"Mama, Jovi kangen sama Aqila.., Jovi mau pulang ketemu sebentar sama Aqila.., udah semingguan lebih, nggak ketemu sama Aqila mah," suara Jovi diponsel genggamnya.
"Ya nanti kan kamu pulang..!! ketemu sama Aqila sayang.. kamu kenapa Jovi, nggak biasanya mama dengar kamu nangis? lagian kan kamu emang lagi meeting sayang," jawab Mama Jovi.
"Iya ma, kelihatannya Jovi sedikit lama di tempat meeting, kemungkinan besok baru bisa pulang," Jovi beralasan seolah sudah mendapat izin pulang.
"Kamu jaga diri disana baik-baik ya sayang..!! mama, papa, sama Aqila, selalu mendoakan kamu biar cepat selesai kerjanya, kamu yang nurut ya sama Pak Fictor..!! jangan membantah apa yang diperintahkan beliau," Mama Jovi berpesan.
"Iya, mama tenang aja. Jovi selalu nurut sama Pak Fictor," jawab Jovi menahan tangis ditelepon.
Jovi kemudian menutup ponsel, tidak membiarkan mama Jovi mengetahui semua. Dalam bayangan Mama Jovi, putrinya tersebut diperlakukan baik oleh Fictor. Padahal banyak kejadian yang tidak pernah dikatakan Jovi.
Hati Jovi begitu sangat kesal, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa, untuk nasibnya. Ingin diteriaki lautan manusia didunia ini, agar tau sakit hatinya Jovi.
Orang tua Jovi mungkin tidak akan terima, ketika tau, Fictor memperbudak Jovi untuk menuruti semua keinginan nya. Dimana hal tersebut, audah diluar pekerjaan dan tanggung jawab Jovi sebagai sekertaris.
Kemarahannya serta air mata, yang harus selalu terbendung dimata Jovi, hanya karena Fictor. Perempuan penyabar tersebut, berharap suatu saat, agar Fictor dibukakan pintu hidayah.
Udara sore itu, seolah mengerti apa yang dirasakan Jovi. Disamping jendela kamar, yang menjadi kamar pribadinya. Rambut Jovi berlarian kearah jendela, mengikuti angin sore itu.
Sedikit menenangkan hatinya, serta dengan aroma angin, khas sebelum hujan mulai berhembus dibadan Jovi. Matanya masih sayu, setelah tangis siang hari tadi, mengucur dengan deras.
Tidak bisa pulang, adalah sebab utamanya. Jovi tidak bisa pulang, menemui adik tercintanya. Apalagi kembalinya Tuan Toni, tidak bisa membuat Jovi melanggar aturan itu.
Ditengah lamunan sore, lengkap bersama rintik hujan. Langit mengganti wajahnya yang putih, menjadi hitam pekat. Satu paket dengan butiran air hujan, sudah turun membasahi bumi.
"Suster, tuan muda badannya tiba-tiba panas.., Suster Jovi," panggil Bik Yuni ke kamar Jovi gugup.
"Iya bibi, sebentar," jawab Jovi tersadar dari lamunan.
"Suster Jovi..," panggil Bik Yuni lagi masih begitu gugup.
"Ouh iya Bik Yuni.. sebentar," jawabannya di ulang lagi.
Dia beranjak dari tempat duduknya, menceprol rambut panjang, dengan jepit hitam panjang yang dibawa. Jovi bergegas lari keluar kamar, suara Bik Yuni seolah menjadi alarm kepanikan dihatinya.
Jovi memandang ke arah kamar Ernest, yang lagi-lagi, Ernest terkapar di atas ranjang. Dari mulai tidur siang hingga menjelang petang, Ernest belum terbangun. Kesalahan Jovi, sore tadi, dirinya tidak mengecek kondisi Ernest.
"Tuan Ernest.. haduh kenapa lagi ini?," Jovi memeluk wajah Ernest, menggunakan kedua tangannya.
"Lenganku sakit sust," gumam Ernest seperti saat malam, Jovi kembali kerumahnya.
"Ada bengkak dibagian lengan tuan, tapi itu tidak papa.. itu biasa terjadi pada luka patah tulang," gumam Jovi mengecek dibagian lengan.
Udara sore, terasa dingin sebelum hujan turun, membuat luka gips Ernest terasa begitu ngilu. Sudah bukan rahasia, jika gips patah tulang akan terasa ngilu karena hawa dingin.
Jovi menaruh lengan kanan Ernest, menggunakan bantal. Supaya lebih tinggi, dari posisi jantungnya. Diambil 2 bantal putih, ditumpuk Jovi, untuk menaruh lengan kanan Ernest.
Hal tersebut digunakan Jovi, supaya memperlancar peredaran darah, dan mengurangi rasa nyeri akibat gips, yang terpasang di tangan Ernest. Semua sudah dilakukan sesuai pengetahuan dia.
"Tuan Ernest apa yang sakit lagi?, tuan, apa tangan tuan masih terasa nyeri?, Saya ambilkan obat ya Tuan Ernest," tanya Jovi tak mendapati respon.
"Gimana ini? tangannya semakin dingin, tubuhnya juga," Jovi menggosok tangan kiri Ernest agar hangat.
"Badanku terasa dingin suster," Ernest menggigil parah.
"Ya Tuhan, gimana ini? ya tuan, sabar dulu saya ambilkan kompres air," jawab Jovi panik.
Kedua kakinya berlari kearah kamar mandi, tanpa menyelesaikan ucapannya lebih dahulu, kepanikan Jovi mulai terlihat. Fokus pikirannya terbagi, memandang wajah Ernest, yang tak kunjung ada perubahan.
Dengan cepat, Jovi menyabet ember kecil dan waslap yang pagi tadi sudah digunakan mandi Ernest. Gemetar tangan Jovi, seolah mengatakan ketakutannya pada papa Ernest.
Dirinya tidak bisa membayangkan, jika Tuan Toni, akan memberikan ultimatum hebat kepada Jovi lagi. Seperti siang tadi, saat bersama para pembantu di rumah.
Semenjak kemarahan Tuan Toni, kepada Jovi dan para pegawai dirumahnya. Hal itu membuat Jovi berfikir, jika kesehatan dan keselamatan Ernest diatas segala-galanya.
Air hangat dari shower yang ditekan Jovi, mulai terasa dikedua tangannya.
Jovi mengambil kain waslap dan di taruhkan pada kepala Ernest. Perempuan dengan mata sayu itu, membiarkan Ernest tanpa selimut.
Pakaian tebal laupun selimut yang lebih tebal, atau sejenis benda yang menghangatkan tubuh tidak dipakai. karena dapat meningkatkan suhu tubuh.
Tombol AC yang berada didalam kamar Ernest, dimatikan oleh Jovi. Air hangat yang dibawa Jovi, perlahan disapukan lagi pada setiap jengkal tubuh Ernest.
"Beeeerrrrrr....," Ernest terlihat masih menggigil.
Hujan lalu terdengar turun dengan begitu deras, gemuruh angin nampak dari jendela kamar Ernest sore itu. bunga-bunga ikut berlarian mengikuti arah angin semilir.
Meski udara tidak menyergap masuk ruangan, tetapi dapat dirasa betapa dinginnya suasana diluar sana. Tirai didalam kamar Ernest membuka, menyaksikan lebatnya hujan.
"Mah.. dingin mah..," gumam Ernest.
"Kenapa mama?? apa Tuan Ernest merindukan mamanya," Jovi menebak pelan.
"Mama... dingin ma.. peluk Ernest ma..," suara lirih Ernest sore itu, hampir tidak terdengar.
Bibir Ernest memucat jelas, berganti warna putih susu. Nafasnya lebih cepat dari sebelumnya. Jantungnya berdegup tidak beraturan.
Jovi lalu memberanikan diri, memeluk tubuh laki-laki dingin yang berada didepannya. Tangan hangat Jovi seolah menjadi jawaban, dari dinginnya wajah Ernest.
"Tuhan.., Jovi hanya membantu Tuan Ernest sembuh, Jovi nggak ganjen Tuhan, apalagi mencari kesempatan dalam kesempitan," ucapnya menggerutu diatas tubuh Ernest.
Tubuh Ernest terasa begitu dingin, detak jantungnya juga terasa hingga ditubuh Jovi. Perlahan tapi pasti, tubuh Ernest menghangat oleh pelukan Jovi.
Setelah keadaan Ernest mulai membaik, meski masih sering terdengar iggau'an memanggil "mama" dimulut Ernest. Jovi tak beranjak segera berdiri.
Jovi mencoba membubuhkan kedua tangannya, di pipi kanan dan kiri Ernest, sesekali tangan kirinya membelai lembut rambut lurus Ernest, ke arah belakang berkali-kali.
Hal itu biasanya Jovi lakukan, saat menidurkan Aqila adiknya. Tampannya wajah Ernest, dipandang jelas oleh suster cantiknya. Semua lebih indah, saat Ernest mendiamkan bibirnya.
Tidak disengaja, ternyata hal itu sukses membuat Ernest, berhenti memanggil mendiang mamanya. Tubuh Ernest nampak nyaman diperlakukan Jovi seperti anak kecil.
Bibir pucatnya, semakin menenang bersama tidurnya menjelang petang.
"Ternyata suster Jovi begitu baik pada Ernest. Anak itu sama sekali tidak memperlakukan Ernest dengan buruk," Batin Tuan Toni melihat Jovi dan Ernest dari arah pintu kamar.
Perlakuan yang diberikan Jovi, membelai lembut rambut Ernest hingga bisa tertidur. Semua sama persis, dengan apa yang dilakukan mendiang istri Tuan Toni, kepada putra semata wayangnya.
Laki-laki tua berkacamata, kembali tersadar, bagimana jahatnya saat memarahi Jovi siang hari tadi. Sedangkan Jovi nampak begitu baik, memperdulikan kondisi Ernest.
Tuan Toni kemudian melihat Jovi keluar, dari arah kamar Ernest. Dirinya memanggil ke arah ruang tengah. Masih berdiri didepan televisi besar.
Hanya dengan sorot mata, yang daritadi mengarah ke dirinya. Semua membuat Jovi seolah tau, jika dirinya dipanggil Tuan Toni.
"Suster Jovi, bagaimana keadaan Ernest?," tanya Tuan Toni melihat Jovi berjalan ke arahnya.
"Alhamdulilah, tuan muda sudah membaik Tuan Toni, meski tadi Tuan Ernest sempat menggigil karena cuaca, dan ada luka iritasi di gips tangan Tuan Ernest," jelasnya.
"Iya.., sebetulnya tadi saya sudah mau memanggil dokter sust.. tapi kelihatannya Ernest sudah membaik.., terimakasih suster Jovi," Tuan Toni tidak bernada tinggi sama sekali.
"Sama-sama tuan, bagi saya kesehatan dan keselamatan tuan muda adalah yang utama," Jovi mengulang perkataan Tuan Toni pada siang tadi.
"Hehehe.. Karena saya hanya punya Ernest suster.. alaupun kelihatannya Ernest anaknya sangat dingin, tetapi sebetulnya dia adalah anak yang manja dan penurut," curhat Tuan Toni.
"Saat dulu mamanya masih ada, Ernest tidak seperti itu," ucapnya semakin membuat sendu suasana hujan sore itu.
"Ernest berubah menjadi dingin kepada semua orang, setelah kehilangan mamanya, ya.. mungkin itu bentuk protes Ernest terhadap dirinya sendiri," Tuan Toni begitu rapuh menjelaskan.
Jovi yang mendengar semua, dia diam tak bergeming. Nampaknya kehilangan istri, begitu memukul Tuan Toni dan keluarga.
Hujan diluar sana juga tak kunjung reda, guyuran deras justru semakin terdengar. Menambah melankonis, suasana percakapan Tuan Toni bersama Jovi
"Ernest sangat dekat dengan mamanya.. sampai sekarang, bahkan Ernest masih selalu ingat dengan kebiasaan-kebiasaan sederhana mamanya, yang selama ini saya juga selalu mengingatnya.. kita merasa kesepian," mata Tuan Toni berbinar.
Laki-laki dengan usia lebih dari setengah abad, terlihat nampak sedih. Kekayaan yang dimiliki, seolah tidak bisa menjadi penghapus rasa kesepian, dirumah besar itu.
Tuan Toni tidak menyadari, bibirnya mengajak mengenang semua masa lalu dirinya. Sedangkan Jovi, dia hanya masih berdiri ditempat, tidak berucap, atau berani menenangkan.
"Maaf maaf, percakapan saya malah ngelantur kemana-mana," kata Tuan Toni sudah tersadar.
"Tidak apa-apa tuan," Jovi menjawab tidak enak.
"Oh.. iya, untuk besok suster Jovi bisa pulang ke keluarga dulu ya..!! untuk berpamit dulu ke bapak ibu suster..," kata Tuan Toni memberi izin pulang.
"Apa Tuan Toni, tidak salah?," tanya ulang Jovi.
"Tidak, suster bisa pulang, hari ini suster sudah bekerja dengan begitu berat," ucap Tuan Toni menyakinkan.
"Betulkah Tuan?? Terimakasih banyak Tuan Toni, Jovi pasti akan kembali sesuai jadwal," jawab Jovi bergembira.
"Iya sama-sama," ucap Tuan Toni tersenyum ramah.
Jovi tidak menyangka, jika dirinya boleh diberikan ijin pulang menemui keluarga. Ucapan bohong Jovi ditelepon, kepada mamanya. Seperti dijawab indah oleh Tuhan sore ini
Dengan bahagia, Jovi mengganti baju dan menanggalkan seragam yang dipinjam dari Bik Yuni. Bajunya dikemas, kaki jenjangnya berlari pergi menunggu taksi didepan pagar, disaat hujan sudah mereda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Little Peony
Bagus banget Thor! 😍
Semangat selalu Thor~~
Salam dari Serendipity dan CEO’s Love Secret
2020-09-20
0
Iklima kasi💕
sosok jovi disini imajinasiku langsung ke artis jill gladis😊,,suka ceritanya🖒
2020-07-29
2
Sinciho Grendly
seruuu
2020-07-14
0