Menunggu Pak Rahmat yang tidak kunjung datang, mata Jovi tidak bisa terhindar dari rasa kantuk. Rasa ingin sekali merebahkan tubuh, karena nyeri sakit di lambung Jovi sangat tidak tertahan.
Mobil hitam jaguar diparkir Pak Rahmat, pada pinggir trotoar. Banyak lalu lalang kendaraan padat merayap, mulai didepan pemberhentian hingga rambu lampu lalu lintas, yang tidak jauh dari apotik.
"Bagaimana suster?," tanya Ernest.
"Apa sakitnya sudah sedikit mereda," Ernest bingung di dalam mobil.
"Belum...," dahi Jovi berkeringat banyak.
"Coba minum air putih, atau biar pak Rahmat membelikan roti," Ernest mencari kontak pak Rahmat.
"Pulang saja Tuan Ernest, perut saya nyeri sekali...," bibir Jovi menyeringai.
"Perjalanan kantor ke rumah itu jauh, belum lagi macetnya Surabaya, kan juga harus memakan waktu suster."
"Kalau sudah tau sakit maag, sarapan dan makan siang itu harus diperhatikan.. apalagi kalau sudah maag akut.."
"Lagian kamu disuruh minum saja susah, masak kayak bayi harus pakai bujuk rayu," Ernest mulai kesal.
Mata merah Jovi memandang ke arah Ernest, yang daritadi menggerutu tidak berhenti-henti. Laki-laki tampan tersebut menggerutui, tanpa melihat ke arah Jovi.
Hati suster cantik, yang tadinya tidak pernah kesal pada Ernest, mulai merasa jengkel membatu kecil diperasaan. Ernest saja, sakit sedikit, sudah merintih terus menerus.
"Meskipun bukan anak kesehatan, tapi kalau ada riwayat maag, justru kemungkinan jantung atau bahkan liver prosentase'nya sangat tinggi," tambahnya.
Ucapan Ernest semakin ngawur, sejak kapan penyakit maag, berkemungkinan mengidap penyakit jantung. Kekesalan Jovi mulai padam, setelah tangan kiri Ernest mencoba membukakan botol air mineral.
Botol air yang berada di pintu mobil, dibuka Ernest menggunakan tangan kiri. Sedikit susah, tetapi Ernest sudah berhasil membukanya.
Jovi mengambil air minum, ada ditangan kiri Ernest. Dua tegukan air minum itu, terdengar pada telinga Ernest. Mulut yang tadinya menggerutu, memandang iba perempuan cantik disebelahnya.
"Tok.. tok.. tok..," Pak Rahmat mengetuk kaca mobil.
"Tuan, ini obat untuk suster Jovi," Pak Rahmat datang membawa buntelan kresek.
"Terimakasih Pak Rahmat," tangan Ernest menerima.
"Maaf ya suster, tadi apotiknya antri," kata Pak Rahmat.
"Nggak papa Pak Rahmat, terimakasih banyak," Jovi mengambil kresek di tangan Ernest.
"Terimakasih juga Tuan Ernest."
"Sama-sama," Ernest memandang Jovi.
"Pak, habis ini ke minimarket sebentar ya.. tolong belikan roti untuk suster."
"Baik Tuan Ernest, sekalian nanti saya belikan titipannya Bik Yuni."
"Memang bibik pesan apa?" tanya Ernest.
"Saya dititipi suruh belikan saus kerang tuan."
"Kerang..? kerang apa tiram pak Rahmat?".
"Ouh iya tuan, itu maksudnya."
Tawa ketiganya terdengar memenuhi mobil.
Kereta roda empat, yang dikendarai Pak Rahmat, kini kembali melaju mengikuti kondisi jalan pada pusat kota Surabaya itu. Sedikit lenggang karena tidak berbarengan bubaran kantor.
Suasana sore mulai terlihat, setelah banyak rombong pedagang kaki lima memarkir tempat mencari rezeki mereka, pada trotoar-trotoar jalanan.
Kaca mobil yang tadinya tersentrong terik matahari, perlahan mengubah disinari senja warna jingga. Hari yang dikira pulang kantor lebih awal, ternyata sama saja. Jam tangan Ernest sudah menunjukkan pukul 15.30 sore.
Pak Rahmat kembali memarkir mobil, didepan mini market kiri jalan. Tempat langganan beliau, membelikan kebutuhan untuk Bik Yuni. Salah satu teman sekerjanya, selama 10 tahun di rumah Tuan Toni.
Lari kecil Pak Rahmat, sampai pada pintu minimarket berukuran sedang. Ernest juga melihat ke arah pintu minimarket. Sebab dulunya, almarhum mama Ernest sangat suka berbelanja di minimarket HA-Seena.
Sopir kesayangan Tuan Toni itu, lebih dulu membelikan Jovi roti, dan kemudian diberikan ke dalam mobil. Apalagi rintihan Jovi, masih terdengar mengiyang ditelinganya, sebelum turun dari mobil.
"Ini Suster Jovi," beri Pak Rahmat se kresek roti.
"Terimakasih Pak Rahmat," Jovi menerima roti berukuran besar.
"Saya balik dulu sebentar, ada tepung jagung juga yang dititipi Bik Lusi hehe," Pak Rahmat mencuri waktu.
"Ya ya ya...," jawab Ernest, hafal dengan kebiasaan para pegawai dirumahnya.
Ernest kembali memainkan layar ponsel pada tangan kiri. Sementara suara sobekan plastik roti ditangan Jovi, terdengar memecah keheningan.
Disela-sela nyeri lambung yang tak tertahan, Jovi melahap sedikit roti yang sudah diberikan sopir. Mereka berdua membiarkan sendiri-sendiri.
"Aduuh.. sakit banget," katanya.
"Hiiiiiiisssss..," Jovi memejamkan mata.
"Kamu makan rotinya dan minum obat, biar lambungnya nggak nyeri," Ernest menyuruh cepat.
"Iya tuan, baik.."
Jovi mengambil sobekan roti ditangan kanan, 2 lahapan roti terasa sangat tidak enak. Pikirannya melayang, mengingat Ola.
Membayangkan betapa sabar sahabat kantornya itu, membantu Jovi hingga sembuh, ketika maag Jovi kambuh dikantor.
"*Triiinggg... ting.. ting.. triing.. ting.."
Suara ponsel Jovi*.
Jovi mengambil ponsel dari saku bajunya. Layar tersebut menunjukkan, bahwa Fictor sedang melakukan panggilan ke nomernya.
Kali ini, rasa nyeri dihantui ketakutan, memandang ke arah Ernest, menyusup ke ingatan Jovi. Bahkan dia tidak bisa merasakan sakit karena Fictor.
"*Triing... Ting.. Ting... Tringg.. Ting.. Ting.."
Ponsel Jovi berbunyi lagi*.
Ernest memandang kearah Jovi, wajah perempuan itu memandang pucat ke arah layar. Menurut Ernest, mungkin karena maag'nya.
"Kenapa nggak diangkat suster?," pertanyaan Ernest mengagetkan Jovi.
"A-a-a iya tuan."
"Angkat saja.. Nggak papa."
(Jovi me-riject telpon Fictor)
"Kalau memang ada yang menelpon kamu nggak papa, nggak usah sungkan," Ernest mempersilahkan.
"Nggak tuan, tadi hanya teman saya yang tanya alamat ol shop."
"Ouh," Ernest mengangguk.
"*Triiing.. ting.. ting.. Tringggg... ting.. ting"
Fictor memanggil*.
Ernest mulai kesal mendengar ponsel Jovi berbunyi lagi. Mood'nya sudah rusak, setelah Meghan menciumi begitu sengaja. Belum lagi sakit maag'nya Jovi ditengah jalan kambuh, membuat laki-laki itu, belum sampai ke rumah.
Tubuh Ernest mulai memanas gatal lagi, karena sejak siang hingga sore, Ernest belum meminum obat, racikan Dokter Edo. Rasanya amarah Ernest ingin melonjak keluar didalam mobil.
"Angkat saja suster," Ernest bernada kesal.
"Ba-baik tuan," Jovi menaruh dulu roti ditangan kanan.
"Sini sini.. biar saya bantu," Ernest menyabet ponsel.
"Nggak usah tuan," Jovi mencoba meraih kembali ponsel pada genggaman Ernest.
"Nggak papa suusster.."
"Ng-nggak tuan, ini masalah perempuan."
"Iya-iya.. ini sini, mau saya bantu kamu."
Jovi gemetaran, roti, air mineral dan kresek obat, jatuh ke bawah semua. Karena berseteru dengan Ernest.
Tangannya masih mencoba meraih ponsel yang dibawa Ernest. Jantungnya berdebaran,membayangkan tidak-tidak, membuat Jovi ingin segera mati saja.
Ernest membalikkan ponsel Jovi yang berhasil diraih, untuk menjawab telpon. Raut wajahnya datar, mulutnya tak mengucap satu patah katapun.
Kepalanya menengok, melihat Jovi yang menatap Ernest diam.
"Ini.. HP kamu mati."
(Hati Jovi sangat lega)
"Terimakasih tu-tuan"
"Lain kali, kalau ada teman kamu telpon dan sekiranya penting, kamu angkat saja."
"Iya tuan."
Jovi merasa sangat lega, ponselnya mati pada saat yang pas. Tuhan masih memihak baik pada perempuan penyabar yang sangat cantik tersebut.
Hari pertama Jovi ikut ke kantor, baginya sangat begitu kacau. Ada saja bayang-bayang Fictor, selalu membuatnya khawatir.
Bayang-bayang Fictor masih sangat menghantui pikirannya, belum lagi jika Ernest tau dia adalah mata-mata suruhan Fictor. Waah.. bisa saja Jovi mati dalam jeruji besi.
"Lihat itu, roti,air mineral dan obat kamu jatuh semua," omel Ernest.
"Maaf Tuan Ernest."
"Apa itu pacar kamu, sampai kamu benar-benar takut waktu saya angkat telponnya."
"Bu-bukan tuan, saya nggak punya pacar."
"Ouh."
Jovi lalu memungut, benda-benda yang jatuh dibawah jok mobil. Sudah hampir 30 menit, Pak Rahmat juga tak kunjung keluar dari minimarket. Senja juga semakin sore setelah jam di mobil menunjukkan pukul16.00.
Ernest menyandarkan kepalanya, sementara Jovi meminum obat, agar maag'nya segera mereda. Jalanan lebih semakin ramai, para pekerja kantor juga terlihat memadati setiap tapak sore itu.
Rambut lusuh, serta baju compang-camping para pengamen, mengetuk satu persatu kaca mobil di perempatan. Semua berebut dari jendela satu, ke jendela yang lain.
Pengamen keroncong di samping rambu lalu lintas, tak kalah juga menyedot perhatian sore itu. Kepulan asap dari motor brong, tak sabar menyusup lewat, nampak membabi buta.
"Pak Rahmat lama sekali sih," Ernest wajahnya kesal.
"Sabar tuan, mungkin sebentar lagi."
"Masalahnya, ini sudah hampir 30 menit lebih suster."
"Iya tuan, tapi minimarket nya juga sedang ramai," tunjuk Jovi kearah minimarket.
"Badanku sudah mulai gatal lagi suster, mana perut juga laper belum makan," keluhnya.
"Ouh iya, tadi Tuan Ernest belum makan siang? gimana ini? apa tuan, telpon pak Rahmat sekalian," Jovi mencemasi.
"Nggak, nggak usah.. malah nanti nginep disini kita.. orang Pak Rahmat aja belum sampai-sampai."
"Tapi tuan belum makan," kata Jovi tiba-tiba membayangkan Tuan Toni.
"Nggak papa," Ernest menyandarkan kepala di jok mobil.
Menunggu Pak Rahmat, terlihat masih antri di barisan kasir. Mata Jovi berpindah pandangan, melihat para pegawai dari kantor.
Lamunan Jovi, membayangkan dirinya pulang kantor bercanda dengan Ola. Sandaran tubuh di jok mobil, semakin mengajak Jovi bermain penuh lewat imajinasi dan khayalan.
Bubaran kantor di depan mata Jovi, mengingatkan dirinya check lock dan mengambil tas di loker kantor. Semua terkenang manis dalam ingatan Jovi.
Sementara Ernest, laki-laki tampan itu, sibuk dengan tubuh gatalnya. Berulang kali, punggung yang terbalut dengan jass kantor, digosokkan Ernest ke pintu mobil.
Mereka berdua berada didalam mobil tanpa bersuara. Jovi merasa, matanya mulai dihinggapi rasa kantuk. Setelah dia meminum obat, yang diberikan oleh Pak Rahmat.
Berkali-kali, uapan Jovi tertahan dimulut tak keluar. Kepalanya mengangguk sendiri tanpa dikomando.
"Suster," panggil Ernest.
"Aah.. iya tuan," Jovi berusaha membuka mata.
"Tolong garukkan leherku," Ernest menggaruk tangan kirinya.
"Baik tuan," Jovi membantu menggosok leher putih Ernest.
"*Cegluukkkkk....."
Tubuh Jovi menabrak lengan Ernest*.
"Kamu ngantuk?," Ernest terkejut.
"Iya tuan, mata saya rasanya berat sekali."
"Mungkin karena tadi, kamu barusan minum obat."
"Ceglukkk..."
Kali ini kepala Jovi menatap ke wajah Ernest
"Maaf tuan, hahhh...," Jovi menggeleng-gelengkan kepala berharap kantuk pergi.
Setelah itu Ernest memberhentikan garukan dilengan, menyuruh Jovi menyudahi juga gosokan tangan lembutnya di tubuh Ernest.
Sekarang mereka berdua, sama-sama menyandarkan tubuh di jok mobil empuk. Tanpa disadari, mata Jovi sudah berlari pergi ke dalam mimpi.
Rasa kantuk sudah membuatnya tidak kuat, melihat indah panorama senja diantara gedung-gedung tinggi sore itu. Jovi terlelap tidur didalam mobil.
"*Cegluukk.."
Kepala Jovi membentur pundak Ernest*.
Hampir berkali-kali, Ernest hanya dikejutkan karena tidur Jovi yang tidak tertahan disore itu.
"Cegluuukk..."
Tubuh Jovi menyandar pundak Ernest.
Lelah serta kesal, melihati Jovi menabrak tubuhnya. Laki-laki tampan, yang sebetulnya juga tidak kalah mengantuk, menunggu Pak Rahmat datang. Mengarahkan kepala serta tubuh ramping Jovi, kepangkuan Ernest.
Laki-laki dingin tersebut, tidak tega, melihati Jovi. Menabrak tubuhnya berkali-kali dengan kepalanya. Wajah lelah Jovi benar-benar terlihat jelas.
Rasa kasihan, setelah melihat maag'nya yang kambuh, semakin membuat Ernest tidak tega. Ernest semakin penasaran, siapa sebenarnya Jovi?.
Kepala Jovi terlihat nyaman, berada dipangkuan Ernest sore itu. Senja di sore itu, menjadi saksi kebaikan Ernest, meminjamkan tubuhnya untuk Jovi.
Sesekali, Ernest menyilakan poni Jovi yang menutupi wajahnya. Rambut lurus Jovi kadang masih bandel, menuruni wajah pemiliknya tersebut.
10 menit berikutnya, mulut Ernest berkali-kali sedang menguap. Dirinya ikut terlelap diatas mobil, terparkir di trotoar.
Tangan kiri Ernest, menaruh diatas pada pundak Jovi. Tidur mereka sama-sama lelap, karena rasa capek setelah pulang dari kantor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Iklima kasi💕
😂😂😂😂😂😂😂kebayang lucunya...
2020-07-29
2
.
maraton like ama baca,semangat ya
2020-07-17
1
Nurayati
visualny thor...biar tmbh smgt
2020-07-11
0