rumah tangga, sedang pergi ke masjid semua. kecuali Jovi yang masih beristirahat dikamar. Sebab ketiduran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Septy Cweet
gimana itu nnt klau ketahuan jovi mata mata
2020-08-27
2
Iklima kasi💕
ceritanya🖒🖒🖒🖒🖒🖒banget
2020-07-29
0
Ima
bagus cerita nya...up terus thooorrrrr....sampe tamat...
2020-07-26
1