"treeett.. ttreeett.. treettt.."
Bunyi suara getar ponsel Jovi, yang terjatuh disofa saat ketiduran, hampir berkali-kali terdengar. Mata cantik yang dimilikinya, tak ubah membuat Jovi untuk bangun.
Rasa kantuk yang begitu memupuk kedua matanya, terasa sangat susah dibangunkan. Belum lagi beberapa kejadian, membuat Jovi harus terbangun berkali-kali.
Tubuh tinggi Jovi, seakan lunglai diatas sofa. Sofa itu, berukuran 2 x 1 meter tersebut.
"treett... ttreeett... treeett... teeettt...."
Suara getar tersebut, mulai membuat tidur Jovi tidak nyaman. Lagi -lagi Jovi harus bangun, dari tidur yang belum ada 3 jam itu. Matanya masih berat dibuka.
Sebetulnya, mata Jovi masih tetap enggan dibuka, meski begitu Jovi lalu meraba ponsel dibawah tubuhnya. kemudian Jovi mendudukan diri, diatas sofa yang menjadi tempat tidurnya malam ini.
Kepala perempuan bermata sipit itu, terlihat menopang bersandar sofa. Layar ponsel digenggaman tangan Jovi, terlihat memantulkan cahaya cerah. Memperlihatkan, jika papa Jovi telah menelepon.
"PAPAKU MEMANGGIL........"
Samar terlihat, tapi semakin jelas terbaca. Pada mata yang mulai Jovi buka, tubuh yang sempat memalas diatas sofa, secara spontan langsung menegang.
Duduk Jovi, bak seperti orang yang sedang interview. Begitu tegap serta dengan tatapan mata kebingungan. ditambah rasa deg deg'an.
"Hallo pa...," angkat Jovi menjawab telepon.
"Hallo Jovi kamu dimana?? Ini papa sama mama baru datang, kamu dicari Mama dan juga Aqila," tanya Papa Jovi di telepon.
"A-aa.. Jovi ini pa,"Jovi gelagapan.
"Kemana kamu Jovi? Papa khawatir, kamu ada dimana sayang?? Ini Aqila nangis nyariin kamu," papa Jovi menanyai putri cantiknya.
"Jovi meeting pa, iyaa meeting," ucapnya.
"Terus kapan kamu berangkatnya sayang? kok kamu udah nggak ada," suara papa Jovi bingung.
"Mu-mungkin pas Jovi berangkat, papa baru datang, ini Jovi baru diperjalanan," bohong Jovi.
Dirinya memandang, jam dikamar Ernest, menunjukkan pukul 04.00 pagi.
"Ouh .... begitu," dengar Jovi Papanya mengucap lega.
"Iyaa pa, maaf ya.. Jovi nggak bilang papa, meetingnya terlalu mendadak pa," dirinya meminta maaf.
"Terus ?? kenapa kamu nggak bawa mobil?? papa kasihan sama Aqila, dia nangis nyariin kamu," ucap Papa Jovi sedih.
"O-ouh iya, Jovi berangkat sama Ola pa.. jadi ini naik mobil Ola, Jovi juga kangen pa sama Aqila," jawabnya dengan mata berbinar.
"Memang Ola punya mobil?? sejak kapan?? kamu ini gimana sih Jov??," Papa Jovi mulai menaruh kesal.
"I-ii-iya pa, mobil Ola baru, baru semingguan kok pa," karang bebas Jovi.
Perempuan berambut panjang tersebut, semakin kebingungan. Sembari menelpon, Jovi memukul kepala, karena lupa Ola tidak memiliki mobil.
"Bilang sabar ke Aqila ya pa, Jovi juga rindu," tutur Jovi mengingat adik kecilnya, berumur 3 tahun.
Mendengar kamar ada sedikit gaduh, oleh suara bisik-bisik disubuh pagi. Ernest mulai tersadar, dari tidurnya semalam suntuk.
Mata kabur Ernest, melihati sosok perempuan, tengah duduk diatas sofa. Perempuan itu, membelakangi tempat tidur Ernest.
Sayup terdengar ditelinga Ernest, "Aqila pa..." Sayangnya, kepala Ernest masih begitu pusing. Untuk dibuat bangun, dan mencari tahu jelas dari mana suara tersebut.
"Uhuk-uhuk...," suara batuk Ernest.
Terdengar suara batuk Tuan Muda, seketika Jovi baru menyadarkan diri. Jika dirinya, tidak sendiri, didalam kamar berukuran 6x7 meter itu.
Sigap tangannya langsung mecari tombol merah, menutup telepon dari panggilan yang sedang berlansung. Tanpa persetujuan papanya, terlebih dahulu.
Kaki jenjangnya, beranjak berjalan kearah Ernest. Melihat lagi, bagaimana kondisinya. Raut wajah Jovi kembali tidak tenang, degupan jantung tak beraturan, serta keringat dingin mulai menyergap tubuh Jovi.
Kejadian subuh ini, sama menegangkan, seperti saat awal bertemu Ernest di aula rumah sakit.
Jovi melihat Ernest, tengah menahan pusing dikepala. Tangan kiri laki-laki tersebut, memegangi sebagian keningnya itu.
"Maaf tuan, apa kepala Tuan Ernest pusing??," tanya Jovi.
"Arrrghhh.....," suara Ernest menahan.
"Saya kasih obat pereda nyeri ya.. agar pusing tuan sedikit reda," tawar Jovi berdiri khawatir.
Ernest menggeleng kepala.
"Tolong pijitkan kepalaku sedikit suster," keluar perintah dari mulutnya.
"Haa, mmm.. iya tuan," angguk Jovi.
Permintaan yang diminta Ernest, semakin membuat detak jantung Jovi berdegup 3x lebih cepat. Jovi belum terbiasa, apalagi dengan wanita lain.
Diduduk kan tubuh Jovi, disamping Ernest. Tangannya mulai berjalan, kearah kening laki-laki yang memiliki banyak sayatan luka.
"Coba kamu ambilkan obat saja, untukku suster," kata Ernest tiba-tiba merubah perintah.
"Ouh iya Tuan Ernest, baik saya akan ambilkan," jawab Jovi lega.
"Jangan banyak obat, satu satu," pintanya lagi.
"Ouh begitu, iya baik tuan," jawab Jovi segera pergi.
Jovipun beranjak pergi, mengambil obat pereda nyeri, di kotak obat yang sudah dikhususkan sebelumnya. Dia takut, jika Ernest mendengar percakapan Jovi ditelepon.
Perempuan itu telihat keluar, mengambil segelas air di galon, dekat mini bar rumah besar Ernest. Tanpa sengaja, Bik Yuni tersenyum sendiri, memandang Jovi berlari kecil ke arah kamar Ernest.
Suasana subuh pagi, masih amat terasa. Belum ada aktivitas, belum ada terdengar pekerjaan, didalam rumah mewah Toni Wijaya. seperti biasanya.
Lampu beberapa ruangan dirumah, juga masih mati. Tidak ada suara mesin mobil, dari arah garasi. Aktivitas asisten rumah tangga, membersihkan rumah, juga tak terdengar.
Jovi lalu kembali masuk ke dalam kamar.
"Ini tuan," Jovi menyodorkan obat dan segelas air putih.
"...................." Ernest diam.
Raut wajah Ernest menaruh kesal, terhadap suster barunya itu. wajahnya mengarah ke arah Jovi, memaling pergi. Jovi tersadar, Ernest memiliki luka patah tulang. Membuat Ernest, tidak bisa meminum obat sendiri.
Setelah telepon dari papa Jovi pada waktu subuh, apa yang dilakukan Jovi, semua terasa amburadul.
"Astaga, ma-maaf tuan..!! saya tidak bermaksud menyinggung tuan, saya bermaksud apa-apa," Jovi malah salah berucap.
"Eeh bukan tuan, maksudnya saya tidak bermaksud apa-apa, begitu tuan," Jovi mengulang.
Dirinya langsung menaruh segelas air putih, serta obat diatas meja.
"Hmmmm...," hanya itu gumam dari bibir Ernest.
"Saya lupa tuan, kalau tangan tuan, patah," kata Jovi gugup.
"Lain kali pakai kacamata silinder," sindir Ernest.
"Saya tidak minus tuan," jawabnya polos.
"Terserahlah," ucap Ernest dibuat kesal.
"Maaf tuan, saya tidak bermaksud membantah," jelasnya takut membuat kesalah pahaman.
Tangan kanan Ernest, jelas masih terlihat sedang di gips. Tapi Jovi tidak konsentrasi. Semua kacau, disuasana subuh pagi ini.
"Jovi.. Jovi... bodoh sekali., apa sih yang kamu pikirin Jov?," batin Jovi dalam hati, kesal pada dirinya sendiri.
Perempuan yang rambutnya sedikit amburadul, sebab tidur disofa. Membantu Ernest berbaju hitam, membangunkan diri.
Dibangunkan tubuh Ernest, secara pelan-pelan, berharap Jovi tidak mengulang kesalahan lagi. Ernest bangun, dia menyandarkan tubuh, diberi penyangga bantal, pada belakang badan.
Jovi mengambil lagi segelas air dan obat yang ada dimeja dan duduk disebelah Ernest
Diantara ibu jari dan jari telunjuk kanan ada obat yang akan diberikan ke Ernest, sedangkan tangan kiri Jovi membawa segelas air yang sudah diambil tadi.
Ernest menuntun tangan Jovi, memasukkan obat, yang berada ditangan perempuan tersebut. obat itu, masuk ke dalam mulut Ernest.
Bibir Ernest, menyapu lembut ibu jari dan telunjuk tangan kanan Jovi. Untuk masuk, ke dalam mulut Ernest. terasa lembut dan hangat.
Ditangan Jovi, saat obat itu diambil Ernest, menggunakan bibirnya. Menjadi begitu hangat. Tidak sengaja mendapati perlakuan itu, Jovi hanya menaruh pandangan mata kosong ke Ernest.
Tubuhnya panas dingin, Ernest mengambil obat di tangan putihnya menggunakan mulut. Beruntung Jovi segera tersadar, memberikan air putih ke Ernest.
"Ini tuan, air putihnya," beri Jovi segelas air.
"ya," ucapnya.
Ernestpun menyucup, sedikit air putih digelas, yang Jovi bawa. Setelah itu laki-laki berkemeja hitam, meminta Jovi, untuk mengembalikan Ernest ke posisi tidur seperti sebelumnya.
Dengan sabar dan lembut, Jovipun meng'iya'kan keinginan Ernest. Ditariknya selimut putih, menutup hangat tubuh Ernest kembali. Mata yang indah itu, mulai menutup lagi, ditengah fajar yang sudah mulai terbit.
"Matikan lampunya suster..!!," suruh Ernest.
"Baik tuan," ucap suster Jovi.
Jovi lalu keluar kamar, menghangatkan tubuh diluar ruangan, menyusuri bagian taman samping, yang belum pernah dilihat Jovi sebelumnya.
Terdapat banyak tanaman segar, digantung pada pot cantik. Beberapa tumbuhan besar di samping tembok rumah Ernest, juga terlihat terawat disetiap ujungnya.
Apalagi tanaman hijau, dan kandang burung milik Tuan Toni, semakin mempercantik kondisi taman.
"Aqila... Kakak rindu kamu" guman Jovi sendirian, duduk dikursi pelataran taman.
"Kapan semua ini berakhir Tuhan, aku pengen ketemu Aqila, adik kakak yang cantik, sabar ya sayang..," Jovi meratap sedih.
"Nanti sore kakak pasti pulang," lagi-lagi ia berkata sendiri.
Matanya memandangi, foto ia bersama anak kecil berambut lurus, tidak lain adalah Aqila. Butiran air mata terasa menetes dipipi putihnya, mengingat adik kecil Jovi yang bernama Aqila.
Lagi-lagi karena menuruti keinginan Fictor, Jovi harus mengalah untuk bisa bertemu keluarganya, membohongi Papa Jovi berkali-kali.
Meski dibebas tugaskan oleh pekerjaan sebagai sekertaris kantor, dirinya tetap ingin hidupnya kembali seperti biasa. Bertemu keluarga dan bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Tyo Fauzy
masihhhh penasaraannn kaakkk siiipppp
2021-03-19
0
Iklima kasi💕
sabar y jovi...
2020-07-29
0
Sinciho Grendly
suka bgttt
2020-07-14
0