3. Prabu Adji Widjaya

Prabu beranjak dari pembaringan saat alarmnya berbunyi di jam enam. Setelah meregangkan tubuh sesaat, ia beranjak menuju kamar mandi, meski kantuk masih menguasai. Ada meeting penting yang harus ia hadiri pagi ini.

Butuh waktu hampir satu jam, sampai pria jangkung itu siap dengan kemeja salur dan dasi. Saat tengah mematut diri di cermin, ingatannya melayang pada kejadian semalam ....

Usai membersihkan diri di jam yang nyaris menyentuh tengah malam, Prabu keluar dari kamarnya. Sudah menjadi rutinitas baginya, untuk langsung mengunjungi Sundari sepulang bekerja. Memastikan sang nenek tetap baik-baik saja adalah prioritas pria berusia 32 tahun itu.

“E ... yang?” Tangan Prabu masih melekat di gagang pintu, sedangkan kepalanya melongok ke dalam. Ia lantas masuk, dan menutup pintu dengan hati-hati.

Untuk sejenak, Prabu tertegun dengan pemandangan di hadapan. Tak biasanya Sundari tidur dengan lelap, bahkan tak mendengar panggilannya.

Prabu lantas mendekat, dan memandang wajah Sundari dengan selengkung senyum terkembang. Melihat neneknya terlelap dengan begitu damai, membuat hatinya terasa sejuk. Pandangannya lantas tertuju pada seseorang yang tertelungkup di kaki sang nenek.

Bukan kali pertama bagi Prabu melihat seorang gadis, tapi yang ada di hadapannya saat ini seolah memiliki magnet. Hal yang membuatnya mendekat, lalu duduk di dekat kepala pelayan itu.

Untuk beberapa saat, Prabu mengamati gadis berseragam ungu yang tengah dibuai mimpi. Entah dorongan dari mana, ia mengulur tangan dan mengusap pipi pelayan itu. Membuat sang empu menggumam tak jelas, lalu kembali terlelap, dan Prabu tersenyum.

Dering ponsel menyentakkan Prabu dari lamunan. Segera ia menyambar benda itu, dan mematikan tanpa menjawab. Nama yang terpampang di layar membuatnya mendengkus, sebal.

Sementara itu, Tiara tampak gelisah di depan pintu berwarna cokelat tua. Ia bahkan tak tidur semalaman, sejak Prabu berkunjung ke kamar Sundari. Rasa bersalah dan takut membuatnya tak bisa tidur sama sekali, meski kantuk menyerang.

Dari setengah enam tadi, Tiara sudah menanti dengan harap-harap cemas. Namun, Tuan Muda yang dinanti tak kunjung tiba. Terlebih, membayangkan Sundari yang mungkin telah bangun dan mencari, membuat Tiara semakin gelisah.

“Pergilah ke ruang kerja Tuan Prabu. Biar aku yang mengurus Nyonya.” Begitu kalimat Nurma yang sedikit menenangkan.

Langkah Prabu menuju ruang kerjanya terhenti, dan pandangannya lurus ke depan. Pada seorang gadis berseragam ungu, yang mematung tepat di depan pintu ruang kerjanya yang terletak di lantai dua.

Untuk sejenak ia menjaga jarak dan tetap mengamati Tiara. Matanya menelisik dari sepasang kaki jenjang yang mulus, lalu menelusuri setiap lekukan tubuh gadis itu. Terhenti di kepala, dengan rambut tertata rapi membentuk sebuah bulatan seperti donat.

Suara Prabu yang berdeham membuat Tiara berbalik, lalu membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat. Ia menyapa dengan suara lembut, sedangkan dalam hati tak henti berucap syukur karena yang dinanti lebih dari satu jam akhirnya tiba.

“S-selamat pagi, Tuan,” sapanya pelan.

Tak menjawab, Prabu berlalu begitu saja. Lelaki itu membuka pintu, dan masuk tanpa kata. Meninggalkan Tiara yang masih bergeming di depan pintu.

“Kamu tidak mau masuk?” tanyanya datar, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Kaku.

“Ah ... i—iya, Tuan!” Tiara tergagap, lalu mengekor.

“Tutup pintunya.”

Tiara mengangguk, dan melakukan perintah dengan cepat. Ia lantas berdiri dengan kepala tertunduk, tepat di hadapan Prabu yang sudah duduk di kursi kebesarannya. Saat ini, keduanya terpisah oleh meja berbahan kayu jati yang tampak kokoh.

“Jadi, kamu yang bernama Tiara?” Suara Prabu memecah hening, yang tadi hanya memperdengarkan detak jam dinding.

“Benar, Tuan.”

“Akan ada masa percobaan selama tiga bulan. Selama itu, kamu tidak diperkenankan izin, libur, atau mengambil cuti.”

“Baik, Tuan.”

“Maksimal melakukan satu kesalahan saja.”

“Baik, Tuan.” Tiara mengangguk lagi.

“Tidak diperkenankan menggunakan ponsel saat merawat Eyang. Kecuali terdesak, kamu boleh melakukan panggilan dengan telepon rumah.”

“Baik, Tuan.” Tiara mengangguk patuh.

“Apa ada yang mau kamu tanyakan perihal kontrak, pekerjaan dan gaji?”

“Tidak, Tuan. Saya paham,” jawab Tiara mantap.

Pembekalan dan seluruh isi kontrak memang telah ia baca dengan saksama, sebelum membubuhkan tanda tangan. Ditambah penjelasan Sundari, membuatnya tak ingin bertanya apa pun lagi.

“Oke. Kalau ada yang tidak kamu pahami nantinya, tanyakan pada Bu Nurma. Dia akan membantumu dengan senang hati.” Prabu menambahkan, masih dengan mengamati gadis di depannya lekat-lekat.

“Baik, Tuan.”

“Kamu boleh pergi,” kata Prabu kemudian.

Mendengar itu, Tiara mundur beberapa langkah, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Saat tangannya sudah menyentuh gagang pintu, suara Prabu menghentikannya.

“Satu lagi.” Prabu menjeda ucapan, menunggu Tiara berbalik. “Jangan pernah ketiduran saat bekerja sendirian,” imbuhnya. Dalam waktu bersamaan, ia mengunci tatapan gadis itu.

Mendengar itu, Tiara merasa wajahnya menghangat. Membuat ia terserang gugup, malu, dan takut secara bersamaan.

“Karena tertidur saat sendirian, bisa membuatmu mengalami tindak kejahatan, dan bisa saja aku pelakunya.”

Tiara berbalik dengan wajah bingung. Namun, sekejap kemudian ia mengerjap dan melangkah keluar dengan cepat, saat mendapati Prabu tersenyum miring ke arahnya. Majikannya itu bahkan mengedipkan sebelah mata dengan tatapan penuh arti.

***

Kehabisan stok air mineral, membuat Tiara meninggalkan kamar Sundari dan menuju dapur. Waktu yang melewati tengah malam membuatnya enggan untuk membangunkan pelayan. Lagi pula, Sundari begitu nyenyak, dan tak akan butuh bantuan jika ditinggalkannya sebentar saja.

Suasana rumah besar itu sepenuhnya senyap, saat Tiara berada di luar kamar. Penerangan yang lebih redup membuatnya bergidik, dan melangkah lebih cepat.

Namun, langkahnya terhenti saat tiba di depan sebuah kamar yang pintunya tak tertutup rapat. Bias cahaya dari celah pintu membuat Tiara penasaran. Awalnya ia ingin abai pada semua itu. Akan tetapi, suara-suara aneh membuat gadis itu mendekat, bagai besi tertarik magnet.

Pintu yang terbuka lebih sejengkal membuat Tiara menahan napas dengan apa yang dilihatnya. Tak jauh di hadapannya, tampak Prabu sedang mencumbu seorang wanita yang mengenakan gaun mini berwarna merah menyala. Kedua orang itu berpagut mesra, dengan tangan saling meremas satu sama lain.

Untuk beberapa saat, Tiara terpaku. Kakinya bagai tertahan pasak besi, tak mampu beranjak. Sementara itu, matanya membulat, dan jantung berdegup kencang. Saat rasa penasaran semakin mendera, Tiara tersentak. Ingatan akan Sundari membuatnya menuju dapur, lalu mengambil apa yang dibutuhkannya dengan cepat.

Sesampainya di kamar, Tiara berusaha mengatur napasnya yang terengah. Bayangan Prabu yang sedang bercumbu kembali berkelebat, menimbulkan titik keringat di pelipis.

“Apa kamu berlari?” tanya Sundari, membuat Tiara nyaris memekik. Gadis itu mendekap teko stainless, demi menutupi rasa terkejut.

“Kamu kenapa, Tiara?” tanya Sundari, semakin heran. Wajah Tiara bahkan pias sekarang.

“Ny-nyonya bangun? M-maaf, t-tadi saya ke dapur mengambil air.” Tiara menjawab putus-putus.

“Kenapa kamu ketakutan begitu?”

“Ah ... s-saya ... saya hanya takut gelap, Nyonya. Apalagi, rumah ini besar sekali, jadi—“

“Seharusnya kamu bisa menekan intercom itu. Tidak perlu ke dapur.”

Tiara mendekat, lalu mengisi teko elektrik dan memanaskan air. Ia selalu memberi Sundari minum dengan air hangat, juga membasuh tangan majikannya itu dengan air yang sama.

“Saya hanya tidak ingin mengganggu mereka, Nyonya.”

Tiara mendekat, lalu menaikkan suhu ruangan yang dirasa terlalu dingin. Ia membenahi selimut Sundari, lalu mengecek minyak aroma terapi.

“Oh, iya. Kenapa Nyonya bangun? Apa mungkin, Nyonya butuh sesuatu?”

Sundari tampak termangu beberapa detik. Wanita itu lantas menarik napas panjang, dan berkata, “Aku menunggu Prabu. Apa tadi dia ke sini waktu aku tidur?”

Mendengar kalimat Sundari, adegan yang ingin dilupakan kembali melintas di benak Tiara.

“I-iya, Nyonya. Tadi Tuan Muda ke sini sebentar, tapi tidak tega membangunkan Nyonya.” Terpaksa Tiara berbohong, tak ingin Sundari kecewa.

Bagaimana Tuan Prabu mau kemari? Dia sedang asyik sama perempuan seksi itu!

“Ah, baiklah. Kalau mengantuk, kamu boleh tidur, Tiara.”

Tiara hanya mengangguk, lalu mengganti lampu dengan yang lebih redup. Setelah memastikan Sundari terlelap, ia mengambil sebuah selimut tebal, lalu menggelarnya di lantai. Ada sebuah sofabed di sisi kanan di dekat jendela. Akan tetapi, ia lebih suka tidur melantai, di dekat ranjang sang majikan.

Buana menyapa pagi dengan semarak. Kicau burung, juga kokok ayam bersahutan di seluruh penjuru, meski di sebagian tempat tersamar oleh deru kendaraan. Bias jingga di cakrawala membuat rerumputan dan bunga yang basah oleh embun kembali menggeliat, menyambut gempita semesta.

Fajar baru bersiap membuka hari, saat Tiara telah selesai bersiap. Setelah mengirim pesan pada adiknya, ia kembali mematut diri, memastikan penampilannya benar-benar rapi. Sesudahnya, Tiara keluar dan mendapati para pelayan telah sibuk dengan tanggung jawab masing-masing.

Tiara bersiap lebih pagi, karena ingin mengajak Sundari berkeliling. Meski tidak keluar, tapi pekarangan rumah yang luas ini cukup membuat mereka lelah dan menikmati udara sebanyak yang diinginkan.

Saat melintasi kamar semalam, tanpa sengaja Tiara menghentikan langkah. Secara tidak terduga, di waktu yang sama Prabu leluar dari sana, dengan celana pendek, dan kaus tanpa lengan. Tatapan yang beradu membuat mereka sedikit terkejut.

"Kamu?"

"M-maaf, Tuan. S-saya cuma ...."

Wajah Tiara bersemu merah. Menatap Prabu pagi ini, mau tak mau kejadian semalam ia ingat lagi. Saat Prabu memcumbui wanitanya. Ingin ia menjauh, tapi urung. Sebab, kini Prabu menahan pergelangan tangannya.

"T-tuan, apa yang--"

"Diam!"

Kalimat Tiara tidak selesai terucap, saat Parabu menariknya dalam dekapan. Pria itu bahkan menyudutkan Tiara ke tembok. Tentu saja, gadis itu meronta, setengah ketakutan.

"Lepaskan!" Tiara nyaris memekik.

Namun, hal yang kemudian terjadi membuatnya tercengang. Tanpa Tiara sadari, sebuah lampu hias jatuh dari ketinggian, dan berhamburan di lantai. Menyisakan bunyi nyaring, juga kaca berhamburan.

Untuk beberapa saat, Tiara menahan napas, dan membenamkan wajah ke dada sang majikan. Ia berseru tertahan, mendengar pecahan kaca lampu yang cukup memekakkan telinga.

Kejadian tersebut begitu cepat. Sedikit saja Prabu terlambat, Tiara tentu akan celaka.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Prabu. Ia menjeda pelukan, dan menatap Tiara yang masih tampak gemetar karena ketakutan.

"Ah ... s-saya baik-baik saja, Tuan. T-terima kasih." Tiara melepaskan diri.

Pada saat bersamaan, beberapa pekerja di rumah itu datang. Ada yang menelepon teknisi, juga mengawasi jika masih ada benda lain yang mungkin jatuh. Sebagian langsung merapikan kekacauan, sebagian lagi terperangah melihat Tiara berada dalam dekapan majikan mereka.

Melihat banyaknya pekerja yang telah berkumpul, Tiara berpamitan pada Prabu setelah berterima kasih sekali lagi. Namun, langkahnya terhenti, saat ia merasa perih dan nyeri di kaki kanannya.

"Awwh!" Gadis itu memekik tanpa sadar.

"Kamu kenapa?" Prabu melihat ke arah Tiara, lalu pandangannya turun ke kaki. Tampak olehnya, ada beberapa pecahan kaca yang menancap di betis bagian bawah.

"Kamu terluka, Tiara."

"Mbak Tiara luka?" Salah satu pelayan mendekat. "Ayo, saya obati di belakang."

"Ah, c-cuma luka kecil." Tiara berkata sambil meringis. Sejenak kemudian ia berlutut, hendak memastikan seberapa parah lukanya, dan mencabut kaca-kaca itu.

Namun, gerakan Tiara terhenti saat sebuah tangan menahannya. Sontak gadis itu mengangkat wajah, demikian juga pelayan yang ada di sana.

"T-tuan?"

"Biat aku obati." Prabu menyela, tak ingin dibantah.

"T-tapi, Tuan ... saya tidak apa-apa."

"Berisik!" Prabu lantas merunduk, lalu membawa Tiara dalam gendongannya. Iq melangkah, membawa Tiara ke kamar di lantai satu, diikuti tatapan semua pelayan.

"Bik, bawa kotak P3K ke sini!" titahnya kemudian, sambil terus melangkah ke kamar. Tempat Tiara melihatnya bercumbu ... semalam.

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Elis

Ai Elis

posisi Tiara sungguh tak menguntungkn.🤦‍♀️

2022-04-05

0

Siti Aisyah

Siti Aisyah

juragan mah biasa nya jutek diawal jg wibawa...dan gak pernah memeperlihatkan kemesraan dpn pelayan lainnya...jgn terlalu lebay jg aah..

2022-02-14

0

Siti Aisyah

Siti Aisyah

masa majikan menggendong pelayan...lagian mereka blm akrab ...apakah si tuan nya seorang payboy...bisa.bisa nya dia menggoda tiara...🤭😂😑

2022-02-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!