12. Terhempas?

Setelah kondisinya semakin membaik, Sundari diperbolehkan pulang seminggu kemudian. Meskipun Dokter Hadi tetap memberi pendampingan suster setibanya di rumah, tapi kondisi nenek Prabu itu memang sudah cukup stabil.

Tentu saja itu menjadi ruang bernapas lega bagi Tiara. Pulang ke rumah berarti semuanya akan kembali ke titik normal lagi. Tidak ada berbagi handuk, atau kasur bersama Prabu. Pun tak akan ada lagi adegan yang membuatnya melambung, lalu terhempas dalam kecewa.

Bukan Tiara tak suka diperlakukan manis. Dalam lubuk hati terdalam, ia sangat nyaman bisa berada dalam pelukan sang tuan, dan mendapat perhatian lebih. Ia tak menampik, jika merasakan debar bahagia, juga merasa dilindungi dalam satu waktu karena sikap Prabu.

Akan tetapi, Tiara tak mau terlena dengan semua itu. Sebab, bisa saja rasa yang membuatnya melambung, itu juga yang akan menghempaskannya jauh ke jurang terdalam. Maka, sebelum itu terjadi, ia memilih tetap pada batasannya, sebagai pelayan yang bekerja dengan sepenuh hati.

“Ah, selesai!” Tiara menyusun bantal, lalu membantu Sundari bersandar dengan nyaman. Tugas memandikan dan mengganti pakaian sang majikan telah selesai ia lakukan.

Sementara itu, seorang suster utusan rumah sakit hanya mengamati dari sofa, yang terletak di sisi jendela besar. Petugas medis itu didaulat melaporkan perkembangan kondisi Sundari dari waktu ke waktu. Jadi, jika ada indikasi wanita itu mengalami penurunan kesehatan, bisa ditangani dengan cepat.

“Nyonya butuh sesuatu lagi?” Tanya Tiara setelah merapikan rambut Sundari yang memutih. Tak lupa mengusapkan hair lotion, agar sang nyonya tetap segar dan wangi.

Sundari tersenyum dan menatap Tiara. “Kamu istirahatlah, Tiara. Sepanjang minggu ini kamu pasti capek, ‘kan?”

“Kenapa harus capek? Apa Nyonya tahu, menyemangati Nyonya untuk sembuh itu menyenangkan?” Tiara tersenyum lebar, sambil memperbaiki selimut Sundari.

“Istirahatlah. Jangan menggombal terus. Nanti rambutku hitam lagi!” Sundari bersungut-sungut. Kalimatnya lantas disambut gelak tawa oleh Tiara dan Suster.

“Istirahatlah. Kamu lelah, Tiara.” Sundari berkata serius, saat dilihatnya Tiara mengisi essential oil ke dalam disfuser. Dengan cekatan, gadis itu lantas mengelap setiap permukaan dengan cairan desinfektan seperti biasa.

“Ada Suster Eri yang menemaniku, dan nanti aku bisa memanggil Nurma.” Kalimat Sundari menghentikan aktivitas Tiara.

“Nyonya, saya tidak apa-apa. Sungguh—“

“Jangan membantah. Istirahatlah.”

Tiara melepas sarung tangan sembari mendekati ranjang. Dengan lembut, ia meraih jemari Sundari dan membawa dalam genggaman.

Dengan mata berkaca-kaca ia berucap, “Terima kasih. Terima kasih sudah berjuang, dan kembali pulih.”

Sundari merasa sebagian sisi hatinya menghangat oleh perkataan Tiara. Pelayan yang menemaninya selama tiga bulan itu benar-benar menepati janji, akan merawat layaknya ibu sendiri. Dan sekarang, ia merasa kembali memiliki seorang putri, setelah sekian lama kehilangan anak semata wayang.

Sundari melepas tangan dari genggaman Tiara. Dibelainya pipi gadis itu dengan lembut, seraya tersenyum.

“Aku beruntung karena Prabu menemukan gadis sebaik dirimu.”

“Saya yang beruntung, karena diterima dengan baik, Nyonya.” Tiara menggenggam jemari yang memegang pipinya.

“Istirahatlah. Biar Suster Eri yang menemaniku malam ini. Anggap saja ini liburanmu, setelah bekerja keras selama tiga bulan ini.”

Tiara mengangguk, lalu bangkit setelah memperbaiki selimut di bagian kaki Sundari. Ia menuju sudut kamar, dan mengambil seprei kotor di sana untuk dibawa kepada binatu.

Saat Tiara melintasi ruang tengah, suasana tampak seperti biasanya. Sepi, meskipun banyak pelayan yang masih berlalu-lalang. Sebagian membersihkan guci-guci keramik yang tertata di ruang tamu, sebagian lagi juga tengah membersihkan lantai yang tampak mengilap.

Ia lantas menuju ruang cuci di dekat paviliun, lalu berhenti di tepi kolam. Untuk sejenak ia berdiri di sana, lalu memejam. Dinikmatinya angin senja yang meniup pelan wajahnya, sebagai harmoni alam nan syahdu.

Entah kapan terakhir kali ia merasa sedamai saat ini. Yang pasti, ada kebahagiaan menyusup, dari semua kabar baik yang diterimanya belakangan ini. Ibunya yang sudah bisa berdiri dan jalan tanpa bantuan, serta nilai semester pertama Alia yang mendapat predikat terbaik. Belum lagi, kesehatan Sundari yang pulih lebih cepat.

Tiara membuka mata, lalu menghela napas sedalam yang ia bisa. Diedarkannya pandangan ke sekeliling, pada lampu taman yang telah dinyalakan. Cahaya yang terpantul di air kolam, membuatnya terpukau dengan suguhan nan indah.

Merasa cukup menikmati semua itu, Tiara berniat masuk ke kamarnya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ia, saat mendapati Prabu berdiri tepat di belakangnya.

“S—selamat malam, Tuan.” Ia menyapa sesantun mungkin, dengan kepala menunduk dan tangan saling bertumpu di depan perut.

Prabu menilik gadis berseragam ungu di hadapan seraya mendekat. “Kenapa di sini? Sudah makan?”

“Ah, saya baru saja menaruh pakaian dan seprei kotor ke ruang binatu.”

“Sudah makan?” Prabu mengulang tanyanya.

“Sebentar lagi, Tuan. Saya akan bergabung dengan para pelayan.” Tiara hendak menjauh, tapi Prabu menghalangi langkahnya.

“Temani aku di sini sebentar saja.” Prabu berkata sembari melonggarkan dasi. Dilepasnya jas yang membalut tubuh, dan menyampirkan begitu saja pada sandaran kursi.

“Maksud Tuan?”

Prabu berjalan memutari kursi santai di tepi kolam, dan berbaring di sana. Bertumpu pada satu lengan yang terlipat, ia menepuk sisi kosong di sisinya.

Mengetahui isyarat itu, Tiara mendekat. Akan tetapi, ia tidak duduk dan memilih tetap berdiri. Merasa perintahnya tidak diindahkan, Prabu membuka mata yang sempat memejam sejenak.

“Kemarilah.” Lagi, ia menepuk sisi kosong dengan tiga kali tepukan.

Tiara menggeleng pelan. “Maaf, Tuan. Saya tidak bisa. Ada banyak pelayan yang memperhatikan kita. Saya tidak ingin nantinya Tuan jadi bahan gunjingan mereka.” Ia menjawab takut-takut.

Seketika Prabu bangun, dan menatap Tiara dengan sorot tajam seperti biasa. Namun, tak lama kemudian ia melakukan panggilan telepon.

“Bu Nurma, siapkan makan malam di tepi kolam, sekarang!”

“Tuan?” Tiara melotot, tak percaya.

Prabu bangkit, dan berdiri sejajar dengan pelayannya itu. “Apa perlu aku menciummu di depan mereka?” Ia mencondongkan wajah, dan berbisik pelan tepat di telinga Tiara. Ia menyukai saat tubuh gadis itu menegang seperti sekarang.

Baru saja Tiara akan menjauh, saat beberapa pelayan muncul dan menata meja di tepi kolam, tak jauh dari mereka. Ada buket bunga indah, juga dua buah lilin yang berpendar manis, membuat suasana menjadi romantis.

Tiara terbelalak melihat kesibukan itu. Ia hanya menurut, saat akhirnya Prabu menggiringnya ke salah satu kursi, dan menikmati hidangan yang tersaji lima belas menit kemudian. Meskipun ia merasa canggung, karena beberapa pelayan melihatnya dengan tatapan aneh. Apalagi saat Prabu beberapa kalo menyuapinya.

**

Tiara terbangun karena haus yang menyapa. Usai makan malam tadi, ia langsung tidur. Benar kata Sundari, menjaga di rumah sakit selama seminggu penuh benar-benar membuatnya lelah. Sehingga ia tertidur begitu saja, bahkan lupa akan menelepon Alia lebih dulu.

Tiara melintasi ruang tengah yang sepenuhnya telah sepi. Sengaja ia tak mengenakan alas kaki, demi menghindari langkahnya terdengar orang lain. Menjadi satu-satunya pelayan yang tidak tinggal di paviliun belakang, membuatnya sangat menjaga sikap. Tak ingin melakukan kesalahan dengan menimbulkan gangguan sekecil apa pun.

Sedikit kesusahan Tiara menyesuaikan mata dengan cahaya lampu hias berpendar redup, menggantikan lampu yang biasanya benderang. Ia mengambil air secukupnya, lalu meneguk perlahan. Setelah mengisi gelas, ia pun berniat kembali ke kamar.

Sengaja ia berhenti saat mencapai ruang tengah, demi melihat ke arah jam gantung berukuran raksasa, yang menunjuk angka sebelas. Ia menguap sesaat, lalu tersadar sudah tertidur selama dua jam.

Perlahan, Tiara meneruskan langkah menuju kamar. Namun, lagi-lagi ia berhenti, saat mendengar desahan aneh dari sofa ruang tengah. Ia sedikit memicing, menyesuaikan tatapan dengan cahaya lampu.

Saat matanya telah fokus, Tiara terbelalak. Ia membekap mulut, agar tak berseru demi menyaksikan apa yang terjadi. Di depan sana, tak jauh darinya, Prabu tengah memagut seorang wanita bergaun seksi dengan penuh hasrat.

Serta merta Tiara memutar tubuh, dan melangkah cepat kembali ke kamarnya. Ditutupnya pintu dengan sangat hati-hati, lalu bersandar di sana. Entah mengapa, seketika ada yang terasa sesak di dadanya. Tiara meluruh, dengan tangan mendekap dada.

Sedetik kemudian ia menangis. Tak jelas apa yang begitu membuatnya sakit hati. Akan tetapi, rasa itu sungguh nyata melukai.

Saat larut dalam tangis itulah, untuk pertama kali ia merasa begitu bodoh. Bodoh karena terpedaya perasaannya sendiri, bodoh karena mengira Prabu menganggapnya berarti.

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Elis

Ai Elis

ini cerita nya aku suka.....😍😘💪

2022-04-06

0

Ida Lailamajenun

Ida Lailamajenun

klu dh tau bgt kelakuan prabu jgn tinggi berharap tiara.bgsnya sih menghindar..

2022-02-22

0

sun flower

sun flower

kan bner tiara di bilangin ngeyel sih...
maka nya jangan mudah baper...

2021-05-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!