Tiara terpekur di sisi ranjang yang besar. Sudah dua minggu belakangan ia tak saling bertegur sapa dengan Prabu, sejak terakhir kali. Jauh di lubuk hati terdalam Tiara merasa hampa saat tak lagi mendengar suara pria itu memujanya.
Namun, di sisi lain ia merasa inilah yang terbaik, daripada menggantungkan asa pada awan yang rapuh. Tambatan yang siap runtuh kapan saja, karena jarak dan tak adanya keseriusan.
Tiara mendesah, lalu menyapukan pandangan ke sekeliling kamar yang ia tempati. Desain interior kamar ini sungguh mewah, membuatnya tak pernah bosan. Dilengkapi sebuah bath tub di kamar mandi yang luas, juga walk in closet untuk menampung barangnya yang tak seberapa.
Ada kesepian yang menyusup perlahan, lagi-lagi mengusik Tiara. Menepikannya dalam gundah, atas kerinduan yang ia tak yakin akan berbalas. Terlebih bayangan kemesraan dengan sang tuan yang menghias di tiap sudut kamar. Jejak kehangatan yang sekuat tenaga ingin dihapusnya dari pikiran, dan berjanji akan fokus bekerja, demi adik dan bunda di kampung halaman yang menggantungkan hidup padanya.
Tiara meremas ponsel yang menampakkan wajah sang ibunda. Di permukaan layar berukuran lima inci itu wajah ibunya tampak bersahaja, menuju pulih yang sebenarnya. Meskipun demikian, masih banyak terapi yang harus dibayar, juga serangkaian pengobatan harus dilaksanakan.
Melihat prospek kesehatan ibunya semakin membaik dari hari ke hari, tentu saja Tiara merasa bahagia. Namun, ada kesedihan mendekap, mana kala malam bersama Prabu terlintas di benak. Pun saat pria itu kembali memperlakukannya layaknya sepah yang siap dibuang. Menggenggam ponsel semakin erat, Tiara memejam rapat.
Apa yang akan disampaikannya pada sang ibunda nanti? Bahwa ia gagal menjaga diri dan semuanya terjadi di luar kesadarannya?
Tiara bangkit, lalu memasukkan kembali ponsel di dalam laci. Seperti saat pertama kerja dulu, sekarang ia melewatkan waktu makan untuk menyendiri di dalam kamar. Kadang menangis, tak jarang merenung. Sehingga badan yang tadinya padat, kini kurus kembali. Pipi yang semula berisi, kini tirus kembali. Juga kantung mata yang membuatnya terlihat sembab, tak sesegar biasanya.
Sadar jika waktu istirahatnya telah usai, Tiara segera membasuh wajah dan merapikan tatanan rambutnya sebelum keluar.
“Kamu tidak makan siang?”
Langkah Tiara menuju kamar Sundari terhenti, saat terdengar sapaan dari arah belakang. Saat berbalik, didapatinya Nurma berdiri dengan lipatan seprei di tangan.
“Ah, saya sudah makan, Bu Nurma.” Tiara mengangguk hormat, menghindari tatapan sang kepala pelayan yang mengintimidasi. Ia tahu, saat ini mungkin Nurma sedang mencurigainya.
“Tapi kata pelayan yang lain tidak demikian.” Nurma mendekat, hingga kini ia berdiri sejajar dengan Tiara. “Kata mereka, sudah beberapa hari ini kamu melewatkan makan siang bersama. Ada apa?” Nurma ingin tahu.
“Ah, maaf, Bu Nurma. Tapi saya memang sedang—“
“Nurma, tolong ambil beberapa jas di mobilku, dan segera bawa ke loundry.”
Suara di ujung tangga menghentikan perbincangan Nurma dan Tiara. Kedua wanita berseragam pelayan itu berbalik, dan menunduk hormat. Sang tuan muda tengah mendekat dengan langkahnya yang tegap.
“Baik, Tuan.” Nurma mengangguk patuh.
“Jangan bawa ke ruang binatu. Termasuk beberapa kemejaku yang baru.” Prabu memberi titah sambil terus menyusut jarak.
Nurma mengiyakan, lalu beranjak. Menyisakan Tiara yang berdiri kaku, tak tahu harus berbuat apa. Sekadar berbasa-basi atau menyapa, ia bahkan terlalu enggan.
“Kenapa?” Prabu menghentikan langkah, saat tiba tepat di sisi Tiara yang menunduk. Andai memiliki tinggi yang sama, mungkin bahu mereka akan bersentuhan sekarang.
Tiara menoleh, dan bertanya, “Apa maksud Tuan?”
“Jangan melewatkan makan siang, juga waktu makanmu yang lain. Atau aku yang akan menyuapimu, tak peduli ada pelayan yang melihat atau tidak.”
Prabu berucap dengan nada datar, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Tiara yang masih bergeming di posisi semula. Nada dingin sang majikan mengingatkan Tiara pada Prabu saat pertama kali datang kemari. Menakutkan.
‘Aku memang bersalah telah berpikir dia akan menjadikanku berharga.’
**
Sundari memperhatikan pelayan yang kini memijat kakinya. Ia bisa merasakan jika gadis itu berubah belakangan ini. Tampak selaku murung, bahkan menurut kabar tang ia dengar, Tiara lagi-lagi melewatkan semua waktu makannya.
Mungkin gadis itu tengah ada dalam fase jenuh, lelah, atau memikirkan sang ibunda yang terbaring sakit. Akan tetapi, Sundari menduga ada hal lain, dan bisa saja semua itu karena Prabu.
“Apa Prabu memarahimu?” tanyanya hati-hati.
“Tidak, Nyonya.”
“Lalu, kenapa aku melihatmu berubah akhir-akhir ini? Sebulan belakangan kamu berbeda, Tiara. Dan biasanya, jika ada pekerja yang bersikap demikian, itu karena Prabu sering menumpahkan kemarahan.” Sundari berusaha memberi penjelasan.
Tiara menggeleng, dan tersenyum tipis. “Jika seorang majikan memarahi pelayannya, maka itu adalah hal yang wajar, Nyonya. Begitu juga Tuan Prabu.” Tiara masih memijat sepasang kaki putih di hadapan dengan lembut.
“Dia masih berusia lima tahun waktu ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tak hanya ibunya, tapi kakeknya yang tak lain adalah suamiku pun turut meninggal dalam kecelakaan itu.”
Mendengar kisah itu, Tiara yang tengah memijat kaki Sundari menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya wajah sang majikan yang tersaput mendung, dan tampak lelah.
Beberapa hari belakangan, ia memang berusaha membuat Sundari kembali berjalan. Tidak mudah, karena kesehatan sang majikan sempat menurun, karena terlalu memaksakan diri.
“Kecelakaan itu tidak hanya menghancurkan keluarga dan kerajaan bisnis kami, tapi juga diriku sendiri. Berhari-hari aku kehilangan kesadaran, tak bisa menerima itu semua. Sampai saat aku sadar kembali, aku tinggal seorang diri, dan hanya Prabu yang kumiliki.”
Tiara masih menyimak dengan saksama.
“Dia dibesarkan dalam asuhan Nurma sejak kecil. Tidak ada kasih sayang yang lain, karena aku sibuk dengan kehancuranku sendiri. Aku jadi sangat tergantung pada orang lain, lalu memutuskan tak ingin berjalan lagi sampai akhir hayatku. Karena sejak suami dan anakku pergi, hidupku jalan di tempat, dan berada pada pusaran kesedihan yang sama dari hari ke hari.”
Sundari menjeda kalimat, dan menarik napas panjang. Tatapannya menerawang ke luar, ke arah jendela besar yang menampilkan bias lampu taman di bawah sana.
“Lima belas tahun kemudian aku berusaha dan belajar jalan lagi. Tapi, kakiku seperti kehilangan daya, dan semua terlambat. Aku semakin tua, dan menggantungkan diri pada orang lain.”
Tiara paham sekarang. Ia mengerti, mengapa dokter Hadi tak bisa menjelaskan apa pun, tentang kondisi medis menyangkut kaki sang majikan.
“Aku harap, suatu saat ada perempuan yang bisa menerima Prabu apa adanya, sebelum aku tiada.”
“Bukankah Tuan Prabu memiliki semua kriteria yang diinginkan perempuan? Tenty saja akan banyak yang mengajukan diri jadi pendampingnya.” Tiara berkata hati-hati.
Sundari menggeleng. “Tidak. Selama ini tidak banyak yang tahu kekurangannya.”
“Bukankah memang setiap orang memiliki kekurangan? Itu sebabnya pasangan akan melengkapi.”
“Prabu mencintai satu perempuan saja dalam hidupnya.” Sundari memberi penegasan dengan kalimat semakin lirih terucap. Lagi-lagi ada duka yang tampak di wajah tua itu.
“Lusi. Entah ke mana perempuan itu sekarang.”
“L-lusi?”
“Ya. Satu-satunya perempuan yang dicintai Prabu. Perempuan yang datang kemari dan mengaku mengandung darah keluarga Widjaya, lalu pergi entah ke mana. Saat itu, Prabu menolak kedatangan Lusi. Hal yang membuat Lusi mengucapkan serapah sambil menangis.” Mata Sundari berkaca-kaca.
“Aku tahu semua yang dilakukan Prabu di belakangku, termasuk perempuan-perempuan yang menghiasi ranjangnya. Sejak kepergian Lusi, dia mengalami kecelakaan. Dokter bilang, akan sulit baginya memiliki keturunan nantinya.” Sundari menghela napas dalam-dalam, merasakan pedih yang menggores di dada, atas nasib cucu semata wayang.
“Sejak itu juga, ia berubah menjadi mulai temperamen, dingin, dan suka berbuat sesuka hati. Mungkin itu juga sebabnya, dia banyak berganti perempuan selama ini. Prabu ingin memiliki anak, membuktikan bahwa dokter itu salah.” Sundari masih mengeja setiap kenangan dalam benak.
“Aku berpikir, mungkin itulah hal yang membuat dia nyaris gila saat kehilangan Lusi. Rasa bersalah. Entah karena cinta yang sebenar-benarnya, atau karena takut vonis dokter menjadi nyata.”
Sontak napas Tiara terasa sesak. Seperti ada batu besar yang menghantam dadanya, tatkala mendengar kisah itu terlantun dari Sundari.
**
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Ai Elis
aku hampir terkacoh krna berpikir eyang baik.padahal 😡
2022-04-06
0
Ida Lailamajenun
mgkn itu la kali Tiara gk Hamidun khn dah dua kali berhub ma prabu,biasa nya sekali aja ude tekdung😁😁berarti vonis dokter terbukti donk.wlpn ma wanita lain pkai pengaman tapi ma Tiara gk
2022-02-22
0
Lia Dahlia
pokus tiara ngurusin ibu dan adik mu ,
2021-04-05
0