“Ah, aku tidak boleh berpikir yang bukan-bukan,” kata Irvan lagi menepis pemikiran negatifnya.
Lalu ia mencoba untuk memberikan napas buatan lagi.
Seperti pada awalnya, Irvan mengulangi teknik yang sama.
Setelah sekali dua kali ia menghembuskan udara ke dalam mulut Fania, terlihat ada pergerakan di dada Fania. Ia mulai bernapas.
Sungguh, harapan Irvan tidak sia-sia. Di ujung kegelisahannya, Fania menunjukan tanda-tanda selamat. Irvan bahagia sekali.
“Uhuk ... uhuk ... uhuk ....” Fania mulai sadarkan diri.
“Kamu sadar Fania, kamu sadar,” teriak Irvan tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanya.
Batuk Fania semakin cepat sambil mengeluarkan banyak air dari dalam mulutnya.
“Terus Fan, munt**kan semua air kolam yang kamu minum,” ujar Irvan.
Beberapa menit kemudian Fania merasa napasnya mulai legah dan perutnya tidak lagi sesak, walaupun masih sedikit pusing, namun ia segera duduk.
Kemudian dengan wajahnya yang masih trauma dan suara yang sangat lemah Fania bertanya kepada Irvan bahwa apakah dia yang menolongnya?
“Iya, aku mendengar teriakan mu, jadi aku segera datang kemari”
Belum sempat Irvan berbicara lagi, Fania telah menyambar dirinya dengan sebah pelukan yang sangat kuat.
Irvan yang menyadari pelukan itu, merasa sedikit aneh dalam pikirannya, tetapi dibiarkannya saja.
Ingin rasanya mengangkat kedua tangan untuk membalas pelukan itu, tetapi takut Fania berpikir yang bukan bukan, membuat Irvan mengurungkan niatnya.
Dengan pasrah, Irvan merilekskan tubuhnya biar dipeluk selama mungkin oleh Fania. Dalam hatinya Ia juga senang.
Sambil memeluk erat tubuh Irvan, Fania menangis sejadi-jadinya. Ia juga berulang kali mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada Irvan yang telah menolongnya.
Dalam hatinya ia berpikir bahwa untung ada Irvan, jika tidak, pastilah dia akan mati di kolam itu.
Fania ketakutan ketika memikirkan kejadian tersebut.
“Aku tidak tau bagaimana nasib ku, jika kak Irvan tidak disini,” lanjut Fania lagi yang masih saja menangis.
Saat ini ia menangis bukan lagi karena takut, tetapi gembira. Awalnya ia mengira pasti akan mati, ternyata tidak, karena ditolong oleh seseorang yang walaupun baru dikenalnya tetapi sudah ia kagumi.
“Sudahlah Fan, yang terpenting kamu selamat!” kata Irvan membuatnya sadar lalu perlahan-lahan Fania melepaskan pelukannya.
Kini mereka berdua sedikit merasa canggung karena adegan tadi, tetapi mau bagaimana lagi.
Tiba-tiba, Fania yang menyadari sesuatu, membuat wajahnya berubah merah, ia tunduk malu-malu, lalu bertanya.
“Kak ... apakah tadi kamu menekan …” belum sempat ia selesai berbicara, Irvan yang mengerti maksud pertanyaan itu, langsung memohon maaf, kemudian menjelaskan bahwa, ia tidak mengetahui cara lain lagi untuk dilakukan.
Tidak menaggapi jawaban itu, Fania malah lanjut bertanya “Apakah Kakak juga memberiku …?” Lalu ia tidak melanjutkan pertanyaanna.
Irvan yang juga mengerti arah pertanyaan itupun segera menjawab lagi bahwa betul ia melakukan hal itu.
Irvan memilih menjawab tanpa mengatakan nama tindakan yang ia lakukan, iapun sengaja tidak mau menjelaskan berapa banyak kali dan berapa lama ia memberi napas buatan.
Mendengar jawaban Irvan, Fania tidak lagi mengajukan pertanyaan. Tetapi dari bibir tipisnya keluar kata-kata pasrah. Ia berkata
“Tidak apa-apa Kak … aku tidak marah. Lagian yang Kakak lakukan semata-mata untuk menolong aku. Semuanya juga sudah terjadi … aku selamat.” Jawab Fania dengan wajah yang memerah karena malu.
Melihat perubahan di wajah Fania, Irvan mengalihkan pembicaraan dengan memintanya untuk istirahat sejenak dan biarkan tugasnya diambil alih oleh Irvan.
Fania yang masih trauma dengan kejadian tadi menyetujui niat baik Irvan.
Karena melihat Fania yang kedinginan, Irvan berinisiatif pergi ke tempat ia mebersihkan tadi untuk mengambil kemejanya yang ia gantung ranting pohon di pinggir kolam.
Ia merasa panas jika melapis baju ketika membersihkan kolam, sehingga ia sengaja melepas yang diluar.
Baju itu dibawanya kepada Fania dan memintanya untuk pergi ke balik pohon lalu mengganti pakaiannya yang basah dengan kemeja Irvan.
Awalnya Fania tidak mau. Ia merasa sangat canggung. Walau ia kagum dengan Irvan, tetapi bagaimanapun juga mereka baru kenalan, tidak baik jika memakai bajunya, lagian Irvan juga dalam keadaan basah.
Fania juga merasa sangat malu jika harus pergi ke balik pohon dan menukar pakaiannya disana. Ia memikirkan hal yang aneh-aneh. Tetapi karena Irvan terus memaksa dan meyakinkan dia bahwa Irvan tidak apa-apa, Faniapun terpaksa menyetujuinya.
Pergi kebalik pohon besar. Fania melihat ke depan, lalu memperhatikan di bagian kiri dan kanannya. Ia takut jangan-jangan ada orang yang lewat di sana atau malah Irvan mengambil kesempatan itu.
Setelah dipastikan aman, ia segera melepaskan pakaiannya.
Saat ia akan melepaskan semua pakaiannya, tiba-tiba pikirnya berubah, karena bagaimana mungkin ia berhadapan dengan Irvan hanya menggunakan pakaian luar? Akhirnya ia hanya melepaskan bajunya saja, lalu menukar dengan kemeja Irvan.
Selesai mengganti baju, ia kembali ke tempat semula. Ia ingin menyelesaikan kerjanya, tetapi Irvan menyuruhnya untuk beristirahat saja. Lalu Irvanlah yang menyelesaikan semua kerja-kerja itu.
Ia beristirahat dibawah pohon, sambil sesekali memberi semangat kepada Irvan yang sudah mulai membersihkan kolam-kolam itu lagi.
Sementara di kantin kampus, ke empat orang tadi duduk melepaskan lelah.
Sambil memesan minuman dingin, mereka mengeluarkan kamera untuk menyeleksi setiap foto yang berhasil mereka peroleh.
“Yang ini saja … itu jangan … atau yang ini, bagaimana dengan ini dan seterusnya,” ucap mereka pelan-pelan sampai seluruh foto selesai di seleksi.
Setelah tegukan terakhir dan gelas disimpan kembali ke meja, Via menuju meja kasir. Ia membayar semua tagihan, lalu bersama Anjas dan lainnya meninggalkan kantin menuju ke tempat percetakan.
Di tempat percetakan Anjas langsung menyapa editor fotonya yang ternyata adalah teman SMPnya.
“Hey Bro” kata Anjas
“Anjas?” Kata temannya yang ternayata bernama Berk.
“Ada apa ke sini?” Katanya lagi.
“Kawan, tolong kami. Gabungkan beberapa foto ini lalu cetak sebanyak mungkin,” ucap Anjas sambil memberi kamera, lalu menjelaskan maksud mereka kepada Berk.
“Wah … ini sangat berbahaya teman. Aku tidak ingin merugikan pihak lain.” Kata Berk.
“sudahlah Kawan … lakukan saja. Tolonglah kami. Aku akan melindungi mu, jika terjadi apa-apa.” Jamin Anjas.
“Baiklah, ini yang terakhir. Lain kali aku tidak mau,” ujar Berk sambil membuka komputernya dan langsung mengedit beberapa foto terpilih.
Beberapa menit kemudian, Berk menunjukan hasil editannya.
“Bagaimana?” Ujarnya sambil menunjukan hasil editannya
“Perfec,” kata Viki gembira.
“Kamu sangat berbakat teman,” kata Anjas tulus memuji kemampuan Berk dalam mengedit fhoto.
“Tolong perbanyak.” Kata Anjas lagi
Namun kali ini Berk tidak mau mengikuti keinginan Anjas. Dia menyarankan agar mereka mencari tempat lain saja untuk memperbanyak foto editan itu.
Anjas kesal mendengar hal itu.
“Mengapa tidak mau?” Tanya Anjas.
“Cukuplah bantuan ku. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dalam merusak kehidupan orang lain,” jelas Berk.
“Baiklah, kalau begitu berapa ongkos rekayasa fotonya?” Kata Anjas sambil mengeluarkan uang untuk membayar, namun segera ditolak juga oleh Berk.
Ia tidak membutuhkan bayaran atas kerja kotor seperti itu. Iapun menyesal karena telah membantu merekayasa foto.
“O begitu, terima kasih sekali lagi,” kataAnjas kesal dengan sikapnya Berk yang menurutnya sok suci. Lalu mereka meninggalkan percetakan itu.
Dalam perjalanan ke percetakan lain, sekali lagi Anjas menemukan ide, lalu memberi masukan agar sebaiknya foto itu tidak perlu di cetak, cukup membayar orang saja untuk menyebarkan fotonya secara elektronik.
“Romi” sebuah nama diucapkan Viki. Kemudian mereka segera memutar arah lalu menuju ke rumah Romi.
Sementara Viki dan kawan-kawannya ke rumah Romi, Ivan pun telah selesai membersihkan semua kolam, lalu pergi kebawah pohon tempat Fania beristirahat.
Duduk berhadapan dengan Fania, namun sedikit menjaga jarak, Irvan memulai percapakan keduanya.
Mereka asik ngobrol hingga akhirnya Irvan menanyakan tentang sebab Fania datang membersihkan kolam, karena itulah pertanyaan yang paling membuatnya penasaran sejak tadi
Faniapun mulai menceritakan semuanya tanpa mengurangi sedikitpun.
Ia mengatakan bahwa awalnya dia berada dikantin, lalu dipanggil Via, katanya, Viki dan Kawan-kawannya menargetkannya untuk dikeluarkan dari kampus.
Fania yang juga bisa berkuliah hanya karena beasiswa dari pemilik saham, mau tidak mau menanyakan tentang apa yang harus diperbuatnya agar tidak dikeluarkan?
Via mengajaknya bertemu dengan Viki dan kawan-kawannya agar dapat memohon secara langsung dan seterusnya sampai akhirnya bisa sampai ke kolam ini.
Begitulah cerita Fania tanpa mengurangi satu pun kejadian yang dilewatinya tadi.
Mendengar semua cerita itu, Irvan merasa ada yang tidak beres, lalu berkata bahwa kemungkinan besar mereka telah dijebak oleh Viki dan kawan-kawannya.
Fania yang polos, tidak percaya dengan kecurigaan Irvan. Katanya “kita harus berpikir positif”
Lalu untuk meyakinkannya, Irvan menceritakan semua kejadian yang dialaminya di asrama Rika sampai dengan hukuman saat ini.
Irvan merasa hukuman yang dialami ini adalah keinginan Viki dan kawan-kawannya.
Bagai menggabungkan bebrapa puzel, Fania mulai paham.
“Aku mengerti sekarang. Berarti aku dimanfaatkan untuk menjebak kamu!” jjar Fania.
“Kak Irvan ... Aku tidak tau kalau mereka memanfaatkan ku untuk berbuat jahat kepadamu,” ucapnya lagi
“Iya tidak apa-apa. Aku juga belum tau apa yang mereka rencanakan” kata Irvan.
“Sudah … waktu sudah sore, ayo kita pulang” ajak Irvan
“Kita lihat saja, apa yang mungkin terjadi padaku atau mungkin kita berdua” kata Irvan lagi dengan pasrah, diikuti anggukan Fania.
Setelah Fania berdiri, ia kembali meraih bajunya yang dijemur tadi lalu pergi lagi dibalik pohon untuk mengganti.
Setibanya disana, ia segera melepas bajunya, tiba-tiba...
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments