Sedikit Mundur.
Lim mendapat panggilan telepon dari assisten pribadi Nyonya Sabrina. Mengatakan jika Ibunda Mahend perutnya sakit akibat asam lambung yang naik. Dan Sabrina tidak mau minum obat.
Lim segera melapor pada Mahend. Dan Mahend lekas meminta pada Lim untuk pulang. Sedingin apapun hubungan Mahend dengan Sabrina saat ini. Mereka tetaplah ibu dan anak. Dan Mahend tetap menyayangi Sabrina dengan sangat.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
Saat Mahend dan Lim memasuki ruang tengah. Langkah mereka terhenti. Terkejut, mendapati Siya yang tengah ngobrol sambil tertawa dengan Tom.
'*Matttilah kau Siya*?' batin Lim.
Mahend menatap tajam pada Siya yang masih belum menyadari kedatangannya. Terlihat jelas jika emosi Mahend berada pada puncak.
"Ha ha ha? Kau lucu sekali, Siya? Ha ha ha!"
"Aaahh?"
Tom dengan santai memencet hidung bangir Siya. Dan Siya tak berusaha menghindar, hanya menggosok hidungnya sesaat setelah Tom melepaskan tangannya.
Mahend lekas melangkah angkuh penuh amarah. Di depan matanya sendiri, istrinya telah berani begitu dekat dan akrab pada pria lain.
Tanpa basa-basi mahend lekas menarik tangan Siya hingga tubuh Siya sempoyongan dan membawanya naik ke lantai atas.
"Aaahh? Mas Mahend?" Siya memekik.
"Mahendra?" Tom yang hendak mengikuti segera di cegah oleh Lim.
"Maaf Tuan?"
'*Ck*'
Tom berdecak kesal. Mahendra terlihat sangat marah. Pasti ia akan melakukan sesuatu terhadap Siya. Dan jika itu memang terjadi. Tom pasti merasa sangat bersalah.
"Haaahh?" Tom melayangkan tangannya ke udara karena kesal. Ia lantas pergi dari rumah mewah sepupunya itu.
'*Buugghh'
'Braacckk*'
"Aaahh?"
Mahend menyeret Siya ke dalam kamarnya. Mendorong tubuh Siya hingga terjerembab ke atas ranjang. Dan Mahend menutup pintu dengan cara membantingnya. Kasar.
"Apa kau sudah bosan hidup, Alisia?" Mahend berteriak melepas jasnya lalu membantingnya di atas ranjang tepat di depan Siya.
Siya kaget dan takut, matanya sudah berkaca-kaca.
"Apa kau benar ingin mati, hah?" Mahend berteriak di depan Siya. Ia mencengkeram dagu Siya hingga wajah Siya mendongak menghadap Mahend.
"Kau harus kuhukum?."
Mahend melepas tangannya yang mencengkeram dagu Siya. Ia lantas melepas sabuk yang melingkar di pinggang.
Siya terbelalak, mundur dan takut.
"Mas? Mas? Tolong dengarkan aku dulu, Mas?"
'Plaak'
"Aaahhh?" Mahend memberi pukulan pada tubuh Siya dengan ikat pinggangnya.
"Mas? Apa salahku?"
'Plaakk?'
"Aaahh? Sak-kiit??"
"Kau masih berani bertanya apa salahmu? Hah?"
Mahend membuang ikat pinggang itu, ia lantas melepas kancing bajunya dengan tergesa. Membuka lalu melemparnya ke sembarang arah.
Menampakkan dada bidang, perut sixpack, dan otot-otot lainnya.
Mahend naik ke atas ranjang, men!nd!h tubuh Siya.
"Kenapa kau marah, Mas? Bukankah kau tidak mencintaiku? Lantas kenapa kau marah?" Siya mengatakan itu dengan harapan agar Mahend mengakui cintanya padanya. Tapi Siya salah.
"Karena aku tak suka milikku di sentuh orang lain? Bahkan anjingku pun tak kan kubiarkan ia dekat dengan orang lain, kau tahu itu Siya?"
"Hiks hiks hiks."
Jawaban yang Mahend katakan sungguh sangat menyakitkan hati. Siya benar-benar yakin jika Mahend memang tak memiliki rasa padanya. Pria yang sangat dicintainya itu tak pernah mencintai Siya. Semua yang terjadi dari awal hanyalah siasat untuk bisa menjerat Siya. Luka di atas luka.
Mahend membenamkan wajahnya pada ceruk leher Siya. Ia melakukannya dengan sangat kasar.
"Aaahh?." membuat Siya memekik karena sakit.
Mahend menggigit leher Siya dengan brutal, tak ada kelembutan. Tangan kanan Mahend meremas dada Siya begitu kuat, hingga Siya terus merintih dalam lirih. Sakit?.
'Seerrrraaakkk!."
Mahend mengoyak dress yang dikenakan Siya. Ia lantas membenamkan wajahnya pada dada Siya yang sudah menyembul.
Mengeksplor. Menggigit dan meremasnya.
"Mas? Saakkiitt? Hiks hiks hiks" lirih Siya menahan sakit atas keganasan Mahend.
"Ini hukuman untukmu, Siya. Kau harus ingat. Aku tidak pernah suka kau dekat apalagi disentuh oleh orang lain. Apa kau dengar itu Siya?" Mahend berkata pelan namun penuh penekanan.
"Iya mas? Iya? Maafkan Siya mas? Hiks hiks hiks."
Mahend bangun dari tubuh Siya. Ia menarik nafas lalu menghembuskannya kasar berkali-kali.
Mahend melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya yang terasa panas dan kepalanya mendidih. Meninggalkan Siya yang meringkuk di atas ranjang merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.
'Siya? Aaaaaaahhhh?' Mahend berteriak keras di kamar mandi.
'Cyaaaccckk'
Tangannya memukul cermin di wastafel. Hingga kaca cermin itu remuk dan pecah. Darah segar mengalir dari punggung tangan Mahend.
Ada rasa penyesalan di hati Mahend yang telah melakukan penyiksaan begitu sadis pada Siya. Namun rasa sakit di hatinya itu selalu mendorong Mahend untuk kembali melakukannya.
Beberapa hari diam dan menghindar dari Siya nyatanya tak mampu untuk meredam emosi dari dalam dirinya untuk tidak lagi menyakiti Siya.
Siya bangun dari ranjang, ia harus segera kembali ke kamarnya sendiri, mungkin dengan begitu bisa sedikit menghindar dari Mahend dan tak menerima amukannya lagi.
Siya menutup bagian depannya dengan dress yang sudah koyak. Dan Siya keluar dari kamar Mahend.
Saat di depan pintu kamar Mahend. Langkah Siya terhenti, Lim berdiri disana. Melihat penampilan Siya yang sudah porak poranda. Siya menunduk dan terus melangkah melewati Lim.
'*Siya*?.' lirih Lim dalam hati.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
**Flash Back On**.
"Kenapa kau menolakku, Siya? Kenapa kau tak mau menerima cintaku?" Bram yang telah usai menyatakan cintanya pada Siya meminta penjelasan, sebuah alasan atas penolakan Siya kepadanya.
Bram dan Siya tengah duduk berdua di Cafe biasa.
"Maafkan Siya, kak? Tapi Siya sudah menganggap Kak Bram seperti Kakak Siya sendiri? Siya minta maaf? *Hiks hiks hiks*."
Siya mengucapkan kata-katanya dengan ketulusan. Ia memang tak memiliki rasa lebih untuk Bram. Siya hanya menganggap Bram layaknya seorang kakak. Bukan kekasih.
Bram mengangguk-anggukkan kepala. Ia menggenggam kedua tangan Siya dengan kedua tangannya.
"Jangan menangis, Siya? Kau melukai hatiku dengan air matamu? Aku tidak akan memaksa. Tidak apa-apa. Cinta memang tidak bisa dipaksa, Siya?"
Siya mendongak, menatap dalam mata Bram yang sudah terlihat sayu. Keduanya merasakan sedih dalam hati.
"Apa Kak Bram marah pada Siya?" tanya Siya.
Bram menggelengkan kepala, lalu ia berusaha tersenyum. Menghapus air matanya yang menitik.
"Kak Bram tidak marah, Siya? Kak Bram bisa menerimanya."
"Apa kita masih tetap bisa seperti kemarin? Siya senang memiliki seorang Kakak laki-laki seperti Kak Bram!"
Bram mengangguk dan tersenyum manis. Hatinya memang sakit karena cintanya telah ditolak oleh Siya. Namun menyadari jika Siya menyayanginya meski hanya sebatas kakak adik, Bram tetap merasakan sedikit rasa bahagia di hatinya.
"Iya." jawab Bram atas pertanyaan Siya.
Bram berdiri. Lalu membawa Siya ke dalam pelukannya. Orang-orang yang melihatnya merasa terharu. Bahkan sampai ada yang ikut meneteskan air mata.
Sepasang mata tajam telah mengawasi mereka dari meja lain tak jauh dari sana. Dia adalah seorang wanita cantik. Yang menyunggingkan senyum sinisnya.
"*Brahmana Addison Wijaya*." lirih wanita itu.
**Flash Back Off**.
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Rastika Ima
waduuuh,pasti Anita
2024-04-30
0
Winarsih Asih
ada yg ngebunuh bram
2022-12-28
0
Tatiastarie
waduh... siapa ya cewe itu... jangan" brahma di bunuh fan siya jadi kambing hitam nya... kasian...
2022-09-29
0