Tiara menggeliat pelan, merasakan hangat yang membalut tubuh. Ia mengembangkan senyuman, masih dalam keadaan setengah sadar. Ini adalah pengalaman tidur ternyaman yang pernah dirasakannya selama bekerja menjadi perawat bagi Sundari. Entah sudah berapa lama ia tak merasakan tidur senyenyak ini.
Belum lagi seluruh kesadarannya terkumpul, saat Tiara merasa ada yang aneh. Tak hanya menangkap bau maskulin segar yang memenuhi rongga penciuman, tapi ia juga merasa ada sesuatu yang melingkari pinggangnya.
Sejenak kemudian ia mengerjap-ngerjap, lalu membuka mata. Seketika itu juga ia tersentak, mendapati dirinya meringkuk nyaman dalam dekapan Prabu. Serta-merta ia menarik diri akan tetapi, lengan lelaki itu begitu posesif mendekap pinggangnya.
Tiara tercekat. Napas lega dan damai yang tadi melingkupi, kini berubah sesak merajam dada. Berbagai tanya berkecamuk dalam benak. Bagaimana bisa Prabu bisa tidur di tempat yang sama dengannya? Apa yang mungkin sudah dilakukan lelaki itu saat ia tertidur?
Tiara berusaha menarik diri, tapi dekapan Prabu terlalu kuat. Jika ia meronta, maka pasti sang majikan akan terbangun. Ia tak ingin Prabu mendapatinya dengan pipi merona dan salah tingkah seperti sekarang.
“Kamu bangun?”
Tiara mendongak, tatkala mendengar Prabu bertanya dengan nada lembut. Tak ada intonasi penuh kemarahan atau sinis seperti saat Prabu menamparnya kemarin.
Ia bergerak pelan, sedikit mengambil jarak meski percuma. Sebab, Prabu sama sekali tak melonggarkan pelukan. Posisinya yang tadi rapat di dada sang majikan membuat Tiara hanya mampu menjangkau dagu Prabu sekarang.
“Tetaplah di tempatmu sebentar saja. Aku kedinginan.” Prabu melanjutkan dengan suara serak khas bangun tidurnya.
“T—tapi, Tuan?” Tiara bertanya sangat pelan, nyaris berbisik. Ragu, enggan.
“Aku bisa melakukan lebih, kalau kamu menjauh. Bahkan sekarang, setiap gerakanmu membuatku menginginkanmu.”
Prabu berkata tenang. Teramat tenang untuk Tiara yang merasakan jantungnya berdentam-dentam, layaknya puluhan genderang perang yang ditabuh bersamaan.
“Tidurlah. Pagi masih jauh, dan jangan memaksaku melakukan kejahatan, Tiara.”
“Tapi, Tuan? Nyonya—“ Tiara berbisik lagi.
Ia masih berusaha mengingatkan, jika saat ini mereka tengah berada di rumah sakit, dan tidak seharusnya berada dalam posisi seperti sedang bermesraan. Namun begitu, entah mengapa sikap Prabu padanya membuat batinnya terlingkupi nyaman. Meskipun samar, dan tak beralasan.
Mungkin, ia tengah lelah selama ini diperlakukan acuh tak acuh oleh Prabu. Baik saat sang majikan berkata dengan nada menghardik, atau tak pernah dianggap ada.
“Ada suster yang menemani Eyang. Semalam aku meminta kasur tambahan, dan suster itu tidur tepat di samping ranjang Eyang.”
“Ah ... begitu.” Tiara menghela napas lega. Akan tetapi kemudian ia merasa sedikit panik.
Suster?
Artinya ada orang lain di ruangan itu yang mengetahui jika ia sedang tidur bersama Prabu? Meski mereka tengah tidur dalam arti yang sebenarnya, tetap saja Tiara merasa canggung. Ia lantas melirik ke arah ranjang pasien, yang entah kapan tirai pembatasnya tertutup. Padahal, sejak masuk ke ruangan ini Sundari tak suka jika tirai itu ditutup. Sesak katanya.
“Tuan ....”
Tiara mendorong dada Prabu pelan, dan berusaha menjauh. Akan tetapi, dengan satu gerakan cepat sang majikan menindihnya, dan membuat wajah mereka nyaris tak berjarak sekarang. Pucuk hidung mereka bahkan bersentuhan.
Tiara terbelalak, dengan dada kian berdentam hebat. “T—tuan, apa yang--“
Tak selesai kalimat Tiara, karena tiba-tiba Prabu membungkamnya dengan lembut. Sontak, itu membuat matanya terbelalak, dan napasnya tertahan di tenggorokan.
Sementara itu, sekujur tubuhnya mendadak kaku, merasakan sensasi aneh di bibir ... saat Prabu menyalurkan kelembutan dan kehangatan di sana, dalam satu waktu.
***
Prabu yang baru saja selesai mandi keluar dengan menggosokkan handuk merah jambu di kepalanya. Handuk milik Tiara, yang sejak kemarin ia kuasai seakan-akan berpindah kepemilikan. Dengan santai ia menuju ranjang pasien, tempat Sundari berbaring.
Jika Prabu tampak tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa maka berbeda dengan Tiara. Gadis itu beberapa kali kehilangan fokus saat menyuapi Sundari. Tangannya yang memegang sendok semakin gemetar, maka kala menyadari Prabu mendekat. Tiara juga merasakan wajahnya menghangat, terlebih jika mengingat apa yang terjadi di antara mereka semalam.
“Kamu mau kerja hari ini?” tanya Sundari, begitu Prabu tiba di sisi.
“Iya. Ada meeting penting pagi ini, sampai jam dua belas. Setelah itu, aku ke sini lagi nemenin Eyang.” Prabu berkata sambil melirik Tiara. Menikmati rona merah di pipi gadis yang semalaman dipeluknya. Pelayan yang membuat ia berhasrat melindungi, daripada menyalurkan hasrat sebagai lelaki.
“Tidak perlu, Prabu. Kalau kamu capek, kami bisa pulang dan istirahat di rumah. Eyang yakin, di sini kamu tidak bisa istirahat dengan baik.” Di akhir kalimat, Sundari menggeleng. Ia menolak, saat Tiara kembali menyuapkan sesendok bubur lembut.
Tiara meletakkan mangkuk yang dipegangnya, lalu mengelap bibir Sundari dengan tisu. Setelah itu, dibantunya sang nyonya kembali merebah, dengan menata bantal.
Prabu mengamati setiap gerak-gerik Tiara. Baru kali ini ia memperhatikan dengan saksama, bagaimana Tiara merawat neneknya dengan baik. Hadi benar, ia harus mempertahankan gadis ini. Pelayan yang bekerja dengan hati, menyayangi Sundari bukan hanya karena gaji dan komisi.
“Tidak masalah, Eyang. Aku pasti kesepian kalau di rumah. Sementara, Eyang tahu sendiri, kan, bahwa Eyang adalah satu-satunya alasanku untuk pulang.” Prabu menatap teduh kearah neneknya.
Sundari tersenyum simpul, dan balas menatap Prabu dengan penuh kasih sayang. Sementara itu, Tiara tampak menyibukkan diri dengan mengelap seluruh benda di dalam kamar dengan cairan desinfektan khusus. Satu rutinitas yang dilakukannya di rumah, untuk menjaga lingkungan Sundari tetap steril.
Usai mengecup neneknya, Prabu menuju lemari kecil, tempat yang saat ini dibersihkan Tiara. Ia membuka kaus begitu saja, dan menggantinya dengan kemeja putih, tak peduli jika saat ini Tiara menahan napas saat melihatnya bertelanjang dada.
“Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Prabu setelah selesai memasang dasi.
Tiara mendongak, dan menggeleng pelan.
“Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja. Pakaian yang kemarin pun masih ada yang belum saya pakai.”
Prabu menatap Tiara yang menunduk, dan mengangguk hormat saat memberi jawaban. Ia tahu, jika gadis yang kini memakai terusan berwarna abu-abu itu tengah menghindari tatapannya. Seketika Prabu merasa bodoh. Betapa tidak? Bahkan, setelah kejadian semalam, jarak di antara mereka masih sejauh itu.
“Kamu bisa bilang saat butuh apa-apa, nanti kusampaikan supaya Nurma mengirimkannya.” Prabu memastikan.
“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih.”
Tiara merasa tersanjung, dan lega dalam satu waktu. Ternyata, Prabu tidak sekejam apa yang dibayangkannya selama ini. Setidaknya, untuk sekarang. Dan jika memang demikian adanya, ia berharap semoga di sisa waktunya bekerja, ia dihadapkan dengan sikap baik sang majikan saja.
“Baiklah.” Prabu memutar langkah, sembari mengenakan jas.
Ia menuju ranjang pasien, tempat Sundari memejamkan mata meski tak sedang tidur. Ia mengecup kening neneknya sekali lagi sebelum pergi. Sementara, Tiara mengekor sampai di pintu. Jika dilihat, maka saat ini Tiara seperti seorang istri yang bersiap melepas kepergian suami untuk bekerja.
Tiara menghentikan langkah saat Prabu berbalik. “Ada yang ketinggalan, Tuan?”
Prabu menggeleng dan bertanya, “Apa kamu ingin memakan sesuatu siang ini?”
“Ah ... tidak. Cukup makanan dari kantin rumah sakit, Tuan. Itu sudah cukup.
“Ah, baiklah.” Prabu mengangguk lagi. Ia lantas mengulur tangan, menyentuh pipi Tiara. Hal yang lagi-lagi membuat Tiara kaku, layaknya sebatang kayu.
“Telepon aku kapan saja, dan kabarkan jika ada sesuatu yang terjadi pada Eyang. Juga ... kalau kamu butuh sesuatu.”
Dengan susah payah Tiara mengangguk. Meski ini terlalu indah, ia berharap kenyataan ini bukan mimpi yang berakhir saat pagi menjelang.
Terima kasih, Tuan. Terima kasih sudah menerimaku dengan baik.
Tiara menatap kepergian Prabu, hingga lelaki itu menghilang di balik pintu lift, yang letaknya tak jauh dari kamar Sundari.
Ditutupnya kembali pintu dan bersandar di sana beberapa saat. Tanpa sadar, ia meraba bibirnya, seolah-olah mencari jejak kelembutan sang tuan. Mengingat sensasi asing yang membuat hatinya tunduk dan berbunga-bunga.
Tiara jatuh cinta, pada bintang tertinggi yang sulit untuk ia gapai. Ia tak tahu apakah ini benar atau salah. Akan tetapi, saat tersadar bahwa Prabu adalah orang yang menyalurkan rasa untuk pertama kali, Tiara bahagia.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
putri sri andila
iya. kok tiara kayak murahan gitu ya? prabu cuma kaya doang, tapi sukaain perempuan dan suka kekerasan. ga banget buat jadi kriteria calon pendam ping.
2022-12-26
0
Maya Sari Niken
authornya suka warn merah jambu kayaknya
selalu serba merah jambu
2022-12-05
0
Ida Lailamajenun
yg ngatur hidup Tiara Khan othor teman" jd wlpn Tiara nolak dgn perlakuan manis prabu tapi othor nya bersikeras klu Tiara akan jd lemah dikala tersentuh prabu kita gk bisa apa la hanya lanjut baca aja😁😁😁
2022-02-22
1