Prabu menghadap ke layar laptop yang menampilkan grafik penjualan. Akan tetapi, pikirannya melayang entah ke mana. Menyusuri lorong waktu, menembus kejadian seminggu yang lalu. Hal yang membuatnya merasa canggung jika kembali ke rumah, untuk pertama kali.
Prabu mengembuskan napas berat, lalu mengubah posisi menjadi bersandar. Satu telapak tangan menggulung dan ditempelkan di mulut, sedangkan tangan yang lain mengetuk meja. Tampak jika ia sedang memikirkan sesuatu yang menjadi beban.
Sesaat kemudian Prabu bangkit dan menutup laptopnya. Ia keluar sembari melakukan panggilan pada sang sekretaris, berpesan akan makan di luar dan berkata akan kembali sebelum pukul tiga sore.
“Tuan?”
Nurma menyapa dengan sedikit terkejut, saat melihat Prabu. Bukan tanpa alasan, sebab sang tuang tidak pernah pulang secepat ini, bahkan jam masih belum menunjuk angka dua belas.
“Siang ini aku mau makan di rumah sama Eyang. Siapkan ruang makan di atas dalam beberapa menit.” Prabu melangkah masuk sambil melonggarkan dasi, dan menggulung lengan kemeja sampai di siku.
“Baik, Tuan.” Sang kepala pelayan berseragam merah muda itu mengangguk patuh.
Nurma menatap Prabu yang kini menapaki anak tangga dengan langkah tenang. Sejenak ia bertanya dalam hati, tentang perubahan sikap tuannya yang tak biasa. Secara keseluruhan, Prabu tetaplah sedingin dahulu di matanya. Namun, sekarang ada yang berbeda, yaitu nada bicara yang jarang meledak-ledak dan diliputi amarah.
Nurma menggeleng pelan, lalu menuju ke dapur. Sesegera mungkin ia memberi titah pada beberapa pelayan untuk memasak menu kesukaan Prabu. Tak lupa ia menyuruh dua orang menyiapkan ruang makan di lantai dua. Sebuah ruangan khusus, yang menampilkan kolam dan taman. Ruang yang hanya dipakai sesekali, sebagai jamuan makan kolega bisnis atau tamu penting.
“Prabu? Pulang di jam seperti ini, ada apa?” Sundari yang tengah merajut menghentikan aktivitas, saat melihat cucunya masuk ke kamar.
“Apa Eyang mau memaksaku bekerja dari pagi sampai tengah malam terus menerus?” Prabu mendekat, dan mencium neneknya sekilas.
Sementara itu, Tiara yang mengatur pakaian di lemari tampak tenang, tak menunjukkan reaksi apa pun. Tentu saja, itu mengundang rasa aneh di hati Prabu. Apalagi, melihat jika gadis itu tampak menunjukkan ketenangan, di wajah yang biasa menyapanya dengan ceria.
Diperhatikannya Tiara dari ujung kaki hingga kepala. Mengenakan seragam berwarna ungu sebatas lutut, kaki jenjang Tiara yang bersih terlihat sempurna. Meski tak menunjukkan lekukan pinggang dan dada, tapi pakaian itu mampu membuat kulit Tiara tampak lebih indah. Ditambah tatanan rambut yang dibentuk bulat di atas kepala, menunjukkan leher dan tengkuk yang membuat angan Prabu melayang. Kembali pada malam itu, untuk sesuatu yang tak seharusnya ia nikmati.
“Ah, bukan begitu. Ada apa memangnya?” tanya Sundari. Kalimat itu menyentak lamunan Prabu terhadap gadis di depannya.
“Tidak ada. Hanya saja, tiba-tiba aku ingat kalau kita tidak pernah lagi makan siang bersama. Oleh karena itu, aku sudah menyuruh Bu Nurma menyiapkan makan siang untuk kita.”
“Makan siang? Kamu mau mengajak eyangmu ini berkencan?” Sundari tampak tersenyum.
Wanita berambut putih itu lantas meletakkan peralatan rajutnya ke meja kecil di sisi ranjang. Dipandanginya wajah sang cucu dengan senyum terkembang. Melihat Prabu, selalu saja mengingatkannya pada Arini, putri semata wayang.
“Mungkin saja. Apa Eyang mau jadi teman kencanku siang ini?” Prabu berkata, lalu mengecup punggung tangan neneknya.
Hal itu tentu membuat hati Sundari menghangat, lalu tertawa. Meski ia tahu, Prabu sedang menggodanya saja. Namun, seperti yang diungkapkan cucunya tadi, ia memang merindukan saat seperti itu. Ketika mereka banyak menghabiskan waktu, yang sekarang menjadi sangat sulit akibat kesibukan Prabu.
Tiara yang telah selesai dengan pekerjaannya mematung di sisi lemari, dengan sesekali melirik sang majikan yang tengah berbincang. Ingin mendekat, tapi ia terlalu enggan. Meski sepekan berlalu setelah malam itu, entah mengapa memandang Prabu masih menyisakan nyeri satu sudut di hatinya.
Belum lagi, ingatan saat lelaki itu menyentuh setiap inci tubuhnya dengan lembut, kala itu. Percikan rasa asing, tapi menimbulkan pendar aneh yang membuat hatinya bergejolak tak menentu.
“Andai saja kamu mengucapkan itu untuk gadis baik di luar sana, pasti sekarang di rumah ini sudah ada tangisan anak kecil, dan teriakan lucu.”
Prabu berdeham sejenak, lalu tanpa sengaja melihat ke arah Tiara. Pada saat yang sama, tatapan mereka beradu sesaat, sebelum Tiara memilih menunduk, dan berjalan menuju sofa.
“Nanti, Eyang.”
“Nanti kapan? Itu terus jawabanmu dari dulu.” Suara Sundari terdengar seperti keluhan.
“Nanti, sampai ada perempuan yang busa merawat dan menyayangi Eyang dengan tulus, tanpa memandang aku atau apa pun yang kumiliki.”
“Kau tau, Prabu? Sejak ada Tiara di sini, aku tidak membutuhkan kriteria itu lagi. Cukup dia yang menjagaku, dan kamu hiduplah dengan jalanmu sendiri, termasuk perempuan yang kamu ingini. Keluarga kita butuh penerus, dan kamulah satu-satunya yang eyang miliki.”
“Eyang—“
“Oh, iya. Kita makan sama-sama Tiara juga. Siang ini dia juga belum makan. Entah kenapa kuperhatikan, belakangan ini dia semakin kurus.”
Mendengar itu, Tiara menyahut, ”Tidak perlu, Nyonya. Terima kasih. Saya bisa makan nanti di bawah.”
“Kenapa begitu? Kamu bisa bergabung dengan kami.” Sundari menatap Tiara yang berdiri di sisi jendela.
“Saya hanya—“
“Sudahlah. Ikut makan sama kami saja. Sekarang hubungi Nurma, apakah makanan susah siap atau belum. Setelah itu, ganti pakaianmu, dengan baju yang dibelikan Prabu tempo hari.”
Sundari memberi titah, dan Tiara tak bisa lagi membantah. Gadis itu lantas menuju interkom dan melakukan panggilan.
“Apa Eyang juga akan berhias? Kalau begitu, aku tunggu eyangku yang cantik di ruang makan.” Prabu tersenyum, lalu menuju pintu.
Sebelum keluar, ia berbalik dan berkata pelan. “Tiara, aku pun menunggumu. Cepatlah.”
**
“Kembalilah ke kamarmu. Malam ini, biar Nurma yang menemaniku.” Demikian kata Sundari, setelah Tiara selesai membantunya mengganti piama dan bersiap tidur.
“Tapi kenapa, Nyonya? Saya baik-baik saja.”
“Apa aku bilang kamu sedang sakit?” Sundari menatap tajam, membuat Tiara menunduk.
“Maaf. Maksud saya—“
“Ada yang ingin kubicarakan dengan Nurma. Jadi, kamu istirahatlah.”
“Baik.” Tiara menurut pada akhirnya, lalu menuju pintu dengan membawa pakaian dan seprai kotor.
“Tiara.”
Panggilan Sundari membuat Tiara berbalik.
“Saya, Nyonya?”
“Jangan lewatkan makan malammu. Beberapa hari ini kamu melewatkannya, bukan?”
Tiara mengerjap, tidak menyangka Sundari mengetahui setiap gerak-geriknya. Ia bahkan berpikir, apa sang majikan tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Prabu?
“Ah, soal itu ... saya—“
“Kamu bisa bercerita apa saja padaku, Tiara. Entah itu soal ibu, adik, atau keluargamu. Bahkan jika itu masalah pribadimu, kamu bisa berbagi denganku. Jangan memendamnya sendiri.”
Tiara mengangguk pelan.
“Bagaimana kabar ibumu?”
“Ibu saya sudah jauh lebih baik, Nyonya. Terima kasih sudah menanyakan kabarnya.”
“Baik, kamu bisa pergi.”
Tiara mengangguk, lalu keluar menuju ruang binatu. Saat berpapasan dengan beberapa pelayan, ia tampak jadi perhatian karena tak berseragam. Sejak acara makan siang tadi, ia memang belum berganti pakaian, dan masih mengenakan dress selutut nan anggun. Tentu saja itu membuatnya menjadi bahan kasak-kusuk di paviliun.
Usai dengan semua tugas, Tiara memilih kembali ke kamar. Berdiam di sana, lalu menghubungi sang adik. Bertanya kabar, juga bertukar cerita demi melepas kerinduan, lalu tertidur.
Tiara terjaga saat jam menunjuk angka sepuluh, lalu entah mengapa tak bisa lagi memejamkan mata sampai menjelang tengah malam. Ia lantas memilih menenangkan diri dengan berendam dalam bath tub yang diisi sabun beraroma terapi. Memejam rapat, melepas gundah, perasaan bersalah serta gelenyar aneh dalam dada.
Keluar dengan mengenakan jubah mandi, Tiara berdiri di sisi jendela besar. Dari tempatnya berdiri, tampak lampu taman di bawah sana berjejer dengan indah, menarik perhatian. Cahayanya berpendar, memantulkan gelombang air kolam ke dinding. Sejenak ia tersenyum, karena perasaan damai yang menyusup perlahan.
Melewatkan makan malam, Tiara yang merasa lapar memutuskan menuju dapur, tanpa lebih dulu mengganti pakaian, masih berbalut handuk di kepala dan jubah mandi berwarna putih. Ia juga baru ingat, belum memeriksa semua pintu telah terkunci atau belum.
Saat tergesa keluar kamar, tanpa sengaja ia bertubrukan dengan Prabu yang entah mengapa berdiri tepat di pintu kamarnya. Nyaris saja Tiara tersungkur, jika Prabu tak menangkapnya dengan cepat.
Tiara yang terkesiap tak menyadari jika jubah mandi si bagian dadanya tersingkap. Untuk beberapa saat kerongkongannya tercekat, sebelum menyadari ke mana arah pandangan Prabu tertuju.
“T—tuan?” Dengan cepat Tiara merapikan jubah mandinya, lalu berusaha kembali tegak. “M—maaf.”
Gadis itu menunduk, lalu memungut handuk pembungkus kepala yang jatuh ke lantai. Menyesap aroma segar yang menguar dari tubuh di hadapan, secara naluri Prabu menyusut jarak. Saat Tiara telah bangkit, diulurkannya tangan menyentuh pipi gadis itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut. Bahkan sangat lembut, bukan seperti seorang Prabu.
Tiara mengangguk. “I—iya. S—saya baik-baik saja.” Ia menunduk, dan mendekap handuk di dada. Membuat rambutnya yang basah terjulur menutupi wajah.
“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan, untuk melihatmu kembali seperti sebelumnya, Tiara?”
Tiara menengadah, demi menjangkau lelaki jangkung di hadapan. Saat ini, Prabu tengah menatap dengan sorot sendu, yang tak dapat ditebak. Maka baik baginya untuk menghindar, enggan terjebak dalam suasana canggung ini.
Namun, tanpa diduga suara perutnya yang lapar terdengar di antara kesunyian. Membuatnya tertunduk, menyembunyikan malu tak terkira. Sementara itu, Prabu yang tadinya mendadak sendu, tak mampu menahan tawa.
“Masuklah. Ganti pakaianmu, aku akan datang sebentar lagi.”
“Maksud Tuan apa? Datang ke mana?”
“Ke kamarmu tentu saja!”
Mata Tiara membulat. “Untuk apa?”
Prabu tertawa. “Masuklah. Aku sedang tak ingin berdebat.”
Usai berkata, Prabu melangkah melewati Tiara begitu saja menuju kamarnya. Meninggalkan sang pelayan yang masih terpaku mendekap dada.
**
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Lia Dahlia
ih jadi ykt baca my ,tkt tuara hamil gmna nasib ny
2021-04-05
0
Luiz lee
kurang bisa jaga diri
2020-11-12
0
ika Septi
kira2...ap yg mo d bicarakan eyang sundari sm bu nurma ya...??🤔🤔
2020-10-23
0