Fania tidak ingin Irvan tahu penyebabnya datang membersihkan kolam. Dia kuatir jangan-jangan jadi masalah, karenanya sebelum ada pertanyaan lagi ia terlebih dahulu mohon diri untuk pergi ke kolam lain
Irvanpun mengiyakan sambil memberi pesan agar Fania berhati-hati sebab kolamnya licin. Fania mengangguk, lalu pergi ke kolam yang paling ujung.
Berada di belakang mereka, diantara semak-semak, Viki, Reis, Anjas dan Via duduk sambil menyesal. Harapan mereka sejak tadi membuntuti Fania, gagal.
Harusnya pekerjaan mereka sudah selesai, jika tadi Irvan menabrak Fania dan keduanya jatuh saling menindih.
Mereka ingin Irvan memeluk Fania saat jatuh saling menindih, karena dengan begitu, mereka bisa memotretnya dan memiliki bukti foto yang jelas untuk memfitnah Irvan.
Walaupun sedikit kesal, namun semangat keempat orang itu tidak pudar. Mereka tidak akan berhenti sebelum mendapatkan sesuatu untuk dijadikan alasan siasat jahat mereka.
Mereka membagi tempat agar lebih mudah membuntuti kedua orang yang sedang membersihkan kolam itu.
Via bersama Reis pergi ke sisi timur, sementara Viki dan Anjas tetap disana untuk memperhatikan Irvan.
“Hati-hati dan jangan ribut, supaya tidak ketahuan,” kata Anjas memberi pesan kepada Via dan Reis, lalu sambil menunduk keduanya berjalan ke tempat yang ditunjukan pada mereka.
Setibanya disana, Via dan Reis mengambil posisi yang strategis untuk memotret, kalau-kalau saat yang mereka tunggu terjadi.
Sementara ke empat orang itu sibuk bersembunyi menantikan niat jahat mereka tercapai, Fania dan Irvan tetap menjalankan kerja mereka dengan iklas.
Tidak ada sedikitpun rasa tersiksa terlihat di wajah mereka. Keduanya kelihatan bahagia menjalankan hukuman itu.
Sambil membersihkan, kadang-kadang Irvan mencuri pandang, ia melihat Fania dari kejauhan. Ia sangat terpesona dengan Fania. Sudah cantik, lembut lagi suaranya. Puji Irvan dalam hatinya.
“Manis sekali ….” Puji Irvan dalam hatinya ketika ia mengingat senyuman Fania.
Keinginan awalnya untuk menutup diri dari persoalan cinta ternyata tidak bertahan. Temboknya mulai retak sejak ia berkenalan dengan Fania tadi. Rasa suka mulai muncul dihatinya.
Di tempatnya, Fania yang sadar bahwa Irvan sering mencuri pandang kepadanya, tersenyum-senyum sambil bekerja.
Hatinya gembira. Entah apa penyebabnya? Tidak diketahuinya, tapi yang pasti pertemuanya dengan Irvan kali ini memunculkan rasa bahagia yang sulit dijelaskannya
“Na … nana ... nana ... na, na … nana ... nana ... na ….” Nyanyi Fania mengekspresikan kebahagiannya.
Ditempat persembunyian, Via dan Reis merasa sangat jengkel melihat Fania yang terus bernyanyi.
“Sial gadis itu, di hukum kok malah bahagia.” Kesal Via.
“Sudahlah … kita tunggu saja waktunya, kebahagiaan itu hanya sementara.” Jawab Reis menghibur.
“Lihat, Fania mulai membersihkan bagian tengah kolam. Alatnya pendek. Pasti dia akan berdiri di tepi kolam. Mudah-mudahan dia segera jatuh, karena tepi kolam itu sangat licin.” Kata Reis lagi penuh harap.
“Na … nana ... nana ... na, na … nana ... nana ... na ….”
Fania terus membunyikan nada-nada indah lagu kesukaannya, sedangkan Via dan Reis terus makan hati karena kesal menyaksikan kebahagiaan Fania.
Tiba-tiba…
“Lihat ... Lihat itu.... Yes … yes … yes....” Teriak Via penuh tekanan namun pelan
Bur!!!
“Tolong-tolong …” Fania berteriak ketakutan.
Harapan keempat orang itu terwujud. Via jatuh ke kolam.
Bukannya menolong, malah tertawa bahagia sambil sibuk menyiapkan kamera.
Via dan Reis, yang saking bahagianya hampir saja berpelukan, untung saja Via lebih dahulu menyadarinya.
“Apa yang mau kau lakukan,” kata Via mengagetkan Reis yang tangnnya telah sampai ke pundak Via.
Secara spontan Reis menarik kembali tangnnya lalu mengarahkan kamera ke arah kolam tempat Fania terjatuh.
Di kejauhan sana, Viki dan Anjas pun memutar arah kamera mereka ke tempat Fania. Viki sangat senang sambil mengutuki Fania, katanya “mampus kau”
Fania tidak bisa berenang. Kaki dan tangannya meronta-ronta di air seakan mencari pegangan dan pijakan namun semuanya sia-sia.
Fania berteriak lebih keras lagi meminta tolong hingga suara kasarnya keluar menggema di udara.
Irvan yang baru mendengar teriakan ke dua ini, segera melihat ke kolam ujung sambil berpikir ada apa dengan Fania. Iapun mengarahkan pandangannya kesana kemari untuk mencari keberadaan Fania. Namun ia tidak melihatnya
Irvan mulai curiga, jangan-jangan Fania jatuh, lalu langsung mengarahkan matanya ke dalam kolam.
Benar kecurigaannya, ada sepasang tangan naik dan turun di permukaan kolam. “Fania tenggelam” katanya sambil berlari dengan kencangnya menuju ke kolam ujung.
Burrrr!
Tanpa menunggu lama, Irvan menyebur dirinya ke kolam, memunculkan percikan air ke samping kiri dan kanan bagaikan mancuran di taman.
Ia berenang sangat cepat sampai ke tempat dimana Fania tenggelam.
“Fania … Fania … dimana kamu?" Teriak Irvan sambil berenang kesana kemari.
Irvan terus berenang sambil menyelam, namun tidak menemukan apa-apa.
Irvan kembali menaikan kepalanya ke permukaan air, menarik nafas lalu menyelam lagi hingga beberapa kali. Hasilnyapun nihil.
Ia kecapean, tapi tetap bertekat untuk menemukan Fania. Kali ini ia berenang ke bagian tengah kolam. Tiba tiba, seperti merasakan sesuatu.
Irvan menarik napas dalam-dalam, lalu menenggelamkan tubuhnya untuk memastikan apa yang disentuh oleh kakinya.
“Ya ... betul. Ini manusia,” ucap Ivan dalam hatinya ketika tangannya menyentuh sesuatunya Fania.
Irvan segera menarik Fania ke permukaan air, mendorongnya ke tepi, lalu dengan sekuat tenaga mengangkatbya keluar dari kolam.
“Fan … jangan mati Fan … kita baru saja kenalan” ucap Irvan sambil memperhatikan bagian dada Fania apakah ada gerakan tanda masih bernapas atau tidak.
Karena tidak melihat ada tanda pergerakan, Irvan merapatkan telinganya ke hidung dan mulut Fania untuk merasakan napasnya, “tidak ada juga.” Kata Irvan
“Jangan panik, jangan panik,” ucap Irvan menguatkan dirinya sambil mengarahkan tangnnya ke leher Fania untuk mengecek denyut nadi. Ia tidak merakan apa-apa disana lalu mencobanya lagi dibagian tangan.
Denyut nadi Fania tidak juga terasa ditangan. Irvan tidak habis akal. Ia tahu bahwa saat ini yang harus dilakukannya adalah pemberian tindakan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation).
Memang ada perasaan lain, ketika Irvan membayangkan akan melakukan tindakan itu, tapi ia tidak mempedulikan perasaannya demi keselamatan Fania. Ia segera melaksanakannya.
Irvan menindihkan kedua tangannya ditengah-tengah dada Fania, lalu ia tekan sedalam lima centimeter secara berulang sebanyak 30 kali dalam hitungan dua puluh detik.
Saat Irvan sedang memberi pertolongan pertama, dua buah kamera yang telah stand by sejak tadi menunggu adegan ini secara berulang kali terus mengambil gambar.
“Pret, pret, pret ….” Suara jepteran kamera.
“Trus perhatikan dan selalu bersiap.” Kata Via mengingatkan Reis sambil berpikir semoga ada adegan pemberian napas buatan.
Ditempat yang berbeda, Viki bergembira, karena rencana mereka terwujud dalam waktu yang singkat. Ia berkata kepada Anjas, tetapi maksud sesungguhnya ditujukan untuk Irvan
“Ayo cepat … berikan napas buatan … jika tidak kekasihmu akan mati. Ayo cepat brengk**k” kata Viki tidak sabar.
Disisi Irvan, karena tekanan-tekanan yang dilakukan itu tidak membuahkan hasil, maka ia akan mencoba tindakan yang terakhir.
“Saatnya untuk mencoba cara yang terakhir,” pikir Irvan. Jika gagal lagi, ia telah bertekat untuk membawa Fania ke ruang P3K kampus agar bisa mendapatkan pertolongan medis.
Kali ini, ia akan memberi napas buatan untuk membuka jalan napas Fania.
Dengan sangat hati-hati Irvan memiringkan kepala Fania ke belakang lalu mengangkat dagunya.
Viki yang memperhatikan adegan itu langsung berkata “yes … yes… ambil semua adegan itu!” perintahnya kepada Anjas.
Sementara diposisi Via, Reis berujar “Benar Irvan ... itu tindakan yang baik,” ejeknya bahagia karena melihat Irvan akan memberi napas buatan.
Secara perlahan Irvan terus mengangkat dagu Fania. Dalam pikirnya ia mengharapkan keselamatan Fania Irvan menjepit hidung Fania hingga tertutup rapat, kemudian mengambil napas normal lalu menutup mulut Fania dengan mulutnya untuk membuat segel kedap udara, lalu ia hembuskan udara dua kali dalam hitungan sedetik.
Irvan berjuang untuk selamatkan Fania, tetapi dari tempat yang tidak diketahuinya ke empat orang itu terus mengambil gambar fotonya.
Dirasa foto-foto yang mereka ambil sudah cukup, Viki memberi kode kepada Reis dan Via, agar mereka meninggalkan tempat itu.
Dalam perjalan pulang Viki sangat bahagia sekali karena tinggalah satu langkah lagi, maka musuh besarnya dipastikan akan dikeluarkan dari kampus.
Kebahagiaannya itu patut untuk dirayakan pikirnya, lalu ia mengarahkan ketiga kawannya agar menuju Kantin.
Sementara ke empat orang itu kembali, Irvan juga berencana membawa Fania ke ruang P3K. Sekuat tenaga ia menggendong Fania, namun baru beberapa langkah berjalan, ada semacam suatu dorongan dalam hatinya untuk mencoba sekali lagi.
Irvan menuruti dorongan hatinya. Ia kembali ke tempat semula, membaringkan Fania secara perlahan untuk memberikan CPR lagi.
Irvan kembali membuat tekanan di dada Fania seperti awalnya, namun tidak membuahkan hasil apapun juga.
Tubuh Irvan melemas karena pikirnya jangan-jangan Fania!
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments