*Dendam adalah dorongan untuk membuat seseorang merasakan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada orang lain. Bahkan terkadang ingin melihat seseorang itu merasakan hal yang lebih buruk dan menyakitkan.
Dendam tak akan menghasilkan apa pun selain kesalahan dan penyesalan*.
...****************...
Al mulai membuka mata terlebih dulu, Mahend sang Papah dan Siya masih terlelap. Bahkan entah bagaimana Al bisa merosot hingga kepalanya sejajar dengan perut Mahend. Dan Mahend justru tidur berhadapan dengan Siya.
"Aaahh? Payah, belum ada yang bangun? Hoaamm??" Al menguap. Ia lantas turun dari ranjang, masuk kamar mandi. Kebelet pipis.
Mahend bergerak, ia merangkulkan tangannya pada pinggang Siya. Dalam benak Mahend, ia tengah tidur bersama Al, dan dia sedang merangkul Al.
"Kau tumbuh dengan cepat, Al. Kau sudah besar." lirih Mahend yang mulai sadar namun masih enggan membuka mata.
Sepersekian detik kemudian. Mahend cepat membuka mata, Netranya membulat kala ia mendapati Siya yang terlelap di depannya.
Mahend kaget dan langsung mundur. Ia bangun. Mahend mengedarkan pandangan mencari sang putra.
"Papah sudah bangun?" Al keluar dari kamar mandi.
"Kau bangun lebih dulu? Sebelum Papah?"
"Ehmmm!" Al mengangguk, lalu kembali naik ke atas ranjang. Siya masih terlelap.
"Papah tidurnya pulas sekali?" protes Al. Dan Mahend hanya tersenyum sambil mengacak rambut Al menanggapi komentar putranya itu.
"Siya belum bangun?" Al mengelus wajah Siya.
"Panas?" teriak Al.
"Apa Al?" Mahend kaget.
"Badan Siya panas, Papah?"
Mahend mendekat, dia menyentuh kening Siya.
'Benar, dia demam. Apa dia sakit?'
"Siya kenapa, Pah?"
Belum sempat Mahend menjawab pertanyaan Al, Siya sudah mengerjap membuka mata.
"Aaahh?" Siya berteriak karena takut, mendapati Mahend yang begitu dekat dengannya dan tangan Mahend berada di keningnya, Siya berpikir Mahend akan kembali memukulnya. Trauma.
"Siya? Kenapa?" suara kecil Al yang kaget berhasil menenangkan hati Siya. Ada Al bersamanya, paling tidak, Mahend tidak akan melakukan hal buruk lagi saat ini.
"Ah? Tidak,aku hanya kaget Al?" jawab Siya masih menatap Mahend yang menatapnya tajam.
"Siya? Apa kau sakit? Tubuhmu demam?"
Siya menyentuh keningnya sendiri. Memang panas. Kepalanya juga pusing. Tapi kaki, tangan dan telinganya semua terasa dingin.
"Kepalaku sedikit pusing." jawab Siya.
"Kau pergilah ke kamarmu." Mahend membuka suara. Memerintah Siya untuk pergi ke kamarnya.
Al menoleh pada Mahend.
"Al? Kau bersiaplah. Kau harus pergi sekolah. Akan ku panggil seseorang untuk membantumu, Siya sedang sakit. Dia harus istirahat."
"Kalau orang sakit harus diobati Dokter, Papah!." Al memang anak yang cerdas.
"Tentu, Papah akan panggilkan Dokter nanti."
Al tersenyum mendengar jawaban Mahend.
"Siya, kau pergilah ke kamarmu, nanti kalau disuntik, jangan nangis ya? Sakitnya hanya sedikit kok? Aku juga pernah."
Siya tersenyum tulus, Al seakan mengobati semua kepedihan hidup Siya yang diciptakan oleh Mahend Papahnya.
Siya lalu mengangguk dan mengelus lembut pipi Al.
"Cepat sembuh? Cup!" Al memberikan satu kecupan di pipi Siya. Membuat Siya maupun Mahend kaget bersama. Dan Al berhambur ke kamar mandi.
"Aku mau mandi dulu, Papah?" Al berteriak.
Mahend dan Siya saling menatap dalam. Tapi tak cukup lama, Siya memalingkan muka, turun dari ranjang, lalu keluar, ia akan pergi ke kamarnya sendiri.
Badan Siya terasa sakit semua. Pegal, dan juga nyeri. Banyak luka memar, lebam yang belum sempat ia obati. Terasa lebih sakit lagi.
"Kepalaku pusing sekali?" Siya pun kembali berbaring menarik selimut menutup tubuhnya yang demam tapi juga kedinginan. Ia kembali tertidur karena efek sakit.
Jam menunjukkan pukul 8, Al sudah berangkat sekolah. Sabrina pergi ke makam Bram karna ini adalah hari ulang tahun mendiang putranya tersebut.
Mahend masuk ke kamar Siya bersama Lim yang membawa nampan berisi bubur dan air minum.
Siya masih terlelap. Mahend menyentuh kening Siya. Sangat panas. Sesekali terdengar lirih Siya yang mengucapkan sesuatu namun tak jelas.
Lim menaruh nampan itu di atas nakas dekat ranjang.
"Apa Dokter masih lama datangnya, Lim?" Mahend bertanya pada Lim, karena hingga sekarang Dokter yang Lim hubungi belum juga datang.
"Sebentar lagi, Tuan." Lim harus menjawab yang bisa memuaskan hati Mahend.
"Maa_s?" lirih Siya.
'DEG.'
Mahend bisa menutupi semua dengan sikap dan kalimatnya, namun isi hatinya, dia tak kan mampu membohongi diri sendiri.
'Kenapa kau masih memanggilku saat aku telah sudah menyakitimu begitu kejam, Siya? Kenapa kau sangat mencintaiku, dan tak membalas cinta Kakakku yang justru sangat mencintaimu?'
"Mas Mah-hend?" lirih Siya terbata.
'Tok tok.' pintu kamar Siya yang masih terbuka diketuk oleh seorang pelayan.
"Maaf Tuan? Ada Pak Dokter yang datang?"
Lim mengangguk lalu mempersilahkan Dokter untuk masuk.
"Kau terlalu formal, Lim?" Dokter itu meninju bahu Lim, dan Lim tersenyum.
"Kau apakan gadis ini, Baj!ng.an?" Dokter itu berseloroh pada Mahend yang sama sekali tak menatapnya.
"Diam kau, dan cepat obati dia." Mahend yang duduk di tepian ranjang bangun. Memberi ruang pada Dokter untuk memeriksanya.
Dokter itu adalah Tom, Thomas Addison Sanjaya. Sepupu dari Mahendra Addison Wijaya.
Seorang Dokter muda yang tampan, berkarisma ,sukses, dan? Playboy.
Tom menggelengkan kepala melihat keadaan Siya. Beberapa luka memar di pipi, ujung bibir, bekas cekikan di leher, dan tanda-tanda kepemilikan membuat Tom membuang nafas kasar.
"Kau benar-benar g!la, Mahend? Apa kau tidak kasihan dengan gadis ini?" Tom juga tahu tentang semuanya. Balas dendam yang Mahend lakukan atas kematian Kakaknya Bram.
"Kau kupanggil kesini tidak untuk ceramah, cepat obati dia. Lakukan tugasmu sebagai Dokter."
"Hehhaaahhh?" Tom menghela napas, percuma jika berdebat dengan Psikopat macam sepupunya ini.
Tom bergerak membuka kancing atas baju Siya.
"Apa yang kau lakukan?" Mahend menghentikan aksi Tom mencengkeram pundaknya.
"Aauuw? Sakit? Kau menyakitiku, Br3ng$3k?" Tom menepis tangan Mahend yang mencengkeram pundaknya.
"Kenapa kau membuka bajunya?"
"Lantas aku harus membuka bajumu? Memangnya siapa yang sakit? Aku harus memeriksanya, Bodoh?"
Mahend hendak melarang, tapi ia tertahan meski sangat kesal. Tubuh Siya disentuh oleh pria lain.
'Kasihan kau Siya. Kuharap jika kau bisa bertahan. Maka kau bisa cepat pergi dari genggaman Mahend.'
Tom membuka seluruh kancing baju Siya. Ia menyingkapnya. Tom harus memastikan setiap luka di tubuh Siya. Jangan sampai ada luka terbuka yang bisa menjadi infeksi.
Lim lekas membalikkan badan membelakangi ranjang, ia tak kan berani atau Mahend akan mencongkel matanya.
Tom memeriksa semuanya. Luka-luka itu membiru. Tom memberikan suntikan di lengan Siya dua kali, lalu ia menyelimuti kembali tubuh Siya.
"Tebus obat-obat ini di apotek, jika kau masih ingin ia bertahan hidup. Hentikan penyiksaanmu terhadapnya. Atau akan lebih baik jika kau langsung menembaknya saja."
Tom memberikan secarik kertas resep obat yang ia tulis dengan kesal pada Lim. Matanya menatap lekat pada Mahend yang terus menatap Siya. Dan Tom pergi begitu saja. Mahend membiarkannya. Lim mengantar Tom turun ke bawah. Dan dia juga akan pergi menebus obat.
Mahend mendekat duduk di tepian ranjang, ia membuka selimut Siya.
'Lukamu sangat parah, tapi kau menahan semuanya dalam diam selama ini? Kenapa kau tidak menyerah saja?'
Mahend menatap Siya yang masih terpejam dengan perasaan hati yang kacau. Matanya nanar.
Mahend lantas mengancing kembali baju Siya satu persatu. Yang belum Tom rapikan tadi.
'Kau sudah menerima hukuman begitu banyak dariku, tapi untuk membalas penderitaan dan kematian Kak Bram? Itu tidak cukup Siya. Kak Bram pasti lebih menderita dari ini semua? Kenapa aku harus kasihan padamu?'
Mahend pun keluar, pergi meninggalkan Siya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Tatiastarie
masih abu" nih masalahnya. blm jelas
2022-09-29
0
FARASYA
buat apa kau obati setelah sembuh kau sakiti lagi 😭.
mending gak usah kau obati sekalian, bukannya niatmu membunuhnya secara perlahan
2022-03-06
0
Shabina Inha
kau buat saya nangis sesedih ini thor😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-01-26
0