Mahend menindih tubuh Siya yang terduduk di sofa, tangan kirinya mencengkeram kuat leher Siya, dan tangan kanannya meremas dada Siya. Siya mendongak dan memejamkan mata.
"Apa yang kau cari?" suara Mahend pelan, namun tegas dan penuh penekanan.
"Pe_tun_juk." jawab Siya terbata.
tersungging senyum sinis di sudut bibir Mahend saat Siya begitu terang-terangan mengatakan tujuannya.
"Kau sangat berani Siya? Saking beraninya sampai kau tak merasa bersalah meski satu nyawa melayang karena keangkuhanmu?"
Siya membuka mata, menatap tajam Mahend yang berada tepat di hadapannya.
Mahend tak kuasa mengendalikan diri. Ia menautkan bibirnya pada bibir Siya, Siya mengerjap mendapat serangan yang tiba-tiba.
"Eemmpph??"
Mahend terus mengeksplor bibir Siya, menautkan, membelit lidah, menyesap, melu.m.at dan menggigit kecil.
Siya menggelengkan kepala mencoba melepaskan tautan itu, ia tak mendapat cukup oksigen memasuki paru-parunya.
"Aaahh? Haahh haahh haahh?"
Mahend tersenyum Smirk setelah ia melepaskan tautan bibirnya pada Siya.
Dada Siya naik turun karna nafasnya yang tersengal dan memburu.
Mahend menghentikan aksi nakal tangannya. Ia bisa merasakan jika bagian tubuh Siya yang ia remas sejak tadi itu mulai keras dan menegang.
"Murraahan!." ucap Mahend lantang tepat di hadapan Siya. Satu kata hinaan yang membuat batin Siya serasa tercabik-cabik. Sungguh sakit. Ketika orang yang kita cintai menganggap kita tak lebih berharga dari wanita panggilan.
Mahend mundur, turun dari tubuh Siya. Air mata Siya menetes lewat sudut-sudut sendunya. Ia tak membalas ucapan Mahend yang menghina harga dirinya. Siya hanya menunduk. Menikmati perih yang merintih menghancurkan seluruh sanubari.
"Pergi." Mahend mengusir Siya. Tapi Siya tak bergerak. Sorot matanya tajam dan hampa. Hampir tak berkedip.
"Apa kau dengar apa yang kukatakan?" Mahend sudah berteriak begitu kencang di hadapan Siya, hingga__
'Plaaakk?'
Satu tamparan keras mendarat di pipi Mahend. Mahend membulatkan mata, tak menyangka ia akan menerima sebuah tamparan dari Siya.
Mahend menoleh, rahangnya mengeras, matanya merah dan gigi-giginya beradu.
"Berrani Kaauuu??" Mahend mendorong tubuh Siya sambil mencekik lehernya kuat. Siya mundur atas dorongan Mahend. Tubuhnya membentur dinding dengan keras.
"Aaahh??"
Siya hanya memejamkan mata, dahinya mengernyit, tangannya mengepal menahan sakit yang teramat sangat.
"Aaahh?" Mahend melepas kasar cekikan tangannya di leher Siya. Ia masih bisa berpikir jika ia tak berhenti, maka Siya bisa mati.
'Uhuuk uhuk uhuk. Haahh haaahh haahh!'
"Aku tidak bersalah, Mas? Aku tidak bersalah?" suara Siya terdengar lirih.
Mahend menoleh.
"Apa kau sudah paham sekarang?" Mahend mendongakkan kepala Siya, mengangkat dagunya.
"Aku tidak bersalah. Cinta memang tak bisa dipaksa."
"Plaakk?" Mahend menampar pipi Siya.
"Dengar?" kini Mahend sudah mencengkeram kerah baju Siya.
"Kakakku mengakhiri hidupnya karena keangkuhanmu, kau membuat keluargaku hancur Siya? Mamah ku harus kehilangan Papahku. Apa kau tahu seberapa besar kesalahanmu?" Mahend berteriak begitu kencang.
Balas dendam ini mulai menemui titik awal pertama. Siya mengingat pria yang terus mengejarnya dulu dengan melihat buku novel yang tergeletak di atas meja kerja Mahend.
Itu adalah sebuah buku novel lama milik Siya, milik ayah Siya tepatnya. Dan Bram meminjam buku itu sebagai alasan pertama ia mendekati Siya.
"Apapun yang terjadi pada kalian. Itu bukanlah salahku, Mas? Kenapa kau menyalahkanku?" Siya pun berteriak melakukan pembelaan.
"Diam kau Siya?" Mahend mengeraskan suaranya berteriak sangat kencang sampai urat-urat lehernya menonjol keluar.
"Pergi kau dari sini?" Mahend menarik rambut Siya, membawa Siya keluar dari ruang kerjanya.
"Aaahh? Mas? Sak-kiit??"
'Buurghh'
Tubuh Siya jatuh bersimpuh di lantai depan pintu yang terlihat seperti dinding tadi.
'Hiks hiks hiks?.'
Siya menangis, Mahend benar-benar sangat kejam menyiksa Siya tanpa belas kasih.
'Kemana cinta yang kau tawarkan dulu padaku, mas?'
...****************...
Flash Back On.
"Maaf ya? Aku belum selesai membaca bukunya. Jadi masih belum kukembalikan.?" Bram menemui Siya yang tengah ngopi di sebuah cafe depan tempat kerjanya.
Di tempat itulah Bram dan Siya dulu pertama kali bertemu.
"It's okay lagi, Kak? Santai aja. Siya udah selesai kok bacanya. Jadi Kakak nikmati saja!." jawab Siya sambil tersenyum manis dengan nada suaranya yang ceria.
Setiap hari Bram selalu datang ke cafe itu, dan saat Siya datang, ia langsung mendekatinya. Mereka hampir setiap hari bertemu, ngopi bersama dan ngobrol ringan. Meski hanya 20 atau 30 menitan.
Hingga pada sore itu. Langit sangat mendung karena gulungan awan hitam. Siya baru keluar dari tempat kerja. Ia biasa pulang naik ojek onlin. Dan Siya berdiri di tepi jalan depan tempat kerjanya menunggu ojek yang sudah ia pesan.
Titik-titik air hujan mulai jatuh dari langit, Siya sebenarnya suka dengan hujan. Tapi ia memiliki alergi jika terkena air hujan lama, Siya akan demam dan pilek.
"Aduh? Mang ojek lama banget sih? Mana udah mau ujian lagi?" Siya melihat ke atas langit, titik-tituk hujan berjatuhan semakin kerap.
'Ciiitt.'
Sebuah mobil berhenti di dekat Siya yang berdiri di tepi jalan. Kaca pintu mobil itu terbuka.
"Kak Bram?"
"Ayo masuk. Biar ku antar pulang?"
Siya nampak berpikir. Ia sudah memesan ojek onlin tapi belum datang juga. Dan gerimis mulai turun.
"Apa tidak merepotkan?" Siya sedikit berbasa-basi. Ia sebenarnya sungkan.
"Tidak? Ayolah!." Bram tersenyum sangat manis. Sambil menggerakkan kepalanya agar Siya lekas masuk.
Siya pun akhirnya membuka pintu mobil dan duduk di samping Bram yang tengah mengemudi.
"Rumah kamu dimana?"
Siya menyebutkan satu alamat, sepanjang jalan mereka saling ngobrol receh seperti biasa. Gelak tawa Siya dan Bram terus bersahutan. Mereka sangat nyambung.
'Ciit?.'
Mobil Bram telah sampai di depan rumah Siya. Siya turun. Hujan sudah mengguyur bumi dengan deras.
"Kak? Makasih ya?"
"It's okay, Siya?"
"Kakak gak mampir dulu?" suara Siya hampir tenggelam dengan suara derasnya hujan. Siya memegangi tasnya dengan kedua tangan yang ia jadikan sebagai pelindung kepala dari guyuran hujan. Padahal itu percuma juga. Badannya sudah basah semua.
"Gak usah, lain kali aja? Kamu buruan masuk! Jangan terlalu lama kena hujan? Nanti kamu sakit?" teriak Bram pada Siya.
Siya mengangguk dan melambaikan tangan. Gerak bibirnya mengatakan selamat tinggal. Dan Bram juga membalas melambaikan tangan pada Siya. Senyum Bram merekah menyiratkan bahagia di hati yang tiada tara.
Cinta sederhana yang tumbuh di hati Bram itu kini menjadi mala petaka pada hidup Siya.
Flash Back Off.
...****************...
Siya menangis di dekat jendela kamar, ia mengingat rangkaian peristiwa demi peristiwa masa mudanya dulu yang mengenal seorang pria tampan bernama Brahmana.
"Kak Bram? Kenapa harus seperti ini? Kenapa kamu harus mengakhiri hidupmu, Kak? Dan kini aku yang harus menanggung semua derita atas kemarahan Adikmu? Hiks hiks hiks."
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Ursula Ursula
dasar siya bodoh namanya dendam mana ada cinta, berarti cintanya Palsu dasar bodoh gx bisa mengerti
2023-03-14
0
Tatiastarie
bunuh diri nya knp? berarti bukan siya dong
2022-09-29
0
Elsa Naila
makin rame crt y
2022-01-25
0