Jam menunjukkan pukul 10, Mahend tidak pergi ke perusahaan, ia menunggui Siya yang masih terlelap. Biar bagaimanapun. Siya harus cepat sembuh dan sehat. Terlalu lemah bagi seorang Mahend jika harus menyiksa gadis yang sekarat.
Bubur yang dibawa Lim sedari tadi sudah dingin. Pelayan membawanya keluar, lalu mengganti dengan yang baru, yang masih hangat.
Siya mulai mengerjapkan mata. Ia bangun.
"Mas?" lirih Siya saat melihat Mahend yang duuduk angkuh di sebuah sofa di kamar Siya.
"Kau bangun, Sayang? Ku kira kau tidak akan tahan dan akan mati." kalimat yang Mahend ucapkan seperti ribuan busur tombak yang menancap tepat di dada Siya. Sakit.
"Maaf jika aku mengecewakanmu, tak membuatmu bahagia dengan masih bernafas." Siya pun membalas ucapan pedas Mahend dengan kalimat yang tajam.
Mahend tersenyum sinis. Ia mendekat. Lalu menjatuhkan diri di ranjang dan kepalanya berbantalkan paha Siya.
Siya kaget, jantungnya berdegup kencang.
"Kau tidak boleh cepat mati, Siya? Aku belum puas bermain-main denganmu. Jika kau berani untuk mati. Maka jangan salahkan aku jika aku menyeret Silvi sebagai gantimu."
"Hentikan, Mas? Jangan kau libatkan siapapun ke dalam urusan kita. Jika kau mempunyai dendam padaku, maka balaskan saja dendammu itu padaku, jangan kau bawa-bawa Silvi."
"Ha ha ha ha!" Tawa Mahend menggema. Ia bangkit berjalan ke dekat nakas.
"Kalau begitu cepatlah makan, dan minum obatmu sesuai dengan resep, kau harus cepat sembuh, jangan sampai aku bosan karna terlalu lama menanti permainanku."
Mahend melemparkan obat Siya yang masih terbungkus plastik tepat di depan wajah Siya. Siya refleks memalingkan muka.
Mahend keluar menutup pintu kamar Siya dengan cara membantingnya.
'Bracckk!.'
"Kau benar, mas. Aku memang harus cepat sembuh. Dan aku harus segera mencari tahu tentang semua ini. Aku harus bisa membuktikan diriku padamu jika aku tidak bersalah. Dan aku akan pergi dari hidupmu, Mas? Persetan dengan rasa cinta. Nyatanya semua ini hanyalah permainan semata bagimu."
...****************...
Siya berangsur membaik setelah 3 hari. Al selalu datang menemui dan menemaninya setiap sore sepulang sekolah hingga malam menjelang waktu tidur.
Sedangkan Mahend sekalipun tak pernah menjenguk Siya. Mahend ingin membuktikan jika Siya tak berarti apa-apa. Hanya sebuah mainan yang akan ia mainkan saat Mahend inginkan.
"Kau sudah sembuh?" Al menyentuh kening Siya, ia ingin memastikan jika Siya benar-benar sudah tak lagi demam.
"He em, aku sudah sembuh, Jagoan?"
"Baguslah. Aku senang." Al memeluk tubuh Siya. Mereka tengah berada di kamar Siya. Al menemui Siya setelah makan malam. Siya yang duduk bersandar pada dipan. Dan Al yang berbaring di dalam pelukannya.
"Apa ceritanya bisa dilanjutkan?" Al masih begitu antusias dengan cerita Siya yang naik gunung.
"Tentu, jadi malam itu. Aku dan teman-teman, kami semua sudah siap untuk summit menuju puncak, setelah hujan reda. Kami mulai kembali mendaki__" Siya menceritakan kisah lanjutan pendakiannya yang tertunda.
Al mendengar dengan sangat antusias. Hingga Al menguap berkali-kali.
"Kau sudah ngantuk?" Siya melihat jam di atas nakas. Pukul 21:00. Al mengangguk menjawab pertanyaan Siya.
"Baiklah, sekarang kau tidur. Besok harus sekolah."
"Boleh aku tidur disini?"
"Kau ingin tidur bersamaku?"
Al kembali mengangguk sebagai jawaban.
"Okay, sekarang pejamkan matamu, akan aku nyanyikan sebuah lagu untukmu."
Siya mulai bernyanyi, sebuah lagu penghantar tidur. Al memeluk tubuh Siya dan memejamkan mata. Diakui atau tidak, hubungan mereka semakin dekat layaknya seorang anak dengan ibu.
...****************...
Pukul 22:00.
Mahend baru pulang dari perusahaan. Lim masuk ke kamarnya. Sedangkan Mahend membuka pintu kamar Al sang putra. Kosong.
"Dimana Al?"
Mahend menutup kembali pintu kamar Al, ia lantas berpindah ke kamar Siya. Dan benar saja. Putranya itu telah tidur dalam dekapan Siya.
Siya terperanjat mendapati pintu kamarnya dibuka tiba-tiba. Siya belum tidur. Ia hanya melamun sambil mengelus rambut Al.
Siya menelan saliva kasar. Ada rasa takut yang berusaha ia tutupi. Mahend mendekat, ia lantas mengambil alih tubuh Al kedalam dekapannya. Mahend akan membawa Al ke kamarnya.
"Dia ingin tidur bersamaku, Mas?" Siya memberanikan diri untuk bicara. Mahend berhenti dan sedikit menoleh meski tak sampai melihat Siya.
"Kau bersiaplah, aku yang akan tidur bersamamu."
'DEG.'
Mahend sudah melangkah keluar, membawa Al, meninggalkan Siya dalam ketegangan.
'Apa lagi yang akan dia lakukan?'
Siya berlari masuk ke kamar mandi. Ia lantas mengunci pintu dari dalam.
"Biarlah aku bermalam disini. Ini lebih aman." Siya sangat takut. Ia tak bisa membayangkan apa lagi keg!laan Mahend yang akan dilakukan padanya.
Mahend masuk kedalam kamar Siya. Siya tidak ada. Ia lantas menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya.
"Siya? Kau di dalam?"
Siya menutup kuat mulutnya dengan kedua tangan. Ia menggeleng. Rasa takut mendominasi.
"Siya, jangan bermain-main? Cepat buka pintunya?" tak ada jawaban.
'Dor dor dor.'
Mahend mulai menggedor pintu kamar mandi Siya.
"Siya, buka? Atau akan aku dobrak pintunya?"
Siya membelalakkan mata. Jika itu sampai terjadi, maka artinya Mahend akan semakin emosi.
"Mas? Tolong lepaskan aku malam ini, Mas? A A-a aku tidak apa-apa tidur di kamar mandi. Tapi tolong, biarkan aku?" Siya berteriak terbata dari dalam kamar mandi. Suaranya terdengar bergetar.
Mahend tersenyum. Tapi bukan senyum sinis seperti biasanya. Entah kenapa kalimat yang Siya katakan terdengar lucu di telinganya.
Seperti Istri kecil yang takut untuk melayani hasrat sang suami yang besar dan sulit terpuaskan.
"Buka pintunya, Siya? Aku tidak akan melakukannya dengan kasar."
Siya membulatkan mata, menelan kasar salivanya, mendengar kalimat yang Mahend katakan.
Ia teringat pada satu malam saat mereka melakukannya dengan perasaan, Mahend sangat lembut saat itu. Dan mereka saling m3nd3$ah bersahutan merasakan suatu kenikmatan.
"Siya? Buka! Atau aku tidak lagi bersabar dan berubah pikiran?."
'Klek.'
Siya lekas membuka pintu, ia menunduk, tubuhnya bergetar, bergidik ngeri. Takut.
Mahend kembali tersenyum. Ia benar-benar telah menaklukkan wanita ini. Wanita yang begitu angkuh mengabaikan cinta Kakaknya. Hingga hati seorang Brahmana patah begitu parah dan mengakhiri hidupnya sendiri.
Mahend melihat penampilan Siya. Gaun tidur yang ia kenakan terlihat kedodoran. Tubuh Siya semakin kurus. Jauh berbeda dengan Siya 2 bulan yang lalu.
"Cepat naik ke ranjang." Mahend menarik tangan Siya. Hingga mereka berdua sudah berada di atas ranjang kini.
Mahend mendorong Siya agar berbaring, dan Mahend membaringkan tubuhnya sendiri di samping Siya.
"Jangan berisik, aku ingin cepat tidur." Mahend merengkuh pinggang Siya. Ia memejamkan mata. Menyambut lelap karena kantuk yang menerpa.
'Apa? Dia hanya memintaku menemani tidur? Maksudku? Tidak? Aaahh? Apa yang kupikirkan? Kenapa otakku jadi m3$um begini? Dasar otak udang.'
Siya menatap dalam Mahend yang sudah memejamkan mata. Ia pun mencoba untuk bisa terlelap. Melewati malam yang? Entahlah_
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Tatiastarie
aku yakin mahmed jatuh cinta sm sita
2022-09-29
0
Wati Wati Saragih
mending kamu lari aja siya,
2022-01-31
2
Elsa Naila
lanjuttt, wlpn setiap baca yesek neng ati tp ko pnsran kelanjutane gmn,????
2022-01-25
0