8. Membuka Hati?

“Kalau boleh jujur, sebenarnya hampir saja Eyang Sundari tak tertolong.” Dokter berkacamata itu menjeda kalimat, dan menatap Prabu dengan saksama.

“Beruntung, gadis yang mengaku cucunya itu segera membawa Eyang Sundari kemari, dan menandatangani surat kuasa sebagai keluarga. Aku bahkan tidak membayangkan, kalau dokter yang berjaga kemarin malam itu menunggumu.”

Prabu menatap dokter bernama Hadi itu sambil mengetuk-ngetukkan jemari ke meja. Sementara, satu tangannya menumpu dagu.

“Jadi, dia ngaku sebagai cucu dari Eyang?” tanyanya kemudian.

“Ya.” Hadi menjawab cepat. “Bisa kamu bayangkan, jika dia mengaku hanya sebagai pelayan. Apa kamu pikir petugas mau menindak Eyang Sundari?” Hadi balas bertanya.

“Ah, begitu rupanya.”

Prabu mengangguk-angguk. Entah karena paham, atau karena coba mencerna alasan Tiara nekat membawa neneknya. Meski Hadi berusaha menjelaskan bahwa tindakan Tiara benar, entah mengapa Prabu masih sulit menerima. Jika Tiara mampu bergerak secepat itu, hanya dengan bantuan seorang sopir saja.

“Setidaknya, dia adalah pelayan yang harus kamu jaga, Prabu. Melihat kesungguhannya membawa Eyang kemari, jelas dia bekerja bukan hanya demi uang, tapi benar-benar mengabdi.”

Prabu menegakkan tubuh, lalu bersedekap. “Lalu, kenapa kamu tidak menempatkan Eyang di tempat yang layak? Kenapa harus di kamar kelas rendahan seperti itu?”

Kali ini Prabu menghardik Hadi. Teman semasa kecil, alasannya menjadi salah satu donatur tetap rumah sakit besar ini.

Hadi mendengkus. “Tidak semua dokter dan suster di rumah sakit ini mengenal para donatur dan pemegang saham. Apa kamu lupa itu?”

“Paling tidak—“ Prabu berusaha menyela, tapi segera dibantah oleh Hadi.

“Mungkin salah satu dokter senior masih mengenalmu. Tapi, Eyang? Hanya beberapa saja yang mengenal Eyang. Ayolah, Prabu kamu tidak setenar itu, sampai semua orang di kota ini mengenalmu! Lagi pula, kamar kelas dua pun tidak terlalu buruk! Pelayanan kami, para tenaga medis itu tetap berdasarkan kemanusiaan, bukan bisnis dan uang semata!” Hadi berkata panjang lebar.

Prabu hanya menyimak sepintas lalu, san bangkit setelah melirik jam tangannya. Gara-gara kekacauan sepanjang pagi ini, ia bahkan lupa jika ada rapat penting yang harus dihadirinya jam sebelas nanti.

“Oke, aku permisi. Laporkan semua perkembangan Eyang, sekecil apa pun. Aku mau ada beberapa suster yang menjaga, juga pendampingan dokter sesering mungkin.”

“Oh, iya, Prabu.” Hadi ikut bangkit dari kursi.

Langkah Prabu menuju pintu terhenti, saat Hadi memanggil. Ia lantas berbalik, mendapati Hadi menatapnya dengan serius.

“Kenapa?”

“Apa sampai sekarang Eyang masih belum mengatakan apa pun?”

Prabu tersenyum masam dan menggeleng. “Sepertinya, aku tidak akan mendapatkan info apa pun.” Begitu jawabnya diiringi desah putus asa.

Hadi menatap penuh iba. Ia lantas mendekat, dan berkata, “Ah, aku hampir lupa. Pelayanmu itu menjaminkan ponsel dan sejumlah deposit di bagian administrasi. Apa mungkin ... dia sudah bilang padamu?”

Prabu menatap Hadi dengan saksama. Lagi-lagi tidak menyangka, jika gadis yang tadi ditamparnya hingga tersungkur melakukan hal sejauh itu pada eyangnya.

Bentuk kepedulian yang diyakini Prabu hanya terjadi di dalam sebuah drama saja.

Tak mengucap kata apa pun, Prabu meninggalkan ruangan Hadi dengan langkah lebar.

***

Tiara mundur beberapa langkah setelah mengetahui siapa yang masuk ke ruang rawat. Saat ini, sang majikan telah dipindahkan ke ruangan President Suite yang terletak di lantai sebelas rumah sakit. Hamparan kota tampak bagai kotak-kotak kecil dari tempatnya sekarang. Menyerupai lukisan yang tersaput warna putih, sebab indahnya pemandangan di bawah sana terhalang asap polusi. Khas pemandangan metropolitan yang sibuk.

Ia sedikit menjauh, saat Prabu menghampiri Sundari yang tengah terlelap. Pengaruh obat dan lelah melawan penyakit yang mendera tiba-tiba tentu saja membuat Sundari lemas. Tiara paham benar, jika sang majikan butuh istirahat lebih banyak setelah berjuang sepanjang malam.

Dengan sudut mata, Tiara mendapati Prabu menggenggam jemari sang nenek dengan lembut. Pria itu juga mengecup dahi Sundari lama, seakan-akan menyalurkan kerinduan. Pemandangan serupa yang didapati Tiara, sepulang Prabu bekerja. Hanya saja, kali ini lelaki itu tampak bersedih.

Ruangan semakin hening, sampai hela napas dan detak jam terdengar nyaring. Usai memastikan bahwa Sundari benar-benar lelap, Prabu melangkah ke arah Tiara, dan duduk di sofa.

Tiara tetap menunduk, tak berani menatap Prabu yang kini duduk selangkah saja di depannya. Peristiwa tadi pagi masih membekas dalam ingatannya, diiringi bayang-bayang ketakutan. Bahkan, pipi bagian dalam dan sudut bibirnya masih terasa perih akibat tamparan Prabu tadi.

“Duduklah.”

Begitu perintah Prabu sangat pelan, sambil menepuk sofa tepat di sisinya. Tak ingin mengganggu neneknya yang sedang beristirahat. Sebab ia tahu, jika Sundari agak sensitif terhadap bunyi-bunyian.

“S—saya, Tuan?” Tiara melakukan penekanan suara serendah mungkin, dan bertanya penuh keraguan.

Namun, sedetik kemudian ia mendekat, saat melihat Prabu mengangguk mantap. Ia lantas mengayun langkah amat sangat pelan, sedangkan jantungnya berpacu amat sangat cepat.

Awalnya Tiara takut mendekati sang majikan, tapi ia memutuskan duduk dengan canggung, saat sekali lagi Prabu menepuk sofa di sisi. Ia mengenyakkan tubuh perlahan, dengan dada terasa sesak. Bayangan akan dipecat dan tak bisa membiayai pengobatan ibunda yang masih berjalan, membuat gadis itu dihantui rasa bersalah.

“Saya mohon maafkan kelancangan saya tadi, Tuan. Saya sama sekali tidak berniat membangkang atau menentang Anda. Saya hanya takut terjadi apa-apa pada Nyonya. Saya tidak bisa melihat itu semua—“

Kalimat Tiara terhenti, saat ia merasakan telapak tangan kokoh menangkup pipi kirinya. Mata Tiara membulat, saat mendapati Prabu menatapnya dengan lembut.

“Apa ini sakit sekali?” tanya Prabu. Diusapnya luka di sudut bibir Tiara dengan ibu jari, sedangkan matanya tertuju lurus. Mendebarkan dan menghanyutkan dalam satu waktu.

“T—tuan?” Tiara merasa sekujur tubuhnya membeku sekarang. Perlakuan Prabu ini mengingatkannya pada malam itu, kala kakinya terluka.

Namun, Tiara tak ingin berprasangka atau menaruh harap. Nyatanya, setelah malam itu Prabu pun masih bersikap pasar dan tak acuh padanya. Maka, tidak akan ada pembeda bagi Tiara, kelembutan Prabu kali ini, atau saat membebat luka di kakinya beberapa waktu lalu. Tetap saja, jurang antara mereka terlalu dalam, untuk sekadar mengakrabkan diri. Dan sebagai pelayan, Tiara paham batasan itu. Ketentuan mutlak yang tak bisa ia lewati.

“Apa ini sakit?” Prabu mengulang tanya, kali ini sambil mengusap pipi Tiara dengan lembut.

Diperlakukan demikian, tak urung pertahanan Tiara melemah. Matanya yang sejak tadi mengumandangkan kekuatan, kini mulai mengembun. Mengurai ketakutan akan hilangnya pekerjaan, sebulir air meluncur di pipinya yang mulus.

“Maafkan aku.”

Mendengar itu, Tiara meremas jemarinya yang terbiar di pangkuan. Ia menunduk dalam, dengan bahu mulai terguncang pelan. Bagaimanapun, hatinya sangat terluka dengan semua penghinaan Prabu yang begitu merendahkan.

“Maaf sudah berlaku kasar, padahal seharusnya aku berterima kasih.”

Tiara tak menjawab, dan terus terisak. Tangan Prabu di pipinya masih melemahkan seluruh tubuh, hingga menyeka air matanya saja ia tak mampu. Lebih tepatnya bingung dengan reaksi apa yang akan diberikan.

Prabu menatap gadis di hadapan dengan selintas rasa bersalah. Dibiarkannya Tiara menangis, menumpahkan kekesalan dan ketakutan.

“Semua tentang Eyang, aku serahkan padamu mulai sekarang. Jangan segan menghubungiku, kapan pun kamu mau mengabarkan kondisi Eyang. Apa kamu mengerti?”

Tiara mengangguk beberapa kali tanpa menjawab bahkan mengangkat wajah. Namun, lagi-lagi ia terkejut saat Prabu mengangkat dagunya. Membuat pandangan mereka beradu dalam hening.

Prabu mengusap jejak basah di pipi Tiara, sambil mengucap maaf sekali lagi.

“T—tuan tidak perlu meminta maaf. Semuanya—“

Cup!

Kalimat Tiara terhenti, saat Prabu mengecup sudut bibirnya yang terluka. Sekujur tubuhnya membeku, dan dunianya seperti berhenti saat itu juga.

Seolah-olah tak terjadi apa pun, Prabu merogoh saku jas, dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Ponsel dan uang Tiara yang diambilnya dari bagian administrasi.

“Aku akan pulang cepat hari ini. Jaga Eyang sampai aku kembali. Kamu bersedia, ‘kan?”

Prabu berucap sembari meletakkan ponsel ke telapak tangan Tiara. Setelah itu, ia bangkit dan berjalan menuju pintu. Meninggalkan Tiara yang masih membatu ditempat, bergelut dengan perasaannya sendiri.

Apa aku tadi bermimpi? Apa itu tadi benar-benar Tuan Prabu? Lalu kenapa?

Tiara mengangkat wajah dan melayangkan pandangan menuju pintu. Pada saat yang sama, Prabu berbalik dan tersenyum padanya, sebelum pria itu benar-benar menghilang di balik pintu.

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Norfadilah

Norfadilah

Modus ya Bang.. 🤣🤣

2023-06-11

0

Ai Elis

Ai Elis

sangat sulit bagi Tiara buat bersikap.

2022-04-05

0

Ida Lailamajenun

Ida Lailamajenun

jgn cepat tergoda Tiara harga diri Lbh penting wlpn kita hanya pelayan

2022-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!