"Teeeett.. teeeett.. teet.."
Suara bel perusahaan menandakan jam istirahat sudah selesai.
Jovi memandang lagi, jarum jam diatas pintu ruangan, kali ini sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Mengembalikan suasana diluar kantor menjadi hening.
Karena ada Ernest, yang meminjam pundaknya sebagai sandaran tubuh. Kepala perempuan cantik itu, hanya berani memutar sedikit, menengok bungkusan makanan ditepi meja.
Sudah hampir 15 menit, pundak Jovi menopang tubuh Ernest. Kadang nafasnya memburu hebat, karena lelah menahan di pundak.
Tapi sayangnya, lagi-lagi Jovi tidak berani untuk memindahkan tubuh Ernest. Karena selesai merasakan rasa gatal, dan baru saja mereda ditubuh.
"Aaiihhh......," suara Ernest memecah keheningan.
Nampaknya, hanya rintihan tidak sadar Ernest. Jovi menengok kembali, laki-laki yang tidur dipundaknya itu. Ruam merah diseluruh tubuh Ernest, sama sekali tidak mengempis ataupun membaik.
Tangan Ernest, yang terkulai lemas diatas paha Jovi, dipegang lagi oleh Jovi. Sekarang bekas luka sudah kering ditangan, malah bercampur rata dengan bentol-bentol merah.
Jemari lentik Jovi, membelai lembut tangan Ernest. Otot-otot timbul dilengan tubuh Ernest, semakin terlihat gagah pada pandangannya. Diusap halus tubuh gatal Ernest, agar semakin nyenyak istirahat.
"Tuan Ernest, kesalahan apa yang aku lakukan ? sampai membuat tubuh Tuan bisa sampai seperti ini? Bagaimana nanti jika Tuan Toni tahu," lamunan Jovi berjalan-jalan khawatir.
"Ya Tuhan, semoga ruam gatal ditubuh Tuan Ernest segera pergi..!! sebelum nanti kita berdua balik ke rumah"
"Kreeeeekkk......"
Suara pintu ruang direktur utama dibuka.
Suara pintu, membuat Jovi tersadar dari lamunan. Mata indah itu melirik ke pintu berwarna coklat tua model minimalis, ternyata ada seseorang.
Tampak sosok laki-laki, tubuh tinggi 180cm, berwajah lonjong, mengenakan kacamata, dan jam tangan coklat pada lengan kiri. Jass putih serta sepatu kerja hitam, bisa ditebak Jovi jika itu adalah Dokter Edo.
Jovi gelagapan, memperbaiki posisi duduk, serta rasa ingin membangunkan Ernest, karena merasa tidak enak. Ada dokter dari rumah sakit datang, Ernest justru tidur dipundak Jovi.
Perlahan tapi pasti, langkah pria itu berjalan pelan, menghampiri Jovi dan Ernest. Memberi isyarat pada Jovi, jangan membangunkan Ernest dahulu.
"Selamat siang Dokter Edo, Tuan Ernest masih tidur," Jovi sedikit mengernyitkan dahi seperti tidak asing.
"Siang juga suster, nggak papa biarkan dulu saja," kata Dokter Edo duduk dikursi depan Jovi.
"Baik dok."
"Bagaimana kondisinya?," tanya dokter.
"Beberapa jam yang lalu, gatal ditubuh Tuan Ernest menjadi-jadi.. kemudian saya berikan rivanol untuk mendinginkan rasa gatal dokter." jelas Jovi
"Alhamdulilah sedikit manjur, meski sebetulnya agak nggak nyambung hehe," imbuhnya bahagia.
"Nggak papa, yang terpenting bisa meredakan dulu, rasa gatalnya Pak Ernest," Dokter Edo memandang tubuh Ernest yang penuh warna kuning.
Nampaknya, Dokter Edo tidak menyadari kehadiran Jovi. Sementara, lain dengan Jovi, yang lebih dulu menyadari kehadirannya.
Dokter tersebut, sangat begitu familiar Di mata Jovi. Ketika saat Jovi, melaksanakan PKL di rumah sakit Wijaya. Edo juga sering menjadi dokter tamu, dikampusnya Stikes Wijaya.
Suara Jovi dan Dokter Edo, perlahan mulai menyadarkan Ernest, dari istirahat singkatnya dipundak suster barunya tersebut.
Setengah sadar, Ernest membuka perlahan kedua mata, melihati Jovi yang berada disampingnya. Tubuhnya sedikit menjauh setelah tau, jika Ernest sedari tadi, menumpang tidur pada pundak Suster Jovi.
"Pak Ernest, sudah bangun," sapa Dokter Edo.
"Oh Dokter Edo, sudah lama disini?," Ernest tersenyum.
"Iya, saya baru sampai.. bagaimana kabarnya? apa yang terjadi?," tanya dokter.
"Kabar saya baik dok.. Ini dokter, tubuh saya tiba-tiba gatal-gatal.. rasanya seperti terbakar dan panas."
"Coba, bisa saya periksa," pinta Dokter Edo.
"Silahkan dokter," Ernest mempersilahkan.
"Bagaimana kabar papa Pak Ernest..? sudah lama saya tidak bertemu beliau."
"Papa dirumah, kemarin sempat berangkat keluar kota untuk menyelesaikan tander proyek di balik papan.. tapi malah balik lagi haha," tawa Ernest renyah.
"Hahaha.. saya tebak, beliau khawatir dengan anda, maklum Pak Ernest putra kesayangan beliau satu-satunya."
"Hehehe.. barangkali begitu." Ernest manggut-manggut.
Keakraban Dokter Edo dan Ernest, semakin memperlihatkan jika Edo memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Wijaya.
Dua laki-laki didalam ruangan, berhasil mengentas suasana kantor yang tadinya sepi, menjadi ramai. Gelak tawa keduanya, kadang juga terdengar.
Berada disitu bersama Ernest dan Edo, perempuan cantik tidak lain Jovi, hanya ikut tersenyum memandangi percakapan sederhana mereka.
Sebelum akhirnya, Jovi beranjak dari sofa, karena Dokter Edo meminta Ernest membaringkan tubuh di sofa.
Stetoskop dari dalam jass putih, keluar menancap pada kedua telinga laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu. sementara, alat berbentuk bulat mengecek detak jantung, pada tubuh Ernest.
Sesekali terlihat, raut wajah dokter Edo sedang mengernyitkan dahi, membiarkan kembali, mengernyitkan lagi, begitu terus.
"Sudah Pak Ernest," Dokter Edo melepas stetoskop dari telinganya.
"Detak jantung anda normal, tidak ada yang aneh.. saya melihat tidak ada luka aneh disekitar gips Pak Ernest," ucapnya sambil berdiri.
"Iya, gips ditangan saya tidak gatal," Ernest membangunkan diri.
"Ruam gatal ditubuh Pak Ernest karena alergi seafood yang bapak miliki.. nampaknya udang atau lobster sudah bapak konsumsi.. beberapa jam tadi," jelas dokter.
"Udang?," Ernest memandang Jovi.
"Hah udang?," wajah Jovi sangat takut.
"Berarti tadi saya tidak sengaja mencampurkan udang yang sama-sama dimasak bumbu teriyaki tuan, maaf Tuan Ernest."
"Ahh kamu? makanya lain kali kamu tanyakan apa yang belum kamu ketahui, saya ini alergi seafood suster, khususnya udang."
"Ma-maaf tuan, saya belum tau.. saya janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama tuan."
"Sudahlah Suster Jovi.. itu bukan sepenuhnya kesalahan kamu."
"Lain kali, kamu tanyakan pada Bik Yuni, apa yang bisa saya konsumsi dan tidak. Tadi rasanya, saya seperti ingin mati saja. tubuh panas gatal campur perih," Ernest menyesali.
Jovi mendiami Ernest tanpa berani menjawab. Terlihat dari raut wajah Ernest, sangat ingin mengeluarkan amarah. Muka merah padam disertai diam, semakin meyakinkan Jovi, jika Ernest marah padanya.
Namun semua berubah, ketika Ernest menyadari bahwa Jovi baru bekerja belum lama. Ernest lebih memilih diam.
Mendengar Ernest, memanggil susternya bernama Jovi. Kepala Dokter Edo mengarah ke arah perempuan, yang berdiri disampingnya, tengah meremasi tangan tersebut.
Rambut panjang gadis itu, kembali mengingatkan Dokter Edo, pada salah satu mahasiswa bernama Jovi, alumni Stikes Wijaya.
"Jovi? Jovi Andrianita??," ucap dokter.
"Ha....," Jovi menoleh ke arah Dokter Edo.
"Kamu Jovi yang dulu kan?," Dokter Edo sangat kaget mendapati Jovi disebelahnya.
"Iya Dokter Edo," jawabnya.
"Bagaimana kabar kamu? sudah lama, Dokter nggak pernah ketemu sama kamu setelah kamu lulus."
"Baik Dokter Edo," Jovi sangat malu.
"Saya baru sadar kalau daritadi ternyata itu kamu," Dokter Edo nampak bahagia dengan pertemuan itu.
"Iya Dokter, tadi saya seperti kenal dokter, tapi saya tidak berani menyapa."
"Jovi.. Jovi.. kamu masih cantik saja dan tetap lembut seperti dulu haha." puji Dokter Edo.
Jovi tersenyum.
Tawa Edo dan senyum Jovi, seolah memberi isyarat. Jika dulu mereka pernah berhubungan baik. Dokter muda berkacamata tersebut, paling mengingat Jovi, sebagai alumni mahasiswi tercantik Stikes Wijaya.
Karena Jovi lah, salah satu teman Dokter Edo yang berprofesi sebagai Dokter poli, bedah di rumah sakit lain. Bernama Nalen sangat menggilai Jovi.
"Bagaimana kabarnya Ola teman kamu ? Oh ya kamu dicari Nalen haha," tanya dokter lagi.
"Baik Dokter hehe," jawabnya.
"Sudah masa lalu dokter," Jovi menunduk malu membahas Nalen.
"Kamu kerja disini ? kenapa kamu bisa jadi suster Pak Ernest ? bukannya dulu kamu sudah lolos test tulis dan interview saat perekrutan di rumah sakit Wijaya ya Jov?,"
"Loh, kamu dulu pernah ikut rekrutmen rumah sakit wijaya? Apa kamu juga termasuk calon perawat yang sudah lolos, tapi tidak datang bersama puluhan anak-anak ?," Ernest menambah pertanyaan pada Jovi setelah Edo.
"Iya Pak, Jovi ini malah dulu yang saya gadang-gadang sebagai perawat andalan.. karena dia praktek dan teori kesehatannya pintar."
"Kamu benar-benar ikut rekrutmen itu suster?," Ernest menatap tajam.
Kedatangan Dokter Edo, membuat Ernest berpeluang, menanyakan hal yang selama ini dia selidiki, bersama papa tercintanya. Untuk mencari siapa dalang, dari kejadian 4 tahun silam.
Detak jantung Jovi, terasa seperti sedang berhenti, mendapati pertanyaan seputar masa lalu perekrutan dirumah sakit Wijaya. Kakinya gemetaran, pertanyaan itu mengambil seluruh stok nafas, didalam paru-paru Jovi.
Keringat Jovi beruntusan, rasanya dia telah masuk ke dalam kandang singa buas. Sedang mencari mangsa, untuk memakan daging segar dari tubuhnya. Mulut Jovi tiba-tiba kaku, saat akan menjawab semua pertanyaan itu.
"*Kreeekkkk...."
Seseorang masuk kedalam ruangan kembali*.
Bukan sosok lain, ternyata Meghan datang dari luar, dan masuk ke dalam ruangan. Akhirnya Jovi bisa bernafas lega.
"Ernest, bagaimana keadaan kamu? tadi aku melihat Dokter Edo masuk kesini, dan maaf aku baru bisa kesini," ucap Meghan.
"Kamu kenapa? kenapa kamu tidak memakai baju? tubuh kamu kenapa merah semua? ini pasti alergi seafood," Meghan mencerca banyak pertanyaan.
"Iya Meg, Pak Ernest alergi seafoodnya muncul, setelah kelihatannya tidak sengaja memakan udang," Dokter Edo memberitahu.
"Sudah bukan urusan dia lagi dok, ada suster Jovi yang lebih tau kondisi saya," Ernest membuang muka, dari Meghan yang duduk disampingnya.
"Terimakasih Dokter Edo, sudah datang kesini untuk membantu Ernest," Meghan tersenyum manis.
Hanya anggukan kepala dari dokter berkacamata tersebut.
"Saya jadi ingat, dulu sepulang meeting dari Jogja. Ernest gatal-gatal hebat dan itu saya masih jadi sekertaris baru Ernest, lalu saya gugup dan menelpon Dokter Edo yaa," kenang Meghan tersenyum.
Saat kejadian bersama Ernest, sepulang meeting beberapa tahun lalu.
"Hehehe kamu gugup sekali pada waktu itu," Edo juga tersenyum.
"Iya dok, apalagi waktu itu saya ingat banget, dokter suruh ngasih obat pereda nyeri yang dibawa Ernest, tapi saya nggak berani dan udah parno dulu," Meghan tak henti membanggakan diri.
"Heem," Dokter hanya mengangguk-angguk.
Jenuh mendengar omong kosong Meghan. Ernest memanggil Jovi.
"Suster Jovi, tolong pakaikan kemeja saya lagi, habis ini kita pulang," Ernest memanggil Jovi.
"Aku saja ya Ernest," pinta Meghan memelas.
"Nggak usah.. nggak usah..," Ernest menolak tangan Meghan yang ingin membantunya.
Melihat kondisi ruangan yang sudah tidak nyaman, Dokter Edo lalu pamit meninggalkan ruangan. Dokter muda tersebut berkemas, untuk segera pergi.
Baru-baru ini Dokter Edo belum tau, jika Meghan sudah dipindah bagian, dan sudah tidak lagi menjadi sekertaris Ernest
"Baik Pak Ernest, nanti saya akan berikan resep untuk dikirim kerumah.. begitu saja ya," ucap Dokter Edo.
"Baik baik.. Dokter Edo saya terimakasih banyak, anda sudah kesini," Ernest memberi senyum.
"Sama-sama, salam juga untuk Tuan Toni, papa anda," katanya.
"Baik dokter, siap."
Dokter Edo pun lalu menjabat tangan laki-laki tampan, CEO PT terbesar dikota surabaya tersebut.
"Jovi.. mari," Dokter Edo tersenyum.
"Iya dokter, terimakasih banyak," kata Jovi.
Datangnya Meghan ke dalam ruangan, menjadi angin segar bagi Jovi. Akhirnya Jovi bisa lolos, dari pertanyaan yang mencekik leher putihnya tersebut.
Syukurlah, Meghan yang dirasa Jovi cantik, datang pada waktu yang tepat. Jika tidak, semua bisa mengirim Jovi pada jeruji penjara kepolisian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Iklima kasi💕
kalau nanti si jovi ketauan gimana ya😵😵😵
2020-07-29
1
Li Na
nyicil absen😍
2020-06-21
0
Nineng Oneng
penasaran,,,
2020-06-19
0