Tiara tersenyum mendengar tanya Sundari. Ia tampak berusaha menampilkan keceriaan, agar keputusan bekerja menjadi pelayan di rumah ini tak begitu dramatis seperti kisah sinetron.
Namun, tanya itu tak urung menyeretnya menyusuri labirin waktu, mengenang kejadian demi kejadian sebelum sampai kemari. Pada satu hari di masa lalu ....
Tiara menggigit bibir, saat suara Alia di seberang sana berkisah. Adiknya itu berkata putus-putus di sela tangis pilu. Mungkin, sekarang air mata sang adik pun sederas air mata yang membasah di pipi Tiara.
“Pulang, Mbak. Aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi.” Begitu kalimat yang diucap Alia. Rangkaian kata yang membuat Tiara menuju terminal, dan pulang ke kampung saat itu juga.
Sudah tiga tahun ini Tiara kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta. Kampus impian, yang berhasil ia raih dengan jalur beasiswa prestasi. Satu keuntungan karena menjadi lulusan terbaik sekabupaten, saat lulus SMA dulu.
Menjalani hari di perantauan, ia begitu cermat mengatur keuangan. Kiriman dari ibunya yang tak seberapa, membuat Tiara harus berhemat sedemikian rupa.
Beberapa kali ia mencari uang tambahan dengan berjualan online, juga pekerjaan lain. Salah satunya dengan memberi bimbingan belajar pada anak kecil di sekitar tempat kost. Meski hasilnya tak seberapa, tapi bisa mencukupi kebutuhan pakaian, juga ponsel pintar guna menunjang kegiatan belajarnya.
Lima jam di bus, Tiara sampai di kampung setelah malam. Alia menyambut dengan tangis, lalu menceritakan yang terjadi. Tentang ayah mereka yang main gila dengan wanita di kampung sebelah, lalu pergi setelah membawa semua tabungan milik ibunya. Laki-laki yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga itu tak lupa merampas perhiasan yang tak seberapa.
Tindakan sang ayah menyisakan sakit yang teramat di hati ibunya. Bukan tanpa alasan, sebab selama ini Tiara tahu jika ibunya berbakti dan bekerja keras. Membantu berjualan kue dan apa saja, demi kehidupan lebih baik.
Namun, ayahnya tak melihat pengorbanan itu, dan memilih bermain gila dengan wanita lain. Menorehkan luka, juga rasa malu karena gunjingan orang.
Dua hari di rumah, Tiara tak bisa mengembalikan senyuman ibunya seperti semula. Tatapan wanita terkasihnya itu kosong, dan wajah yang selalu sembab. Sampai di suatu pagi yang dingin, ia menemukan sang ibu tergeletak di lantai.
Beban pikiran yang tak bisa ditanggung lagi membuat ibunda Tiara terserang stroke. Hantaman yang membuat keluarga kecil mereka kian terpuruk.
Sepekan lebih dirawat di rumah sakit, membuat Tiara berpikir keras. Tak ingin membebani keluarga lain, ia terpaksa menjual apa saja yang masih bernilai uang. Meski perawatan ibunya gratis dengan jaminan pemerintah, tetap saja merek butuh biaya besar.
Tiara masih beruntung, sebab ada dua saudara ibunya yang turut membantu selama dirawat. Rumah mereka berdekatan, sehingga dua bibinya masih bisa bahu membahu. Baik merawat saat ibunya telah di rumah, atau menyumbang biaya.
Tak ingin terus terpuruk, Tiara mengutarakan niat bekerja pada bibinya. Sebagai sulung, ia dituntut mengambil alih semuanya, tak boleh lagi berpangku tangan.
“Tapi, bagaimana dengan kuliahmu, Tiara?” Marwah bertanya ragu.
Sama dengan keraguan Tiara saat berpamitan. Namun, ia tak memiliki pilihan lain. Sebab memaksakan kuliah hanya akan menjebak keluarganya dalam nestapa, dan Tiara tak ingin egois.
“Aku bisa mengajukan cuti, Bik. Nanti, kalau Ibu sudah sembuh, aku masih bisa kuliah lagi.” Lalu ia menjelaskan panjang lebar. Berusaha membuat bibinya mengerti, tidak menaruh cemas serta iba.
Berbekal restu dan nekat, Tiara kembali ke Jakarta. Mengurus kelengkapan cuti kuliah, juga memasukkan lamaran pekerjaan ke beberapa tempat dengan ijazah SMA. Nilai tertinggi rupanya tak berpengaruh di sini, karena ia tetap saja gagal saat ditanya pengalaman kerja.
Ia bertanya-tanya, mengapa pemilik lowongan tidak lebih dulu memberi kesempatan?
Bagaimana seseorang akan memiliki pengalaman kerja, jika terus saja ditolak?
Bukankah seharusnya mereka menerimanya lebih dulu?
Lalu ia berpikir, mungkin juga itu alasan pemilik perusahaan untuk menyisihkan pencari kerja tak berkompeten, lalu mengganti dengan yang lebih baik. Akan tetapi, Tiara menyayangkan hal itu. Sebab ia yakin dirinya adalah pekerja keras, dan juga bisa melakukan banyak hal. Tiara bahkan bisa belajar lebih cepat dari orang lain, hal yang membuatnya dikenal sebagai gadis cerdas di kampusnya.
Sebulan berjuang tanpa hasil, Tiara mulai menjual ponsel dan menukar dengan yang lebih murah. Tak apa, sebab masih bisa ia gunakan untuk menghubungi adiknya, dan mengetahui perkembangan kondisi sang ibu. Sampai kemudian ia tertarik dan mengajukan diri pada yayasan yang menyalurkan tenaga kerja.
Awalnya Tiara merasa enggan. Bagaimana mungkin seorang lulusan terbaik SMA Negeri sekabupaten mendaftar jadi pembantu?
Bagaimana bisa, seorang mahasiswi dengan prestasi mentereng akan bekerja sebagai pelayan?
Akan tetapi, sekali lagi Tiara tak bisa egois. Ada Alia yang masih harus sekolah, ada ibunya yang harus sembuh. Jadi, tekatnya sudah bulat. Bahkan, jika harus menjadi TKW di negeri lain, Tiara siap demi pundi rupiah.
Yayasan yang didatangi Tiara begitu bonafid. Tampak dari pembekalan yang diberikan pada calon pekerjanya. Mulai dari keterampilan menjaga bayi dan balita, merawat lansia, memasak, juga keterampilan beberapa bahasa.
Yayasan yang berada di bawah naungan Dinas Tenaga Kerja, membuat Tiara merasa tenang dan merasa berada di tempat yang tepat. Bahkan, banyak pengetahuan dan keterampilan yang ia dapat. Bekal menjalani kehidupan, yang tidak diajarkan dari berorganisasi di bangku kuliah. Kenyataan yang membuka matanya, bahwa praktik langsung memanglah lebih baik dari sekadar teori.
***
“Tiara?” Suara Sundari menyentak Tiara lamunan. “Kamu melamun?”
“Ah, t-tidak, Nyonya. Saya hanya ....”
Sundari menatap gadis di depannya dan berkata, “Kamu melamun.”
Kalimat yang membuat Tiara menyesal, dan merasa bersalah. Ia merasa tak enak hati, karena tertangkap kehilangan fokus saat pertama bekerja.
“Jadi, kenapa kamu bekerja di sini? Padahal, dari penampilanmu, akan banyak tempat yang menerimamu?” Lagi Sundari bertanya.
Tiara menarik napas dalam. Bingung dengan apa yang harus ia jawab. Sementara, menyatakan jika ia butuh uang demi keluarga akan terdengar dramatis saat ini.
“Karena saya ingin memiliki kesempatan merawat Nyonya seperti merawat ibu saya sendiri. Hal yang tidak bisa saya lakukan selama ini.”
Entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Tiara. Setelah berucap, ia lantas menunduk, mengiring pandangan yang mulai buram, karena tertutup kaca-kaca yang datang tanpa permisi.
“Maksudmu?” Sundari tampak menyimak.
Dituntut sebuah penjelasan, Tiara merasa menyesal. Akan tetapi, entah mengapa pertanyaan itu justru memaksanya berkata jujur. Ia bahkan tidak peduli, jika nanti Nyonya Sundari akan mengiranya mendulang simpati belaka.
“Di kampung, ibu saya sakit.”
Gadis itu memulai, sambil menghela napas yang tiba-tiba terasa sesak. Lalu mengalirlah kisah tentang ibu dan keluarganya. Namun, Tiara membungkus kisah pilu itu dengan keyakinan dan semangat. Tidak boleh menjual iba, demi menarik hati majikan. Itulah yang berusaha ia tanamkan.
Sundari yang menyimak membuat Tiara merasa tersanjung. Ia bahkan meminta maaf pada majikannya itu, setelah selesai bercerita.
“Aku mau buang air kecil,” kata sang majikan kemudian.
Dengan sigap Tiara bangkit, dan mendekati Sundari, setelah mengambil sebuah pispot di kamar mandi. Saat itu ia menyadari, bahwa ada yang tak baik tentang sang majikan yang tampak baik-baik saja.
Tiara menemani Sundari seharian. Tak banyak percakapan, karena majikannya terlihat lelah dan banyak beristirahat. Sesekali wanita itu meminta Tiara mengupas buah, juga menyuruh menyalakan televisi, dan mencari channel kesukaannya.
Sore harinya, Tiara mengganti pakaian Sundari. Begitu juga dengan seprei dan selimut. Mengelap seluruh permukaan dengan cairan desinfektan yang tersedia, sesuai titah Nurma.
Gadis itu melakukan semuanya, meski agak kesulitan saat harus mengangkat tubuh Sundari seorang diri. Namun, entah mengapa satu sisi hatinya merasa senang bekerja seperti ini. Ia merasa sedang melakukan hal itu benar-benar untuk ibunya.
Sementara itu, Nurma melarang suster dan Lisa untuk ke kamar Sundari. Ia ingin melihat bagaimana kesungguhan Tiara dalam merawat sang majikan. Wanita tua yang ia hormati dan kasihi selama ini.
***
Malam tiba, setelah hari pertama bekerja yang melelahkan bagi Tiara. Namun, ia masih berusaha tenang, meski tak ada tanda-tanda akan ada pelayan yang menemani. Padahal, tadi Nurma berkata ia akan bekerja sama dengan dua orang yang lain.
Tiara bingung harus bertanya pada siapa. Sementara, tak mungkin baginya meninggalkan kamar Sundari, meski perutnya sudah terasa lapar. Wajar, karena ia melewatkan makan siang. Hanya sebuah roti yang diberikan sang majikan sebagai pengganjal lapar.
Jam dinding menunjukkan waktu setengah tujuh, saat pintu kamar diketuk. Menampilkan Nurma yang datang ditemani seorang pelayan membawa nampan. Segera Tiara menyambut, tapi kepala pelayan itu menghentikan.
“Biar aku yang melakukannya untuk Nyonya. Kamu, kembali ke kamarmu. Bersihkan diri, lalu kembali ke sini setelah makan.”
Tiara terkesiap, tapi sesaat kemudian mengangguk patuh. Baru saja akan meninggalkan kamar, saat Nurma kembali menyebut berbicara padanya.
“Seragam ada di lemari kamarmu.” Tiara hanya mengangguk, sembari membungkukkan badan.
Keluar dari kamar mewah Sundari, langkah Tiara terasa ringan. Ia bahkan menepuk dada, dan mengudarakan syukur tiada henti dalam hati. Tak menduga, jika hari pertama ini berhasil ia lalui tanpa rintangan berarti.
Saat menuju bagian belakang bangunan yang sangat besar, gadis berkulit putih itu menyapukan pandangan ke sekeliling. Rumah dengan desain megah layaknya istana ini lagi-lagi memukau mata, dan membuat ia berdecak kagum.
Ia tertegun saat melihat lampu kristal raksasa yang menggantung indah, di pusat rumah ini. Menawan, menghias langit-langit yang menjulang di tengah ruangan. Sementara, tangga memutar menghubungkan ke lantai dua.
“Wah ... ini beneran istana,” gumamnya pelan, sambil tetap menjelajah seisi ruangan dengan mata.
Usai dengan rasa takjub tiada habis, Tiara menuju meja makan yang tadi pagi menjadi tempat bercakap dengan Nurma. Ternyata itu adalah tempat para pekerja untuk bercengkerama di waktu makan. Saat ia sampai, telah banyak yang duduk di sana, menyambut dengan tatapan menelisik.
Ada lima orang perempuan dengan seragam berwarna merah jambu, sedangkan tiga orang laki-laki mengenakan pakaian bebas. Salah satu di antara mereka menyapa Tiara, dan menunjuk sebuah kursi kosong.
Setelah berbasa-basi dan berkenalan, gadis berseragam ungu itu menyantap makanan dengan agak tergesa. Takut jika Nurma menunggu lama.
Tiara kembali ke kamar Sundari kurang dari setengah jam. Tak lupa mengirim pesan pada Alia, bahwa ia baik-baik saja dan akan mengirim uang. Kabar kesehatan ibunya yang membaik, menambah rangkaian rasa syukur dalam hati gadis itu.
“Kamu sudah selesai?”
Nurma menyapa begitu Tiara menjejakkan kaki di kamar Sundari. Ia masih memegang mangkuk dan menyuapi sang majikan. Pelayan yang tadi sudah tidak tampak, entah ke mana.
“Iya, Bu Nurma. Maaf sudah membuat Ibu menunggu lama.” Tiara membungkuk, lalu tersenyum manis.
“Baiklah. Aku pergi. Ada intercom atau telepon paralel yang bisa kamu pakai jika Nyonya butuh sesuatu, atau kami butuh bantuan.” Nurma bangkit di akhir kalimatnya.
“Baik, Bu Nurma. Terima kasih.” Tiara melepas sang kepala pelayan hingga ke pintu. Ia tak sadar, jika Sundari mengawasi dari ranjang.
Selepas kepergian Nurma, Tiara kembali terjebak sepi di kamar bercat putih nan luas. Sundari tak banyak berbicara, hanya memintanya memijat kaki seperti siang tadi. Sesekali mereka tertawa, saat menyaksikan acara televisi. Terbilang akrab untuk dua orang yang belum 24 jam saling kenal.
“Pijatanmu lembut, aku suka.” Sundari memuji, membuat Tiara tersipu.
“Terima kasih, Nyonya. Kalau Nyonya suka, saya akan terus melakukannya dengan senang hati.”
“Ganti lampunya dengan yang lebih redup. Aku tidak suka jika terlalu terang.”
“Baik, Nyonya.”
“Oh iya, Tiara. Tambahkan sedikit essential mawar ke disfuser itu.” Sundari menunjuk sebuah alat uap aroma terapi berbentuk bunga di sisi kanan ranjangnya.
Tiara terus memijat kaki berbalut kulit keriput itu, sampai sang empu terlelap. Kantuk yang menyerang membuat acara televisi tak lagi menarik baginya, meski ia menjelajah banyak channel. Tanpa sadar, Tiara terlelap dengan posisi menelungkup ke ranjang, dan kepalanya mencium kaki sang majikan.
Suara berdeham di dekat telinga menyentak Tiara, yang tanpa sengaja tertidur. Tampak seorang pria berkaus putih duduk di tepi ranjang, tak jauh dari posisi kepalanya.
Tiara bahkan sedikit terbelalak, saat mendapati jam dinding menunjuk jam satu malam. Ia tak menyangka telah tertidur selama itu, padahal rasanya baru saja terlelap. Ia masih ingat, terakhir kali terjaga waktu masih menunjuk angka sepuluh.
“M-maaf, Tuan. Maafkan saya.”
Tiara segera bangkit setelah mengumpulkan kesadaran, ia menarik seragamnya yang sempat tersingkap dan menunjukkan punggungnya.
Dari kepala yang tertunduk, tampak pria di depannya masih duduk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tiara tak tahu, jika lelaki itu tengah mengamatinya dengan lekat sekarang.
Bagaimana kalau dia memecatku? Ya Tuhan, Tiara ... kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bukannya menjaga majikan, malah ketiduran!
“Jadi, kamu pembantu baru yang mengurus Eyang?” tanya sang tuan dengan suara berat.
“B-benar, Tuan.”
Tiara mengangguk, tanpa berani menatap wajah pria itu. Sementara tangannya saling meremas di depan tubuh. Gugup dan takut yang menyerang dalam satu waktu membuat kantuk hilang entah ke mana.
“Dan kamu ketiduran di hari pertama bekerja? Apa tidurmu nyenyak?” Suara berat itu terucap penuh penekanan, membuat Tiara gemetar.
Bayangan akan dipecat dan tak bisa membiayai pengobatan sang ibunda membuat Tiara bersimpuh.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud lancang dengan tidur di sini. Saya mohon jangan pecat saya.” Gadis itu berkata sangat pelan, dengan bibir bergetar. Takut jika suaranya terdengar Sundari yang tengah terlelap.
Pria di hadapan Tiara terkekeh pelan. Ia lantas bangkit, dan berdiri tegak tepat di hadapan Tiara. Membuat gadis itu semakin tertunduk dalam.
“Kamu sedikit berlebihan, Nona. Aku hanya bertanya, apa tidurmu nyenyak, dan kamu malah minta dipecat.”
Tiara mengangkat wajahnya yang kini berubah pias, menunjukkan mata berkaca-kaca. Dengan bibir bergetar dia berucap, “T-tuan?”
“Ke ruang kerjaku besok pagi, sebelum jam enam.” Usai berucap demikian, lelaki berkaus putih itu pergi. Meninggalkan Tiara yang masih bersimpuh di lantai.
Eh? Apa dia mau memberi pesangon dan memecatku?
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Ai Elis
aku suka...😘
2022-04-05
0
Lia Dahlia
nyimak dku ah
2021-04-05
0
Neneng Kurniatul Ainy
sultan
2020-11-27
0