"Kau bilang tadi jika saat di pos 6 cuaca sangat panas, kenapa malamnya saat hendak summit tiba-tiba turun hujan?" Al menyela cerita Siya yang sedang menceritakan padanya pengalaman sewaktu naik gunung.
"Memang cuaca di gunung itu tidak bisa di prediksi, Jagoan? Sebentar cerah, sebentar lagi hujan. Makanya sebelum berangkat, kita harus menyiapkan semuanya dengan sangat baik. Dari daya tahan tubuh, dan juga semua barang perlengkapan." Siya pun menjelaskan yang menjadi kebingungan di benak Al.
Siya dan Al semakin dekat, mereka kini tengah berbaring sambil berpelukan di atas ranjang tidur Siya. Menikmati sore tanpa udara luar.
'Tok tok?.' pintu kamar Siya yang terbuka di ketuk oleh Lim.
"Tuan muda? Anda di tunggu papah di kamar."
"Papah?."
Lim mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, kita lanjut lagi ceritanya nanti, sekarang, Jagoan harus menemui Papah dulu, sana pergi."
"Okay, bye Siya."
"Bye?" Siya melambaikan tangannya, memberikan senyum termanis saat Al melangkah keluar dari kamarnya. Alvaro anak yang sangat penurut kepada Mahend sang Papah.
"Lim?" Siya turun dari ranjang dan menghentikan Lim yang hendak pergi.
"Kau bertemu dengan Silvi. Bagaimana kabarnya Lim?" Nada suara Siya bergetar, ia gugup, takut jika Mahend tiba-tiba datang, tapi ini kesempatan untuk Siya menanyakan kabar keluarganya.
"Silvi baik, Nona."
"Ayahku?"
"Dia juga baik. Mereka menanyakanmu, dan aku menjawab jika kau tengah pergi berbulan madu di sebuah pulau yang tak memiliki jaringan signal."
Siya mendengarkan antusias cerita yang Lim sampaikan.
"Nona, jangan buat masalah, Tuan Mahend tak pernah main-main dengan apa yang dilakukannya. Jika kau ingin keluargamu hidup dengan aman dan bahagia. Tetaplah menurut dan patuh kepadanya."
Siya gemetar, bahkan Lim pun mengingatkan hal yang sama. Dan Siya sudah membuktikan sendiri bagaimana kejam dan dinginnya suaminya itu.
"Saya permisi, Nona." Lim pergi, meninggalkan Siya yang tertutup kemelut dalam hatinya.
'Tuhan? Adakah jalan keluar dari semua ini? Jika Mas Mahend memang bukanlah jodohku, maka kenapa engkau pertemukan dan menyatukan kami? Aku bukanlah Siti Asiyah yang mampu tabah dan ikhlas bersanding dengan pria kejam macam raja Firaun.'
...****************...
Setelah makan malam. Siya masuk ke kamar, sebenarnya tadi Al meminta untuk tidur dengan Siya, agar dia bisa mendengarkan kelanjutan cerita petualangan Siya yang masih menggantung, namun Mahend melarangnya. Dan tentu Al sudah menurut.
"Nona?" Lim memanggil Siya saat ia hendak membuka handle pintu kamar.
"Ikutlah dengan saya."
"Kemana Lim?"
"Tempat rahasia, Nona."
'DEG.'
Siya masih mengingat betul satu tempat yang Lim sebut sebagai tempat rahasia itu, dimana waktu itu Lim membawa wanita bayaran dan Siya jatuh pingsan.
'Apalagi sekarang yang akan ia lakukan? Apakah ia tak pernah lelah terus menyakitiku?'
"Mari Nona." suara Lim membuyarkan lamunan Siya.
"Dimana mas Mahend sekarang, Lim? Apa dia sudah pergi kesana?"
"Tuan akan menyusul, Nona. Saat ini, ia tengah menidurkan Tuan muda di kamarnya."
'Manusia macam apa dia sebenarnya? Bertindak sangat kejam, tapi juga sangat lembut dan penuh kasih sayang saat bersama keluarganya?'
Siya pun mengangguk. Ia tak ingin membuat masalah. Silvi telah menjadi kartu ancaman bagi Siya agar tak melawan pada Mahendra.
...****************...
Lim membawa Siya pergi terlebih dulu. Siya sama sekali tak memberikan perlawanan. Matanya sudah tertutup kain hitam, tempat rahasia ini memang tak sembarangan orang yang tahu. Berada pada lantai paling atas di sebuah gedung perusahaan milik Mahendra tentunya.
"Maaf Nona, saya harus mengikat anda pada kursi ini, sesuai perintah Tuan Mahendra."
Lim dan Siya telah sampai di ruangan yang sama saat Siya pertama kali dibawa ke tempat rahasia ini, sebuah ruangan luas dengan nuansa gelap. Hitam dan coklat tua.
penutup mata Siya telah dibuka oleh Lim. Siya menatap pada satu kursi kayu yang berada di tengah ruang menghadap ke ranjang.
'Apa lagi yang akan dia lakukan?'
Siya memejamkan mata. Menghirup nafas dalam, mencari ketenangan. Dan ia akhirnya mengangguk. Jangan sampai Mahend melakukan hal buruk pada Silvi jika ia tak patuh.
Siya duduk pada kursi dan Lim mulai mengikat tangan dan tubuhnya.
'Tangannya sangat dingin.' Lim berkata dalam hati.
Sebenarnya Lim merasa sangat kasihan pada Siya yang selalu menjadi objek mainan Mahendra, Bosnya. Namun Lim sendiri tak bisa melakukan apa-apa untuk bisa membantu Siya. Apalagi, kuat dugaan jika Siya adalah penyebab kematian Bram yang gantung diri mengakhiri hidup. Bisa-bisa kepala Lim yang putus dari badannya jika Mahend tahu ia berusaha membantu Siya.
"Kau adalah wanita paling kuat yang pernah kutemui, Nona?" Lim memberanikan diri bersuara. Ia fokus mengikatkan tali tambang berwarna putih pada kedua tangan Siya lalu ia lingkarkan melilit tubuh, dada hingga perutnya. Dan terakhir kedua kaki Siya.
"Aku sendiri tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, Lim?" lirih Siya putus asa.
Lim mendongakkan kepala, menatap dalam manik Siya yang menatap hampa lurus ke depan tanpa titik yang pasti.
"Tolong jangan pernah berpikir untuk menyerah, karna itu memang tujuan mereka."
"Apa maksudmu, Lim?"
'Klek.'
Suara pintu yang dibuka sukses mengagetkan Siya dan Lim secara bersama.
"Tuan?" Lim lekas berdiri dan mundur dari hadapan Siya. Ia menunduk dan membungkuk.
Mahend menelisik kepada mereka berdua. Matanya seperti elang, yang menatap tajam, dan menaruh curiga pada siapa saja.
"Semuanya sudah siap, Tuan? Jika tidak ada yang anda butuhkan, saya permisi."
Lim membungkukkan badan, ia ingin lekas pergi. Ada rasa bersalah di hatinya pada Mahend karena telah lancang berbicara panjang lebar dengan Siya. Dan Mahend bisa menangkap itu.
"Kau tahu hukuman bagi seorang pengkhianat kan, Lim?" ucap Mahend dingin. Membuat Lim seketika menghentikan langkahnya.
"Tentu saja Tuan? Saya mengingat semuanya."
"Bagus, pergilah."
Lim membungkuk dan melangkah, keluar dari ruang itu sesuai perintah Mahendra.
'Pantas saja Lim begitu takut setiap aku menanyakan sesuatu padanya. Mas Mahend tak pernah memberikan ampunan pada pengkhianat, kalau begitu, aku tidak akan lagi mencari jawaban dari pertanyaanku dengan melibatkan orang lain. Aku harus bisa menemukannya sendiri.'
"Kau tahu ini tanggal berapa, Siya?" suara Mahend membuyarkan Siya yang tenggelam dalam lamunan.
Siya menggelengkan kepala. Dan Mahend hanya tersenyum sinis.
"Sekarang adalah tanggal 2 April. Seseorang berulang tahun pada hari ini. Apa kau sungguh tak mengingatnya?" Mahend masih menanyakan pertanyaan yang sama dengan nada suara mendayu.
"Aku tak mengingat ulang tahun seseorang pada tanggal ini, Mas?"
"Ha ha ha ha? Jawaban yang salah, Istriku Siya?"
Mahend melangkah, ia mendorong sebuah meja roda yang sudah Lim siapkan sebelumnya.
Terdapat sebuah kue ulang tahun berukuran sedang, lengkap dengan lilin, korek dan pisau di sampingnya.
"Kau mau merayakannya bersamaku?" tanya Mahend basa-basi.
"Jika kau memintanya, dengan senang hati aku turut merayakan."
"Ha ha ha ha. Kau mulai pintar bermain kata-kata, Siya?."
Mahend meraih korek api lalu memantiknya, menyalakan lilin itu.
"Nyanyikan lagu ulang tahun."
Tanpa bertele-tele. Siya pun mulai membuka suara menyanyikan lagu selamat ulang tahun, meski ia tak tahu siapa yang sedang ulang tahun, ia hanya menurut saja dengan apa yang Mahend perintahkan, Siya tak ingin menanyakan ataupun mempermasalahkan.
Yang jelas. ini bukanlah hari ulang tahun Mahend. Atau pun Al, karena Siya menghapal ulang tahun keduanya.
Mahend bertepuk tangan setelah Siya menyelesaikan nyanyiannya dengan baik. Meski dengan suara bergetar karena menahan panik dan takut yang dominan.
"Kau memiliki suara yang indah Siya, lantas kenapa kau malah tidak datang ke acara ulang tahunnya? Dia sudah menunggumu cukup lama. Semalaman dia hanya diam menunggu kedatanganmu, kenapa kau begitu jahat Siya? Sampai tega membiarkannya larut dalam kesedihan seorang diri di hari ulang tahunnya?"
"Apa maksudmu, Mas? Siapa yang kau bicarakan?" Siya benar-benar tidak memahami apa yang Mahend katakan padanya saat ini.
Mahend mengangkat lilin yang menyala. Ia lantas menuangkan lelehan panas itu pada tangan hingga lengan atas Siya.
"Aaahh?" jerit Siya tertahan. Meski itu tak begitu panas. Tetap saja terasa sakit dan menyiksa.
"Ssuuuutt? Jangan berisik Siya. Ini hanyalah pembukaan. Belum pada permainan inti?"
Saat itu air mata Siya sudah lolos. Ingin rasanya ia kembali pingsan dari pada terus menerima siksaan dalam keadaan sadar.
"Mas? Tolong hentikan?"
Mahend telah berpindah pada leher Siya, Mahend menumpahkan lelehan panas lilin itu pada leher Siya.
"Jangan bergerak, Sayang? Atau ini bisa jatuh mengenai wajah cantikmu?"
'Hiks hiks hiks.'
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Diankeren
Asiyah binti muzahim, min Ziy syntik 😁👍🏻
2024-01-29
0
antha mom
andaikata masalah ini sudah terungkap, jngn pernah maaf kan mahend nya siya
2022-11-16
0
Yunerty Blessa
manusia berhati iblis
2022-10-01
0