Kehadiran Meghan tidak disambut hangat oleh Ernest. Berkali-kali perempuan yang tak kalah cantik dari Jovi itu, mencoba mengambil perhatian dari Ernest.
Siang itu, sembari menunggu jemputan mobil Pak Rahmat. Jovi memakaikan kemeja dibadan Ernest. Meghan melihat pemandangan menyebalkan didepan matanya.
Hati dan perasaan Meghan, betul-betul tidak ikhlas. Jika kini ada wanita lain, berhasil menggantikan posisi dirinya. Meski tidak berprofesi sebagai sekertaris ataupun kekasih Ernest.
"Suster Jovi, tolong ambilkan minum saja untuk Pak Ernest, biar aku aja yang bantu mengancingkan baju Ernest," ucapnya.
"Aaa.. baik Meghan," jawab Jovi.
"Air hangat saja Jovi, Ernest lebih suka air hangat."
"Baik," ucapnya.
Jovi beranjak keluar, mengambil air hangat di ruang OB. Perempuan cantik itu tidak mengandalkan diri. Meminta pegawai, mengambil minum untuk sang direktur utama.
Sementara Ernest dan Meghan masih berada ditempat yang sama, di dalam ruangan, lengkap dengan obat P3K yang belum dibereskan Jovi.
"Ernest, sini aku bantu merapikan baju kamu," Meghan meraih kancing yang masih tersisa belum dikancing.
"Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Ernest.
"Nggak bisa, kamu nggak bisa Ernest," paksa Meghan.
"Biar Jovi saja," tolaknya.
"Sudah nggak papa, aku cuma niat bantuin kamu..," Meghan memakaikan dasi milik Ernest kembali.
Ernest menurut, Meghan memakaikan dasi, dengan syarat hanya untuk membantu.
"Aku rindu Nest, memakaikan dasi kamu, menyiapkan file para kontraktor, aku rindu waktu kita meeting bersama," ucap Meghan begitu merindui.
"Kenapa kamu sekarang berubah jadi dingin? apa kamu benar-benar sudah melupakan aku Ernest," ucap Meghan memandangi laki-laki yang sedang memalingkan wajahnya.
"Tadi kamu bilang, cuma niat bantuin.. jadi jangan aneh-aneh yang kamu ucapkan," tutur Ernest masih merasakan tangan Meghan merapikan dasinya.
"Ernest, kasih aku kesempatan sekali lagi.. aku janji nggak akan bikin kecewa kamu..!!"
"Mending kamu pergi kalo sudah selesai." pinta Ernest.
Jawaban dingin Ernest, begitu membuat penyesalan dihati Meghan. Kejadian lusa, saat di restoran. Menjadi awal mula kekecewaan Ernest, hingga mengakibatkan kecelakaan hebat di pintu tol subuh pagi itu.
Pada saat itu, Ernest berencana melamar Meghan, untuk dapat segera bertunangan. Sayangnya, Meghan yang mengerti keinginan mantan kekasihnya itu, justru sengaja tidak datang ke Restoran.
Hati Ernest sangat sakit, mengetahui Meghan tidak mengindahkan kejutan dimalam itu. Meghan justru asyik dugem bersama teman-temannya.
"Aku yakin, kamu masih sayang sama aku," gumam Meghan duduk disamping Ernest.
Ernest hanya diam, tanpa mengucap satu patah kata.
"Ernest, kamu dengerin aku nggak sih?," Meghan mengeluarkan jurus andalan yaitu merengek.
"Kamu bisa pergi ndak? Meg.." ucapan Ernest terhenti.
"Euuuummmm....."
Ernest dihadang ciuman dari bibir Meghan.
Perempuan cantik berambut sebahu tersebut, meraih wajah Ernest dengan kedua tangannya. Bibir Meghan mencumbu lembut, bibir yang sudah lama tidak diciumnya setelah putus.
Gigitan kecil pada bibir bawah, dirasakan betul oleh Ernest. Meski laki-laki itu tidak sudi membalas ciuman hangat bibir Meghan.
Rasanya, birahi Meghan ingin langsung ingin menjatuhkan Ernest, dan menjamah setiap jengkal bagian tubuh laki-laki tampan tersebut.
Jovi yang dari arah ruang OB, kembali masuk ke dalam ruangan. Tangan kanan kirinya membawa nampan kecil, sebab air hangat yang diminta. Kakinya berlarian jalan masuk, takut jika Ernest sudah menunggu lama.
Mata Jovi terbelalak, ketika mendapati Meghan dan Ernest yang sedang berciuman. Kakinya mematung di balik daun pintu warna coklat tua. Bulu halus pada tangan kanan kirinya berdiri serempak tanpa dikomando.
Jovi melihat, Meghan sangat bergairah melahap setiap inci bibir pasiennya itu. Bibir bagian bawah Ernest memerah, karena gigitan dan bekas sedotan bibir Meghan.
Kemudian, tidak lama setelah itu. Ernest menarik diri setelah terasa terhipnotis oleh sikap Meghan. Tangan kiri Ernest mencoba menjauhkan Meghan, namun Meghan masih selalu berhasil, meraih bibir merah alami laki-laki itu.
"Meghan...," bentak Ernest setelah berhasil menjauhkan wajah.
"Ernest.. ayo kita balikan lagi, aku mau kita balik," tangis Meghan pecah.
"Apa sih yang kamu omongin? nggak ada gunanya," kata Ernest.
"Aku mau kita balikan Ernest, aku masih sayang sama kamu, plissss Ernest," pinta Meghan dengan tangis.
"Keluar.., atau aku panggilkan satpam," Mata Ernest tajam melihat.
"Kamu ?? kamu tega banget," tunjuk Meghan.
"Aku beneran, kalau kamu tetap masih disini, aku bisa panggil satpam sekarang juga," gertaknya
"Pergi..!!!! Pergi kamu Meghan," Ernest membentak.
"Kamu bener-bener jahat sekarang, loe yang sekarang bukan Ernest yang gue kenal," tutur Meghan berlari pergi dari ruangan.
Jovi melihat Meghan berlari keluar, sembari mengusap air mata. Sedangkan, dia melihat Ernest seperti kasihan bersikap kasar pada Meghan. Wajahnya seperti terlihat tak tega.
Namun, perempuan cantik itu, tidak berani mencampuri masalah pribadi tuan muda'nya. Jovi pura-pura tidak tau apa-apa.
"Tuan Ernest, ini air putih hangatnya."
"Baik suster, taruh disitu saja."
"Iya tuan," kata Jovi.
"Suster, tolong telepon Pak Rahmat biar segera datang."
"Sudah tuan, Pak Rahmat sudah perjalanan menjemput kita."
"Oke, kalau gitu ayo kita turun ke bawah."
"Iya tuan, baik," angguk Jovi.
"Segera bereskan semuanya, file-file saya juga tolong bawakan ya," suruh Ernest.
"Ouh baik-baik Tuan Ernest," katanya.
Ernest menyucup sedikit air di dalam gelas yang tadi Jovi bawa. Setelah itu, dengan bantuan Jovi, menggandeng pelan, mengajak berjalan ke kursi roda, sangat berhati-hati.
Selanjutnya mereka berdua pergi, meninggalkan ruang direktur utama. Jovi mendorong kursi roda, ke pintu lift menuju lantai 5 di kantor. agar segera pulang.
Bungkusan roti dan susu coklat, sudah hilang diingatan Jovi, bahwa tadi dia sempat membelinya. Apalagi, untuk mengambil kembali lagi di kantor.
Setelah turun dari lantai 5, Jovi sudah mendapati Pak Rahmat, berlari kearah dirinya dan Ernest. Sopir andalan Tuan Toni tersebut, mempercepat langkahnya. Segera pergi menolong Ernest.
"Selamat siang, Tuan Ernest. Maaf tuan.. saya terlambat sedikit," Pak Rahmat mengambil alih mendorong kursi roda.
"Nggak papa Pak Rahmat, lagian saya dan Suster Jovi juga baru saja turun," Ernest tersenyum.
"Betul Pak Rahmat," Jovi membenarkan.
"Hehe iya tuan, tadi saya makan sebentar.. saya nggak tau kalau tuan minta dijemput awal," Pak Rahmat tertawa khas.
Kemudian Pak Rahmat membantu Ernest masuk ke dalam mobil. Jika tadi, Jovi berada dibelakang sopir. Kali ini, Ernest yang berada dibelakang jok duduk Pak Rahmat, sedang Jovi tetap disamping Ernest.
Jovi menutup pintu mobil, lalu Pak Rahmat menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut. Mobil warna hitam itu, melaju standart disiang hari, matahari membakar tubuh.
"Aduuuhhh...."
Ernest menengok ke arah Jovi.
"Kenapa suster?."
"Nggak papa tuan.."
"Ouh..," Ernest kembali fokus melihat ke jalan.
Jovi merasakan sakit maag'nya terasa sedang kambuh. Dia baru ingat, jika telepon dari Fictor dan insiden bentol-bentol ditubuh Ernest. Lupa membuat Jovi mengenyangkan perut.
"Aaa-adduuuuhhhh."
"Suster kamu kenapa?," tanya Ernest cemas.
"Ini tuan, perut saya sedikit nyeri."
"Kamu pakai minyak kayu putih, biar sedikit mendingan," Ernest menyarankan.
"Pak Rahmat, tolong ambilkan minyak kayu putih didalam dashboar mobil," pintanya.
"Baik tuan," ucap Pak Rahmat sembari memberikan botol minyak kayu putih.
"Ini suster," Ernest memberikan botol kecil pada Jovi.
"Terimakasih Tuan Ernest," kata Jovi.
Jovi membelakangi tubuh Ernest, lalu membuka satu kancing dres bajunya. Untuk melumuri perutnya dengan minyak kayu putih. Dia berharap maag'nya segera mereda, minimal setelah sampai dirumah Tuan Toni.
Suasana didalam mobil kembali hening.5 menit sesudah dioles minyak, tetapi nyeri perut Jovi tidak mereda. Perempuan cantik tersebut, mencoba menahan perih perutnya, dan tidak bersuara karena tidak enak oleh Ernest
"Aaaaahhhh.... eemmb..," tangan kiri Jovi memegangi perut.
"Kenapa lagi suster?," tanya Ernest lagi.
"Maag saya kambuh Tuan Ernest."
"Kamu punya maag? Apa tadi kamu tidak sarapan?."
"Tadi saya belum sempat makan," Jovi menahan sakit sembari memegangi perutnya.
"Aduuuhh.. sakit bangeetttt..,"
"Ya Tuhan, periihhhh.. hiks hiks" Jovi menundukkan kepala.
"Suster Jovi, kamu bawa obat?," Ernest terlihat khawatir.
"Ng-nggak tuan.. sakit sekali rasanya."
"A-a kita beli obat dulu di apotik saja.. Pak Rahmat belok dulu ke apotik ya..!!," Pinta Ernest.
"Baik tuan muda.."
Pak Rahmat pun mencari apotik terdekat. Sementara di dalam mobil, Jovi terlihat kelimpungan. Tubuhnya membungkuk, menahan rasa sakit di perut, terasa perih seperti ditusuk-tusuk.
Tangan Jovi, menggenggam erat jok mobil yang diduduki bersama Ernest. Perempuan berjepit hitam itu, hampir tidak bisa menjaga sikap di depan Ernest.
Berkali-kali, tubuhnya disandarkan pada kaca mobil. Untuk meringankan, sakit maag Jovi yang kambuh. Namun semua tetap tidak berhasil.
Ernest memandang Jovi tidak tega. Apalagi, kepala Jovi yang berkali-kali lari disandarkan ke kaca mobil, serta tangannya meremas lambung. Semakin membuatnya tak tega.
"Suster, agak mendekat kesini," Ernest melihat Jovi menyandarkan diri pada kaca mobil.
"Iyaa....," jawab Jovi tanpa bertenaga.
Tanpa diduga, saat Jovi mendekat disebelah Ernest. Tangan kiri Ernest, mengarahkan kepala Jovi ke arah pundaknya. Gerakan tangan Ernest, mengajak kepala Jovi bersandar dipundak gagahnya itu.
Perlakuan sikap Ernest pada Jovi, membuat iri wanita didunia ini. Laki-laki bergips itu, memberikan sandaran pada Jovi sebagai rasa simpati. Mungkin Jovi tidak menyadari.
Jovi yang merasakan nyeri hebat di lambung, berkali-kali menyembunyikan wajah ke dalam pundak Ernest. Tangannya bahkan tak terkontrol, berani meremas lengan kiri Ernest, yang tidak menggunakan gips.
"Saakiiitttt aahhhhhh...," rintihan Jovi terdengar.
"Sabar suster, habis ini kita sampai."
"Hiks.. hiks.. hiks.. hi." Jovi menangis kesal nyeri dilambungnya tidak mereda.
"Sabar ya.. sabarrr," tangan kiri Ernest menepuk pundak Jovi.
"Sabar Suster Jovi, habis ini saya carikan obat" sahut Pak Rahmat dari depan.
"Iya pak, sakit sekali...," Jovi menyesal belum makan.
Ernest melihat Jovi menangis, menahan sakit, serta kepalanya menengadah ke atas, melihati langit-langit mobil.
Aroma harum Jovi, kadang begitu terasa masih segar di hidung Ernest. Buliran air mata berjalan membasahi sedikit pipi lembutnya.
Pak Rahmat kemudian turun, setelah berhenti. diapotik kimia farma untuk membelikan obat Jovi.
"Pak Rahmat, nanti tebuskan resep sekalian dari Dokter Edo, dan belikan obat maag," pinta Ernest yang melihat Pak Rahmat keluar mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Septy Cweet
dkasih makan donk....jangan cuma dksh obat....haha
2020-08-27
1
Septy Cweet
dkasih makan donk....jangan cuma dksh obat....haha
2020-08-27
1
Li Na
next
up
2020-06-21
0