Ketika baju Fania telah dibuka, tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pemikirannya sehingga membuatnya malu malu lalu dengan cepat ia menukar pakaiannya lalu kembali.
Ia harus kembalikan baju Irvan atau dibawa pulang untuk mencucinya terlebih dahulu menjadi pemikiran yang rumit baginya saat ini.
Jika ia bawa, maka Irvan akan pulang hanya dengan mengenakan singlet dan jika dikembalikan, Irvan pasti akan memakainya, “waduh….” Fania merasa geli, karena bekas tubuhnya ada di baju itu.
Tadinya, ketika akan memakai baju itu, ia sempat kepikiran bahwa bekas tubuh Irvan pasti ada pada baju itu, tapi mau bagaimana lagi, ia harus memakainya dan sekarang akan seperti saling menukar bekas tubuh lewat baju jika Irvan kembali memakai bajunya sebelum dicuci.
Wajah Fania merah memikirkan hal itu. Ia tidak ingin mengembalikan baju Irvan. “Biar dicuci dulu,” katanya ketika ia telah berada didepan Irvan.
“Tidak perlu dicuci. Tidak mungkin aku pulang ke rumah hanya dengan pakaian ini kan” kata Irvan sambil menundukan kepalanya melihat singletnya, lalu dengan pasrah Fania mengembalikan baju itu.
“Terima kasih ya Kak,” kata Fania sambil menunduk menahan malu. Lalu keduanya pergi meninggalkan kolam.
Beberapa menit kemudian, mereka telah tiba di depan kampus. Keduanya berjalan se arah, karena jalur ke rumah sama.
Mereka ingin berjalan kaki, lalu singgah sebentar di Taman Kota dan makan bakso disana. Selain karena belum makan sejak siang, Fania juga ingin mentraktir Irvan sebagai tanda terima kasihnya.
Irvan senang dengan usulan itu. Ia menyetujuinya lalu ingin segera mereka pergi kesana, tetapi mengingat pakaian keduanya sangat kotor dan basah, akhirnya memutuskan untuk menumpang ojek saja, kembali ke rumah masing-masing, mengganti pakaian barulah kembali jam tujuh malam nanti.
Setelah buat janji, keduanya ke pangkalan ojek terdekat. Irvan meminta Fania menumpang terlebih dahulu. Katanya ia ingin pastikan Fania pergi dengan aman barulah ia juga pulang.
Fania senang, ada yang perhatian padanya, iapun menyetujuinya, lalu mendahuli Irvan menumpang ojek.
Rupanya perhatian itu hanyalah strategi. Bukan karena ada niat jahat, tetapi Irvan menutupi sesuatu. Ia tidak punya uang untuk membayar sewa ojek.
Ia yakin, jika meminta bantuan pada Fania, pasti didapatinya, tetapi karena baru berkenalan, ia masih canggung.
Setelah ojek Fania berbelok arah, Irvan segera berlari sekencang-kencangnya agar ia juga cepat sampai ke rumahnya. Ia memilih jalur alternatif biar lebih cepat.
Kurang dua puluh menit pukul tujuh, Irvan telah sampai di Taman Kota. Mengambil sudut strategis, ia memantau setiap sudut jalan.
Rasa gelisah menyelimuti hatinya. Rasa-rasanya sudah terlalu lama ia disana, Fania belum nongol juga.
“Kak ... kak, permisi Kak, numpang tanya, sekarang jam berapa ya?” Tanya Irvan kepada dua pemuda yang kebetulan lewat di depannya.
“Kurang sepuluh menit jam tujuh,” jawab orang itu sambil berlalu pergi.
“Terima kasih,” ucap Irvan sambil senyum-senyum malu. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Mengapa dia begitu tidak sabaran untuk bertemu Fania?
Ia ingin berjalan-jalan sejenak di taman. Sekedar melihat-lihat sambil menghilangkan rasa ketidaksabarannya. Namun baru beberapa langkah, terdengan suara lembut dan indah milik Fania memanggil dari kejauhan
Hatinya berbunga-bunga. Ia segera berbalik untuk memastikan pendengarannya. Betul, Fania telah tiba.
Keduanya saling menghampiri, berbasa basi sedikit, lalu tanpa buang banyak waktu lagi, mereka mendatangi tukang bakso, memesan dua porsi tambah telur sesuai kemampuan uang Fania.
Menuju tempat duduk santai di pinggir taman, sambil bercerita mereka menunggu abang tukang bakso menyiapkan pesanan mereka.
Beberapa menit kemudian, bakso telah tersedia. Keduanya makan dengan nikmatnya.
Entah karena memang bakso disitu terkenal nikmatnya atau karena ada perasan lain dihati mereka membuat semua makanan menjadi enak, hanya keduanya yang tahu.
Setelah makan, mereka belum mau pulang. Tidak tahu ada perasaan apa, tetapi keinginan untuk saling mengenal lebih dekat muncul dalam benak mereka.
Lalu, tanpa dikomando, keduanya berjalan seiringan mengyusuri taman mencari tempat yang sunyi dan remang untuk duduk disana.
Awalnya terasa canggung, keheningan mulai muncul, mereka seperti pasangan yang baru pacaran.
Irvan yang pintar mengendalikan suasana, memecahkan kebisuan mereka. Ia mulai bercerita tentang dirinya bahwa ia adalah seorang anak pungut, kehidupan keluarganya miskin, kerja orang tuanyapun mulung.
Mendengar Irvan mulai bercerita, Fania melipat kakinya, lalu menaruh dagunya persis diatas lulutnya, lalu terus mendengar cerita Irvan dengan sungguh-sungguh.
Walaupun sedikit cahaya ditempat mereka duduk, aura cantik yang terpancar keluar dari wajah Fania dapat dilihat jelas oleh Irvan yang persis duduk disampingnya
Irvan sedikit gugup, lalu menarik napasnya kemudian melanjutkan semua cerita tentang kehidupannya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Setelah ceritabya berakhir, tibalah Fanialah yang mulai mengisahkan tentang dirinya.
Ia mengawali ceritanya dengan menyamakan posisinya dengan Irvan, katanya “Nasip kita sama Kak. Aku juga anak pungut ….” Kata Fania pelan menarik perhatian Irvan.
“Bahkan aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Kata Fania yang langsung membuat Irvan berbalik menatapnya dengan serius dan hendak mengatakan sesuatu, tapi karena tidak ingin memotong cerita Fania, Irvan tidak sempat mengeluarkan kata-katanya.
Sebenarnya Fania juga keturunan orang kaya.
Ia adalah cucu tertua seorang kakek bernama Mark yang merupakan salah satu orang terkaya di negara mereka.
Ibunya meninggal saat melahirkannya, setahun kemudian ayahnya yang bernama Kevin Mark pun ikut meninggal, lalu ia tinggal bersama kakeknya.
Karena ia adalah cucu tertua dan saat itu telah menjadi jatim piatu, maka seluruh kasih sayang kakek diarahkan kepadanya. Namun, hal itu membuat paman yang adalah adik kandung dari ayahnya membencinya.
Tepat setahun setelah kematian ayahnya, kakek Mark pun ikut meninggal secara tragis. Tinggalah Fania sendiri ditengah keluarga yang membencinya.
Karena kebencian itu, beberapa minggu kemudian, paman Fania yang ternyata juga adalah otak dari pembantaian keluarga Irvan membawanya ke sebuah kota kecil, lalu ditinggalkan di sana.
Ketika malam tiba, Fania mulai menagis, karena Pamannya tidak kunjung datang.
Untunglah sepasang kakek dan nenek lewat disana. Mereka merasa iba, lalu menemaninya hingga larut malam, tetapi karena pamannya tidak kunjung datang, akhirnya ia diajak untuk ikut dengan mereka, lalu diasuh hingga besar.
Tiga tahun kemudian kakek dan nenek itu bersama Fania pindah ke kota ini, seraya melanjutkan hidup dan juga untuk mencari anak mereka yang merantau tak kunjung pulang.
Dalam asuhan mereka, Fania belajar dengan giat hingga selalu mendapatkan beasiswa sampai berkuliah di sebuah universitas kecil, cabang dari Star Light Unversity.
Sebulan yang lalu, ia dipindahkan ke universitas pusat supaya pengetahuannya bisa berkembang lebih maju. Itulah mengapa ia bisa bertemu dengan Irvan saat ini.
“Kehidupan kita mirip ya,” kata Irvan yang membuat Fania tersenyum malu
“Tapi baikan kamu, karena masih punya orang tua angkat, sedangkan aku, tidak punya siapa-siapa lagi. Kakek dan nenek angkat ku semuanya sudah meninggal.” Kata Fania lagi.
“Lalu, siapa ibu yang bersama mu saat berjualan malam itu?” Tanya Irvan ingin tahu
“Oh itu? Dia tetangga ku. Kalau tidak sibuk, aku sering membantunya berjualan. Lumayankan bisa mendapatkan sedikit uang.” Jawab Fania.
Sementara asik bercerita, sekelompok orang lewat, sehingga mengagetkan mereka berdua yang secara tidak sadar sudah duduk sangat berdekatan.
Sambil malu-malu keduanya berdiri, menanyakan waktu, lalu saling mengajak hendak kembali ke rumah.
Ketika berdiri, sinar lampu taman lebih jelas mengenai wajah mereka sehingga membuat sekelompok orang lainnya yang sedang bersntai tidak jauh dari sana menganali mereka.
“Itu Irvan kan?” Kata seorang pria kepada temannya sambil menunjuk.
“Betul. Dia bersama si wanita kolam itu?” Kata temannya itu sambil tertawa.
“Ayo, kita hancurkan kebahagiaan mereka,” Katanya lagi, lalu keduanya berjalan ke sana.
Setiba disana, mereka yang ternyata adalah Anjas dan Reis langsung mengata-ngatai Iravan dan Fania.
“Wao … wao … wao … sungguh romantisnya,” kata Reis mengagetkan keduanya lagi.
“Eh, kalian disini juga ya?” Tanya Fania bersahabat.
Namun mereka berdua yang dasarnya sangat membenci Irvan, tidak ingin melihat sedikit saja rasa bahagia muncul dihati Irvan.
Kebahagiaan Irvan adalah kesusahan bagi mereka, sehingga bagaimanapun caranya Irvan harus disusahkan agar mereka bahagia.
“Kalian berdua pasangat mesum itu kan?” Sindir Anjas tidak mau mengubris pertanyaan Fania membuat membuat hati Fania dan Irvan terhentak.
“Omong apa kau?” Kata Irvan,
Fania juga iktan matah namun dengan kata-kata halus dia berkata “Siapa yang mesum?”
Menjawab mereka, Reis hanya mengatakan “nanti juga kalian akan tahu!”
“Maksudnya apa?” tanya Fania penasaran.
“Rupanya orang miskin juga punya rasa penasaran ya?” kata Anjas sambil menyentuh bahu
kiri Fania lalu di dorongnya sengaja mencari gara-gara
Irvan yang tidak menerima Fania di dorong, menepis tangan Anjas lalu meminta agar Anjas dan Reis jangan berlaku kasar terhadap wanita.
Kata-kata itu membuat keduanya tertawa terbahak-bahak karena merasa Irvan bertindak lucu sok pahlawan di hadapan wanita.
“Apa yang orang miskin dan bodoh seperti mu tahu tentang wanita, Irvan. Ayo ikut kami melihat sesuatu!” Ajak Anjas lalu ia mendahului mereka berjalan.
Irvan dan Fania seperti orang bodoh, mau saja untuk mengikuti.
Ternyata agak jauh dari situ, persis di tengah-tengah taman ada mobil Reis yang terparkir. Kesitulah Anjas mengajak mereka.
Setiba di sana, Rika yang sementara duduk disamping mobil, kaget melihat ada Irvan.
Wajahnya berubah merah, ia gugup sekali, seakan-akan ia ketahuan telah melakukan sesuatu yang tidak baik.
Dalam hatinya dia berkata “mengapa Kak Irvan bisa ada disini?” Lalu hendak berbicara, namun Irvan yang juga penasaran, lebih dahulu bertanya padanya “Rika, mengapa kamu disini?”
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab olehnya. Rika yang dikenal Irvan sebagai wanita yang tidak suka berduaan dengan pria di kegelapan, hanya tertunduk malu.
Tiba-tiba pintu mobil di buka. Viki rupanya.
Ia segera keluar dari mobil. Tidak memakai baju, rambutnya juga acak-acakan, ia menarik resleting celananya kemudian mengibas-ngibas tubuhnya yang kepanasan, lalu perlahan ia turun dari mobil.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments