Terjebak Cinta Sang Tuan Muda
“Doain Tiara, Bu.” Gadis itu bersimpuh di hadapan ketua yayasan. Setelah itu merebahkan kepala di pangkuan wanita yang memberinya bekal banyak hal selama tiga bulan belakangan.
“Ibu yakin kamu akan dapat majikan yang baik, Tiara. Kamu anak baik dan pintar. Ibu yakin, nantinya keluarga itu akan menyayangi kamu, seperti rasa sayang ibu.”
Sesi berpamitan yang mengharu biru masih melintas di benak Tiara, sepanjang perjalanan. Sesekali ia masih menyeka mata, meluruhkan sisa air yang tak henti menitik. Sementara, dalam hatinya mengudarakan banyak doa.
Pagi ini, utusan majikan tempat ia akan bekerja menjemput. Saat ia harus benar-benar berjuang, dan berbakti, tak hanya demi rupiah.
Tiara tertegun manakala menapakkan kaki di halaman rumah yang begitu besar. Bangunan tak ubahnya istana yang menjulang dengan megahnya. Rumah mewah yang selama ini hanya ia saksikan di televisi saja.
“Ayo!” Suara dari arah belakang mengagetkan Tiara.
Itu adalah Arman, sopir yang tadi menjemputnya dari yayasan. Keduanya belum sempat berkenalan, dan yang Tiara ingat, tadi pria itu hanya menyebut bahwa dirinya adalah utusan dari keluarga Widjaya.
“Ah, b-baik.” Tiara tergagap, lalu memperbaiki letak tas yang menyampir di pundak.
“Ikut aku.” Arman menegaskan.
Setelah berkata demikian, pria berusia 25 tahun itu berjalan mendahului. Ia melangkahkan menuju samping rumah, yang letaknya sedikit memutar dari tempatnya memarkirkan mobil.
Sepanjang mengekor ke pria itu, mata Tiara tak bosan menjelajah ke sekeliling. Bibirnya tak henti berdecak, mengagumi keindahan taman yang membentang di hadapan. Deretan pemandangan luas yang berhias aneka bunga benar-benar menawan mata dan hati siapa saja yang memandang.
Jauh di dekat pagar besi berwarna hitam, tanaman palem menjulang seolah-oleh menjadi bingkai halaman. Lalu hamparan mawar aneka warna cerah, juga anggrek yang ditata sedemikian rupa. Ada pula Kamboja Jepang yang menghias beberapa pot besar. Sementara, dahlia beraneka warna tampak menambah semarak taman yang terawat rapi. Jenis bunga yang pernah dijumpai Tiara di rumah kepala desa di kampungnya.
Beberapa bunga indah lainnya tidak Tiara ketahui namanya. Akan tetapi, beberapa tanaman itu sukses membuatnya merasa damai menjejakkan kaki di rumah itu. Hatinya bahkan membuat kesepakatan, jika ia akan betah bekerja di sana.
‘Ah, tapi ... bagaimana mungkin? Apakah aku terlalu yakin? Karena selama ini dari yang kulihat di sinetron, orang-orang kaya kebanyakan jahat. Mereka akan memperlakukan pembantu dengan semena-mena.’ Tiara membatin, sambil terus melangkah.
“Lewat sini.”
Angan gadis itu buyar saat si Sopir menunjukkan jalan berbelok di sisi kanan bangunan, melewati kolam renang. Lagi-lagi Tiara berdecak kagum. Betapa tidak? Aneka tanaman buah berjajar rapi di tepi tembok tinggi, tumbuh dengan baik dalam pot-pot besar. Ada jeruk yang sebagian telah menguning, mangga apel dengan buah berwarna kemerahan, ada juga durian yang menunjukkan dua buah sangat besar di bagian sudut.
Apakah ini surga? Aku bahkan tak bisa lagi menebak sekaya apa majikan yang akan menjadi tempat mengabdi. Dan lagi ... kenapa aku yang terpilih dari sekian orang di yayasan? Padahal, aku adalah orang baru yang sama sekali belum berpengalaman menjadi pembantu, atau apa pun itu.
Sang sopir menekan bel, saat mereka sampai di depan pintu besar. Dari ukirannya, pintu berbahan kayu itu tampak dibuat dengan seni yang mumpuni. Ukiran khas Bali terpampang apik, dengan beberapa bagian dicat berwarna emas.
Tiara masuk usai menyapa seorang wanita paruh baya yang membuka pintu. Dari pakaiannya, bisa kukenali bahwa wanita itu adalah seorang pelayan di sini.
“Selamat datang di rumah keluarga Adji Widjaya.”
Begitu sapa wanita yang tadi, begitu Tiara sampai di dalam. Sementara, sopir yang tadi menjemput telah pergi, usai meletakkan kopor besar bawaannya.
“Namaku Nurma.” Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan, dan disambut Tiara dengan segan.
“Saya Tiara. Senang berkenalan dengan Anda, Bu Nurma,” jawabnya berusaha sesantun mungkin.
“Ikut aku.” Nurma berbalik, lalu melangkah cepat menuju meja berbentuk oval, dengan kursi yang ditata melingkar.
Apa ini ruang makan?
“Duduklah.” Ia mempersilakan, lalu menuju sisi yang lain. Mengambil sesuatu, lalu kembali bersama tatapan Tiara.
Gadis itu tidak berani menelisik sekeliling rumah yang terasa sejuk. Ia takut jika tatapannya tertangkap oleh Nurma, dan dianggap tak sopan.
Namun, Tiara masih bisa melihat kesibukan para pembantu di rumah tersebut, dari beberapa orang berseragam yang berlalu-lalang.
“Aku kepala pelayan di sini. Ada banyak pembantu yang bekerja di rumah ini.” Nurma memulai, setelah menyuguhkan segelas air.
“Ada Lulu yang bertanggung jawab untuk seluruh hidangan di rumah ini. Bisa dibilang, dia kepala chef. Dapur adalah daerah kekuasaannya.” Sang kepala pelayan berkata sambil mengamati penampilan gadis di depannya.
“Ada Rita yang bertanggung jawab atas kebersihan di dalam rumah, sedangkan Siska yang mengurus taman di luar dengan beberapa tukang kebun.” Penjelasan Nurma lagi-lagi membuat Tiara terkesiap, kagum.
Pembantu rumah saja sebanyak itu? Kalau sudah begitu banyak orang di sini, bagaimana dengan pekerjaanku?
“Kamu sendiri ....” Nurma menjeda kalimat, seperti paham dengan tanya dalam hati Tiara. “Kamu akan mengurus Nyonya Sundari.”
Tiara mengangguk. Sebab, sebelum kemari, pihak yayasan memang telah membekalinya dengan keterampilan mengurus lansia. Jadi, ia berpikir yang disebut Nyonya Sundari adalah ibu dalam keluarga ini.
“Semua pekerja di rumah ini tinggal di paviliun belakang. Tapi, perawat dan pelayan untuk Nyonya Sundari tinggal di sini. Tepatnya di sana.” Nurma menunjuk sudut kanan ruangan.
“Ada tiga kamar di sana. Satu untuk suster, satu untuk Lisa, dan satu untukmu. Lisa adalah pelayan yang mengurus Nyonya Sundari, menggantikan satu orang yang berhenti lebih dulu.” Suara Nurma semakin melembut dari pertama kali.
“Tidak ada yang bertahan lebih dari tiga bulan mengurus Nyonya Besar. Karena begitu dia merasa tidak nyaman atau mengeluh, Tuan Muda akan langsung memecat pelayan tanpa bertanya.”
Tuan Muda?
Tiara bergidik membayangkan itu.
Bagaimana rupa sang tuan yang disampaikan Bu Nurma? Apakah mengerikan?
Nurma lantas menjelaskan semua tugas yang akan menjadi tanggung jawab Tiara selanjutnya di rumah ini. Melayani semua kemauan si Nyonya Besar, termasuk membantu dalam beraktivitas. Usia senja membuat pergerakan lansia itu terbatas, dan membutuhkan pendamping selama 24jam.
Jadi, nantinya Tiara, dan Suster Ani akan melakukan tugas bersama. Bekerja sebagai tim, dan dituntut melakukan pelayanan terbaik. Sementara Lisa hanya bertugas menyiapkan makanan khusus untuk Sundari.
“Jadi, kuharap kamu bertahan di sini, Tiara.” Begitu ucap Nurma. Pelan, tapi penuh penekanan. “Berganti pelayan setiap beberapa bulan sekali, aku lelah harus menjelaskan berulang-ulang.” Nada tak bersahabat itu keluar lagi dari Nurma.
“Mohon bantuannya, Bu Nurma. Saya berjanji akan bekerja keras sebaik mungkin. Terima kasih sudah memberi banyak pengarahan.” Tiara mengangguk sebagai tanda hormat, dan si Kepala Pelayan membalas dengan senyuman.
Tak lama, Nurma bangkit dan membawa Tiara menuju kamar yang tadi ia tunjukkan. Gadis itu menengadah, dan mendapati langit-langit rumah begitu megah. Berhias biru dan putih di beberapa bagian, layaknya langit di luar sana.
Di sinikah aku akan memulai perjuangan?
***
Seorang wanita berambut putih menyambut dengan tatapan tajam saat Tiara masuk. Gadis itu mengenakan seragam berwarna ungu, sebagai tanda bahwa ia adalah perawat Sundari. Warna yang membedakannya dengan pelayan biasa.
Mendapat tatapan sedemikian rupa, membuat kamar luas nan sejuk itu mendadak terasa panas bagi Tiara. Ia bahkan merasa keringat mengalir di punggungku. Dalam hati gadis itu merapal banyak doa, agar semua berjalan baik hari ini.
“Namanya Tiara, Nyonya. Dia yang menggantikan Susi.” Nurma berucap, setelah membungkukkan badan sebagai tanda hormat pada majikannya.
Sundari memindai gadis di depannya dengan saksama, dari kaki hingga puncak kepala. Rambut yang tertata rapi membuat kulit Tiara terlihat bersih. Pipinya yang sedikit tirus itu sedikit memutih, mungkin karena gugup.
Nurma berbalik sesaat, turut menatap tampilan Tiara. Gadis itu mengikuti arahan berpakaian darinya tanpa kesalahan. Sejenak ia tersenyum. Melihat Tiara sekarang, ia bagai melihat dirinya sendiri saat pertama kali datang ke rumah ini, lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
Mengikuti apa yang dilakukan Nurma, Tiara lantas turut memberi hormat dari tempatnya. Sementara, wanita itu mendekati Sundari yang kini mengulas senyum samar.
Kupikir ada suster dan pelayan yang menemani, tapi kenapa dia hanya sendiri?
“Kuharap dia tidak seperti Susi,” jawab Sundari singkat, disertai helaan napas. Tak ada senyum di wajah tuanya yang masih menyisakan kecantikan itu.
Tidak seperti Susi? Ada apa? Ah, bukan urusanku. Akan tetapi, bukankan aku harus mencari tahu supaya tidak melakukan salah yang sama?
“Kamu, kemarilah!” Panggilan Nurma membuat Tiara sedikit tergagap, dan refleks mendekat.
“Senang bertemu dengan Anda, Nyonya.” Sekali lagi Tiara membungkuk, begitu sampai di tepi ranjang.
“Ah, gadis yang manis.” Sundari berkata dengan nada datar, wajah wanita tua itu pun tanpa ekspresi.
Nurma meninggalkan kamar itu tak lama kemudian. Menyisakan Tiara berdua dengan sang nyonya besar. Mata cekung itu terus memindai pelayan barunya, seolah-olah ingin mengenak lebih jauh.
“Namamu Tiara?” tanyanya pelan. Terdengar lembut, tidak seketus saat pertama menyapa.
“Iya, Nyonya.”
“Sini. Duduklah.” Ia menunjuk kursi di sisi ranjang, sebagai isyarat agar Tiara duduk di sana. Awalnya gadis itu tampak ragu, tapi tak urung menuruti perintah tersebut.
“Kamu masih muda. Kenapa bekerja jadi pelayan? Kenapa tidak mencari pekerjaan di tempat lain?”
Pertanyaan itu membuat angan Tiara melayang. Pada ibu yang sedang sakit, juga ayah yang kini entah di mana. Hal yang membuat ia merelakan bangku kuliah yang digapai dengan susah payah, lalu bekerja demi meraih rupiah.
Demi pengobatan ibunda yang harus tetap berjalan, demi ibu yang harus kembali pulih, meski Tiara tak ada di sisinya.
Ibu ....
***
bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Ai Elis
aku kembali baca ini.ceritanya bagus..
2022-04-05
0
Ida Lailamajenun
baru mampir
2022-02-22
0
Siti Aisyah
coba ku mampir..awal nya ckp menarik
2022-02-14
0