Flash Back On.
Sore itu langit gelap karena awan mendung yang menggulung. Angin sepoi-sepoi bersemilir dengan tenang, namun hawanya sangat dingin menusuk tulang.
Kak Bram mengajak Siya untuk bertemu dan ngopi di cafe yang biasa. Awalnya Siya merasa enggan. Bukan karena apa. Siya hanya tak ingin ia bersikap seakan memberi harapan jika ia mau begitu saja setiap kali Bram mengajaknya bertemu. Namun Bram yang mengatakan ia hanya ingin pamit dan akan pergi, membuat Siya setuju dan bersedia. Biar bagaimanapun, hubungan mereka sangat dekat selama ini.
"Kak Bram sudah lama nunggunya?" Siya yang baru datang langsung menyapa Bram dan duduk di kursi berhadapan dengan Bram. Siya baru keluar dari tempat kerjanya yang berhadapan dengan cafe.
"Tidak, baru juga." jawab Bram bohong. Padahal dia sudah disana sejak 2 jam yang lalu. Karena dari tempat duduknya itu, Bram bisa melihat Siya yang mondar-mandir di lantai 2 tempat kerjanya. Dan itu sudah sering Bram lakukan. Sebuah pemandangan yang tak membosankan.
"Apa tadi begitu sibuk?" Bram bertanya, ia melihat Siya yang bolak-balik saat bekerja tadi.
"Iya Kak. Kami ada pesanan baju seragam buat sekeluarga pengantin bulan depan. Dan Siya yang harus mengecek semuanya." jawab Siya lesu.
"Kamu pasti sangat lelah sekarang?" Bram selalu bersikap lembut pada Siya. Dan memberikannya perhatian lebih. Itulah yang paling Siya suka dari Bram. Ia menemukan sosok seorang Kakak pada diri Bram.
"He em!" Siya mengangguk dan memanyunkan bibirnya. Membuat Bram tertawa karena gemas.
"Kak Bram tadi bilang mau pamit? Memangnya Kak Bram mau kemana?" Siya mulai obrolan pada inti pertemuan mereka.
"Kakak mau ke Paris."
"Paris? Kenapa?"
"Kakak ingin melanjutkan impian Kakak menjadi seorang Designer perhiasan, Siya. Itu usaha yang dirintis Papahku di negara Perancis." jawab Bram.
"Jadi Kakak akan pergi lama?"
"He em!" Bram mengangguk dan tersenyum manis.
"Siya?"
"Iya Kak?"
"Ini lagi musim hujan, besok-besok lagi, jangan lupa bawa jaket ya?" Bram melepas jaket yang dikenakannya, lalu ia berikan pada Siya yang terlihat menahan hawa dingin.
Siya tersenyum manis menerima jaket Bram.
"Udah berapa banyak jaket Kak Bram di kamar Siya? Besok Siya bawakan semua jaketnya, kita ketemu disini lagi ya Kak? Sebelum Kakak pergi."
Bram tertawa.
"Tidak usah, kamu simpen saja, semuanya buat kamu."
"Tapi kak?"
"Udah gak pa-pa. Kakak cuma minta satu sama kamu sebagai gantinya."
"Apa kak?"
"Buku novel kamu buat Kakak ya? Kakak menyukainya, itu buku lama, jadi sudah tidak di produksi lagi. Kakak mau beli juga tidak tahu dimana belinya"
"Sebenarnya itu punya ayah. Siya juga suka dengan buku itu. Tapi tidak apa-apa buat Kak Bram. Nanti Siya bilang sama ayah." jawab Siya jujur.
"Makasih ya Siya?"
Semua terlihat tenang dan damai hari itu. Bahkan sampai ke-esokan harinya. Saat Bram sudah berada di bandara. Siya masih menerima panggilan video dari Bram. Mereka masih bercanda, sebelum Bram akan melakukan penerbangan.
Saat Siya dan Bram melakukan panggilan video.
"Kak Bram sudah di bandara?"
"Iya, ini Kakak sedang berjalan menuju pesawat."
"Hati-hati ya Kak? Nanti kalau sudah sampai. Jangan lupa kabari Siya ya? Terus Kak Bram juga udah janji mau tunjukkan Siya menara Eiffel. Terus Kak Bram juga__." Siya terus bicara hingga membuat Bram tertawa terpingkal.
Flash Back Off.
'*Bukankah semuanya saat itu baik-baik saja Kak? Lantas kenapa kamu bisa memutuskan untuk mengakhiri hidupmu sendiri? Kapan kamu melakukannya? Dan kenapa*?'
Siya berdiri di dekat jendela kamarnya, melihat pemandangan luar sana yang terlihat terang, matahari bersinar cerah.
Siya terus memikirkan kejadian-kejadian masa lalu bersama Brahmana saat ia tengah melamun seorang diri di kamarnya.
'*Kenapa kamu harus mengakhiri hidupmu, Kak? Kenapa? Bukankah kamu ingin melanjutkan impianmu untuk menjadi seorang designer perhiasan terbaik di dunia. Lantas kenapa*?'
Begitu banyak pertanyaan yang sedang berputar di kepala Siya. Meski ia menolak cinta Bram. Tapi hubungan mereka sangat baik setelah itu. Dan Bram juga terlihat baik-baik saja.
"Kak Bram tak lagi menghubungiku setelah ia naik pesawat ke Paris. Bahkan ponselnya tak lagi bisa ku hubungi setelah itu. Padahal dia sudah berjanji akan memberiku kabar. Apa mungkin sesuatu terjadi saat Kak Bram naik pesawat?" Siya mengingat-ingat dan menebak.
Sangat sulit untuk bisa terlepas dari cengkraman Mahendra. Jika dia tak bisa kabur. Maka, mungkin jika Siya bisa membuktikan dirinya tak bersalah. Dan Kak Bram bunuh diri bukan karena dirinya. Mahendra akan melepaskannya.
"Aaaahhhh?" Siya berteriak kesal. Ia tak menemukan jawaban apapun dari pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
'*Tok tok tok*!' suara pintu yang diketuk membuyarkan Siya dari lamunan. Ia pun melangkah membuka pintu kamarnya.
"Nona?"
"Lim?"
Siya melupakan jadwalnya. Dan sekarang Lim sudah datang menjemputnya.
"Aah? Lim, aku lupa?"
Lim melirik jam di tangan kanannya.
"10 menit, cepatlah." ucap Lim.
"Iya iya?." Siya mengangguk dan lekas berhambur dari hadapan Lim.
"Makan siangnya dimana Lim?" Siya membuka obrolan saat mereka tengah dalam perjalanan. Siya duduk di jok belakang dan Lim di jok kemudi. 2 mobil pengawal menyertai mereka. Satu di depan. Dan satu lagi di belakang.
"Di perusahaan Tuan Mahend, Nona." jawab Lim.
"Jadi kita akan ke perusahaannya? Bukan ke Restoran?"
"Iya, Nona"
"Kenapa kamu gak bilang? Masa aku ke kantor dengan dress begini?" Siya protes. Ia mengenakan dress panjang lengan pendek. Sopan. Tapi terlihat mewah jika dipakai ke gedung perusahaan.
"Apa Nona ingin ganti baju? Kita bisa pergi ke Mal untuk mencari baju yang anda inginkan. Tapi jangan membuat masalah. Ingat Silvi dan ayah anda." Lim menjawab serta memperingatkan.
"Itu akan memakan waktu yang lama, Lim. Aku tidak mau mas Mahend sampai marah dan kembali menghukumku. Aku lelah!"
Lim pun mengangguk, jawaban yang bijak dari Siya.
Setelah hampir 20 menit, mobil yang Lim kendarai mulai memasuki latar depan sebuah gedung tinggi, mewah, dan menjulang. Perusahaan seorang Mahendra Addison Wijaya.
Lim membukakan pintu, Siya keluar, para bodyguard sudah berbaris seolah memberikan pengamanan.
Setiap orang yang melihat Siya dan Lim berjalan, mereka berhenti dan menundukkan kepala sebagai penghormatan.
Siya berjalan di belakang Lim. Kini mereka berdiri di depan lift, lift khusus yang hanya digunakan oleh Mahend dan Lim.
Lim menekan tombol lift hingga pintunya terbuka.
"Mari Nona!" Lim mempersilahkan Siya untuk masuk terlebih dulu.
"Mereka hanya berdua di dalam lift, karena para bodyguard menggunakan lift yang lain.
"Lim?" Siya membuka suara.
"Iya Nona?"
"Apa ada kemungkinan aku untuk bisa pergi dari mas Mahend?"
Lim menoleh menatap Siya dengan mata yang membulat lebar. Lim hanya diam. Ia tak berani menjawab.
"Aku sangat mencintai mas Mahend, Lim. Tapi caranya memperlakukanku menunjukkan jika dia tak pernah memiliki rasa padaku, mas Mahend hanya menjadikanku sebuah bidak permainannya. Objek balas dendamnya. Aku tidak kuat Lim. Aku lelah." Siya mengutarakan isi hatinya pada Lim. Meski Lim hanya diam tak menanggapi. Siya tak peduli. Siya tahu, itu karena Lim yang takut dengan Bos nya yang kejam itu. Seorang Mahendra Addison Wijaya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
antha mom
buanglah jauh-jauh cintamu ke mahend Siya,, pergilah dari mahend biar dia tau arti kehilangan, balas dendam tanpa menyelidiki kebenaran nya,,
2022-11-16
1
Iga Wahyusari
teruslah berkarya thor 👍❤❤❤
2022-01-19
3
Rhita Tanan
jangan bodoh Siya cintamu itu yg menyiksamu sendiri lebih baik kau pikirkan cari cara pergi dari Mahendra yg jelas2 tdk mencintaimu ...jangan di butakan dgn cintamu...
2022-01-18
2