Selesai membeli roti, dan segelas susu coklat hangat dari kantin kantor. Pesanan Jovi, masih terbungkus rapi. Kakinya berjalan kembali, ke lantai 5 ruang Ernest.
Jovi ingin memastikan lebih dulu, keadaan Ernest, yang sebentar lagi juga harus makan siang serta minum obat.
Dia berjalan keluar dari lift, lalu berjalan menuju ruang direktur utama. Dalam perjalanannya balik ke ruangan, senyum Jovi terlihat. Ketika beberapa pegawai, berpapasan dengan dirinya.
Nampaknya, kehadiran Jovi di kantor hari ini. Sudah menjadi perbincangan hangat, karena parasnya yang cantik berprofesi sebagai perawat.
Tidak sedikit juga, mata lelaki yang melihat ke arah Jovi tersenyum dengan sendiri. Membiarkan kepalanya, tidak sejalan dengan arah kaki. Semua terasa membuat tertawa.
"Hallo Suster."
"Hai Suster Jovi."
"Perawat barunya Pak Ernest ya?."
Semua sapaan itu, terdengar silih berganti di setiap penghujung jalan. Jovi heran, darimana para pegawai di kantor itu tau jika dia bernama Jovi.
Perempuan cantik tersebut, berjalan menunduk sopan. Ketika bertemu dengan pegawai, yang umurnya lebih tua. Sangat membanggakan mempunyai suster seperti Jovi.
Keramahan, kesabaran yang Jovi miliki, tidak pantas memiliki nasib yang kurang baik. Meski begitu, Jovi tetap menerima takdir sebagai pemuas keinginan Fictor.
"Triing.. ting.. ting.. triing.. ting.."
Bunyi ponsel, dibarengi getaran disaku baju Jovi, terambil dari tangan kirinya. Yang sedang tidak membawa apa-apa.
Mata Jovi langsung terbelalak, di jam makan siang Fictor menelponnya. Apalagi suasana dikantor Ernest, ramai para pegawai berhamburan keluar.
Jovi kemudian menepi, ke arah sudut pojok ruangan. Dimana tempat itu, mengarah ke kaca-kaca besar ruangan kantor ruangan tersebut.
Terik matahari menembus masuk, dari kaca besar kantor. Tapi untungnya, AC di ruangan lebih dingin, dan mendominan pada kantor tersebut.
"Hallo Pak Fictor."
"Hallo, loe darimana aja? kenapa loe
gak ngangkat telpon gue..? mentang-mentang sekarang loe nggak di kantor, jadi berani seenaknya?? begitu hah?," bentak Fictor di dalam telpon.
"Ma-maaf pak, tadi saya habis beli makan dikantin karena belum makan."
"Loe sekarang sudah pandai bohong ya Jov?? emang gue bodoh, percaya sama alasan loe, yang sering dipakai anak kecil bohongin nyokapnya," kata Fictor kasar.
"Beneran Pak Fictor, tadi bekal saya ketinggalan dirumah Tuan Ernest," Jovi berhati-hati bicara.
"Kalau loe didepan gue, udah gue tampar muka loe.. beraninya loe ngebantah gue !! Mana informasi yang loe dapat, selama jadi susternya Ernest? loe tau, kerja loe nggak becus banget."
"Iya pak, maaf.. saya telah lancang."
"Gue nggak mau bayar gaji loe, kalau loe nggak ngasih keuntungan buat gue, paham loe..!!."
"Ma-maaf Pak Fictor, iya pak, saya akan memberi tahu, jika Tuan Ernest kenapa-napa?," Jovi menjawab pelan.
Matanya memejam, membayangkan bagaimana Fictor, berada di lain tempat itu sedang marah. Pasti wajahnya sedang merah padam, dan mengepalkan tangan diatas meja.
Apapun yang dilakukan Jovi, serasa kurang berhasil dimata Fictor tersebut. Jovi juga tidak akan tega, apabila mencelakai Ernest.
"Apa otak loe baru berfungsi, kalau gue baru nelfon loe, dasar sekertaris edan (gila)," Fictor memaki hebat.
"Ya Pak Fictor, saya minta maaf," jawab Jovi meski hatinya terasa begitu sakit.
Sesekali kepala Jovi memastikan keadaan, tidak ada pegawai kantor, yang mendengar pembicaraannya. Semua percakapan Jovi dengan Fictor ditelepon.
Kadang dia membalik tubuh, serta tengok kanan kiri. Perut yang tadinya terasa perih, karena maag diperut Jovi kambuh, tidak terasa lagi di lambungnya.
Jika Jovi, adalah sekertaris yang dianggap gila oleh Fictor. Tidak mungkin perempuan cantik berlesung pipi itu, pernah mendapat predikat sebagai sekertaris terbaik di tahun 2017 silam.
3 menit sudah telepon dari Fictor, lalu kemudian Jovi mematikan telepon, dari Atasan kejamnya tersebut. Semua tepat setelah jam istirahat selesai.
Tubuhnya lemas ingin terkapar dilantai, membayangkan, apa yang akan direncanakan Fictor. Rencana kejam pada pasien tampannya tersebut.
"Gimana ini? Apa yang akan direncanakan Pak Fictor ?? Pasti Pak Fictor sudah merencanakan sesuatu. Apa jangan-jangan Tuan Ernest akan di racuni? a-a-a jangan Tuhan," Jovi membatin sembari berjalan masuk keruang Dirut.
Pikiran Jovi justru kemana-mana, sekertaris cantik itu mengaitkan kata-kata Fictor beberapa waktu lalu, yang ingin melihat Ernest menyusul Helen.
Sementara Helen saja sekarang sudah meninggal. Apa iya Jovi harus mengirim juga Ernest menemui mamanya. Ahh semua itu tidak pernah terbersit pada kepalanya.
"Kreeeeeeekkkk...," Jovi membuka pintu.
Dia melihat, ruangan seperti biasa, saat tadi meninggalkan Ernest dan Meghan. Jovi melihat Meghan, sudah tidak berada lagi dikursi depan Ernest. Mungkin Meghan sudah pergi.
Perempuan cantik itu, hanya melihat Ernest menengadah, wajahnya melihat ke atas. Dasi yang dikenakan hari itu, terbuang kesamping. Kancing baju kemeja Ernest, melepas sendiri.
Apa kira-kira yang baru saja dilakukan Meghan, pada laki-laki tampan tersebut. Jovi berlari ke arah Ernest, sedang diam membisu mengetahuinya datang.
"Tuan Ernest, tuan kenapa?," tanya Jovi menggeletakkan makanan sudah dibeli tadi.
"Tuan merasakan deman?, atau bagaimana Tuan Ernest?," tanya Jovi berlari menghampiri Ernest.
"Tubuhku gatal sekali suster, badanku rasanya panas, tenggorokanku kering suster," ucapnya.
Ernest sudah mendapati tubuhnya, penuh dengan bintik-bintik merah. Digaruk berkali-kali, agar meredakan rasa gatal ditubuh.
"Hah?? kenapa ini?," Jovi memegang punggung telapak tangan Ernest.
"Wajah Tuan Ernest?? kenapa juga bentol-bentol merah, ada apa ini?," tangannya panik mengamati wajah pria tampan itu.
AC ruangan di kantor, bahkan tidak bisa meredakan rasa panas, yang ada didalam tubuh Ernest. Semua terasa gerah, pada semua badan.
Jovi membantu Ernest, melepaskan jass kerja dari tubuhnya. Sesekali, dengan tangan kiri, Ernest menggaruk tubuh, walaupun gerakannya terbatas.
"Gatal suster, panas, haduhh...," dahi Ernest mulai bermunculan keringat.
"Se-sebentar tuan, Ya Tuhan ini kenapa Tuan Ernest?," ucap Jovi berbibir gemetaran.
"Aduuuh... gatal sekali," Ernest menggosok hebat lengan kanan bergips tersebut.
"Jangan digaruk tuan, itu gipsnya nanti geser," Jovi melihat Ernest kebingungan sambil membuka kancing baju.
"Gatal suster, panas," berkali-kali Ernest hanya mengucap itu.
"Tu-tuan Ernest, usap halus saja, mana bagian yang terasa sangat gatal," Jovi membantu.
"Semuanya gatal suster, panas..," tangan Ernest menggaruk bebas, badan gatalnya.
"Sabar ya tuan, saya bantu gosok," tangan Jovi membantu.
Nampaknya gatal ditubuh Ernest, begitu tidak main-main. Bahkan, setiap Jovi memandang Ernest, mata laki-laki itu memejam, menahan gatal bercampur panas ditubuh.
Sampai akhirnya, Ernest tidak tahan, buliran air mata keluar. Keringat juga menuruni wajah dan pergelangan siku Ernest.
Suasana istirahat, yang tadi membayangi keinginan Jovi. Segera menikmati roti hangat dan susu coklat, langsung sirna semua. Perut perihnya tertahan, mendapati Ernest yang kesakitan.
Dijam makan siang pukul 12.00, Jovi mengajak Ernest untuk pindah ke sofa, memboyong tubuh kekar Ernest, ke depan ruangan berkaca.
Karena tempat kursi direktur yang di duduki Ernest, menyulitkan Jovi memberi pertolongan, pada ruam gatal ditubuh sang CEO tersebut. Jovi memindahkan tubuh Ernest.
Tangan kanan kiri Jovi, sahut menyahut membuka kancing baju. Kemudian menanggalkan kemeja milik Ernest di sofa.
"Gatal tubuh Tuan Ernest rata disekujur tubuhnya. Kelihatannya ini bukan alergi gips !! atau mungkin Tuan Ernest alergi salah satu obat yang diminum tadi," Jovi membatin sembari mengecek ruam gatal ditubuh tuan muda.
"Tuan Ernest, dimana kotak obatnya?," tanya Jovi.
"Disana, cepat suster.. tubuhku rasanya nyeri sekarang," tutur laki-laki yang terkapar di sofa.
"Baik tuan," Jovi berlari mengambil kotak P3K kantor.
Dirinya memandang kecewa ketika melihat kotak P3K di kantor. Tidak ada obat penolong, yang cocok untuk mengobati gatal tubuh Ernest.
"Hanya ada obat merah, kapas, rivanol. hand sanitizer saja tuan, dan juga hansaplas," keluh Jovi melihati Ernest tergeletak tanpa atasan di atas sofa.
"Bantu garukkan suster," perintahnya.
"Jangan tuan, jangan di garuk.. nanti luka tuan semakin parah," Jovi tidak membantu.
"Aku nggak betah suster," bentak Ernest pada Jovi.
Jovi tersentak, melihat Ernest semakin kelimpungan. Tangan kirinya menggaruk dada, serta leher yang penuh ruam merah gatal.
Map file didepan meja kantor Ernest menjadi perhatian Jovi, rambut rapinya berlari mengikuti mencari kontak salah satu dokter rumah sakit Wijaya.
"Hallo, dengan dokter Edo rumah sakit Wijaya."
"Betul, ada yang bisa kami bantu?."
"Maaf Dok, saya suster Bapak Ernest. bisa dokter kesini untuk mengecek kondisi Pak Ernest?,"
"Ada apa dengan Pak Ernest ya suster?."
"Tubuhnya tiba-tiba mengeluarkan ruam gatal di seluruh tubuh, kemungkinan itu bukan alergi gips, tapi saya sendiri kurang begitu tau Dok?," jelas Jovi ditelepon.
Mata Jovi kebingungan, mendapati Ernest semakin merintih kesakitan.
"Baik saya akan kesana..!!," ucap Dokter Edo melegakan hatinya.
"Terimakasih dokter."
"Hanya itu, apa ada keluhannya lagi?," kata Dokter Edo memastikan.
"Tidak dok, itu saja, terimakasih dok," jawab Jovi.
Jovi menutup cepat telepon, dua kaki jenjangnya berlari lagi ke Ernest. Musibah apalagi ini? hatinya berkecamuk, membayangkan apa yang akan Tuan Toni lakukan pada Jovi.
Suster cantiknya itu, membuat putra tercintanya kesakitan. Kesalahapahaman baru selesai, muncul lagi masalah baru. Jovi ingin menyerah rasanya.
Kali ini Ernest membangunkan diri, mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Kepala Ernest menengadah lagi ke atas. Kakinya diluruskan ke arah meja kantor.
Meski sempat diberitahu Jovi, agar tidak menggaruk ruam gatal ditubuh. Tetapi hal itu dilanggar Ernest, dia masih menggaruk seluruh tubuhnya.
"Semakin panas saja," Ernest menggaruk'i wajah.
"A-a-a jangan tuan," Jovi mengangkat tangan tak berdaya.
"Gatal suster, panasss," kata Ernest bernada kesal.
Tidak habis akal, Jovi meraih rivanol, di kotak P3K yang masih berada di atas meja. Kapas putih, dibaluri cairan warna kuning, dipegang Jovi, untuk mengurangi rasa gatal ditubuh Ernest.
"Nyeeessss..."
Kapas dingin menggosok setiap bagian tubuh Ernest.
Jovi menyapu setiap tubuh Ernest, agar tidak semakin infeksi, karena garukan tangan Ernest. Punggung mulusnya tidak terelakan, dari ruam gatal yang melanda tubuhnya.
"Ini bukan ruam gatal karena alergi obat, ini seperti alergi seafood," gumam Jovi mengamati.
Suster Jovi, menyapu rivanol di leher Ernest.
"Alergi seafood?," Ernest mendengarkan.
"Suster Jovi, apa tadi suster salah membawakan saya bekal?," tanya Ernest membuka mata.
Laki-laki itu mengingat, pada suapan terakhir disarapan paginya, terasa bukan lauk ayam yang menjadi santapan. Ketika Ernest menikmati hidangan teriyaki.
"A-a saya mengambil nasi kebuli, ayam fillet teriyaki, terus cap cay tuan," Jovi mengingat apa saja yang dimasukkan, pada box makan saat pagi.
"Kamu nggak bawakan saya udang kan?," sedikit duga Ernest.
"Hah udang ?? A-a-a tadi Bik Yuni dirumah memasak udang kupas saus teriyaki tuan, katanya itu kesukaan tuan besar."
"Tapi kamu nggak ambil kan ??," Ernest memandangi perempuan yang melumuri tubuhnya, hingga rata berwarna kuning.
"Tadi saya ? saya lupa tuan," jawabnya tidak konsen.
Jovi mengobati telinga kanan Ernest, saat itu juga mengeluarkan ruam merah. Ernest yang lelah memiringkan kepala ke arah kiri, menyandarkan kepala ke pundak Jovi.
Anehnya Jovi tidak merespon lebih, dia membiarkan kepala Ernest tidur dipundak kirinya. Terlihat begitu romantis.
"Kenapa rata seperti ini ya tuan?," gumamnya sendiri.
"Apa Tuan Ernest alergi pada udang?," tanya Jovi.
"Tuan," panggilnya lagi.
Namun pertanyaan dan panggilan dari Jovi tersebut, tidak dibalas oleh Ernest. Suara sunyi ruangan, melengkapi keanehan pertanyaan Jovi.
"Tuan..??," dia melirik ke arah wajah Ernest.
Ternyata laki-laki tampan tak berkemeja, tengah memejamkan mata tertidur. Jovi yang berada diatas kepala Ernest, memandang leluarsa hidung mancung milik anak Tuan Toni Wijaya.
Wajahnya tampan, dengan bibir alami merah menawan asli. Rambutnya rapi, alisnya tebal, serta bulu mata yang sama juga. Ernest memang sangat tampan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Novrizal Novizral
awalnya jatuh cinta ...
2020-09-09
0
.
Hadir...semangat ya
2020-07-05
0
Li Na
up
2020-06-21
0