7. Serba Salah

Tiara terjaga dari tidurnya, saat mendengar Sundari mengigau. Terdesak penasaran, ia mendekat dan meraba kening Sundari. Betapa terkejutnya, saat ia mendapati suhu tubuh wanita itu lebih dingin dari biasanya. Wanita itu menggigil, dan meracau tak jelas.

“Nyonya, apa Nyonya baik-baik saja?” tanyanya cemas.

Tak ada reaksi dari Sundari, selain gumaman aneh. Dilanda ketakutan, Tiara mengeluarkan ponsel dari saku seragam, dan mencoba menghubungi Prabu. Akan tetapi, tuannya itu tak menjawab sampai beberapa panggilan berlalu.

Dalam kepanikan, akhirnya Tiara menelepon Nurma. Sebab di jam yang mendekati dini hari, tentu interkom tak akan membantu banyak. Semua pelayan tentu sudah beriistirahat di kamar masing-masing.

Nurma datang dengan tergesa, tak lama setelah Tiara melakukan panggilan. Dilihatnya Tiara yang ketakutan. Gadis itu duduk di sisi ranjang, dengan menggenggam jemari Sundari.

“Bu Nurma, bagaimana ini? Nyonya tidak menyahut sama sekali.” Tiara berkata dengan bibir bergetar, serta air mata siap tumpah. “Bagaimana kalau—“

“Sejak kapan?” tanya Nurma tenang, lalu menghampiri Sundari. Ia memeriksa kening, juga leher sang majikan.

“B—baru saja. Saya terbangun karena mendengar Nyonya mengigau.” Tiara menjelaskan.

Nurma berdiri di sisi ranjang, lalu melakukan panggilan pada seorang dokter keluarga, yang menangani Sundari selama ini. Sesekali ia melihat ke arah Tiara yang sibuk mengganti kompres, juga mengajak Sundari berbicara meski tak ada jawaban.

Tak ada jawaban dari seberang, membuat Nurma cemas. Sementara apa yang dilakukan Tiara tak begitu memberi efek pada kondisi Sundari.

“Apa di rumah ini ada jahe?” tanya Tiara pelan.

“Jahe?” Nurma balas bertanya.

“Iya. Saya butuh jahe parut dan beberapa botol air panas sekarang, Bu Nurma!”

“Siapa yang akan melakukannya malam-malam begini? Sementara tidak mungkin kita meninggalkan Nyonya sendirian!” Nurma ikut gelisah sekarang.

Mendengar itu, Tiara bangkit dan menatap tajam ke arah Nurma. Dengan tegas dan satu tarikan napas, gadis itu berkata, “Bangunkan pelayan! Bu Nurma punya kewenangan untuk itu, ‘kan?”

Untuk sesaat, Nurma terkesiap dengan sikap Tiara. Baru kali ini ada yang berbicara dengan demikian padanya, selama lebih tiga puluh tahun bekerja di rumah ini. Namun, saat kesadarannya kembali, ia segera mengangguk, dan menekan tombol kecil di sisi ruangan. Sebuah tombol merah yang terlindung kotak menyerupai kaca.

Tak lama berselang, Tiara menengok ke bawah, ke arah paviliun para pelayan. Ada kesibukan di sana, ditandai dengan lampu-lampu yang menyala dari masing-masing kamar.

“Ini alarm. Bel darurat yang terhubung langsung dengan kamar pelayan.” Demikian Nurma berkata, seakan-akan paham jika Tiara butuh penjelasan.

“Kamu bisa menekannya dalam keadaan darurat, seperti malam ini.” Ia menambahkan, lalu menuju interkom. Memberi perintah sesuai yang dikatakan Tiara tadi.

Tiara mengangguk pelan, lalu kembali duduk dan menggenggam jemari sang majikan. Tampak ia begitu cemas, sambil sesekali menyeka wajah Sundari. Ia merasa detik begitu lama berlalu, menanti kedatangan dokter.

Tak lama, pintu kamar Sundari terbuka. Segera Tiara menyambar nampan yang dibawa pelayan, dan mengoleskan parutan jahe ke punggung, serta telapak kaki Sundari. Tubuh wanita itu terasa dingin, meski pendingin ruangan dimatikan.

“Badan Nyonya semakindingin. Bagaimana ini?” Tiara semakin panik.

Terus digosoknya punggung Sundari, menunggu reaksi. Sementara dua pelayan lainnya sibuk menggosok telapak kaki sang majikan.

“Telepon ambulans, Bu Nurma! Kita bawa Nyonya ke rumah sakit!”

Seketika semua aktivitas pelayan terhenti. Mereka menatap Tiara, lalu saling tatap satu sama lain.

“Ada apa? Kita harus membawa Nyonya ke rumah sakit, atau—“

“Tidak ada yang boleh membawa Nyonya keluar dari rumah ini, tanpa seizin Tuan Prabu.” Nurma menyela.

Tiara bangkit dan menatap tajam. “Lalu, apa yang akan kita lakukan kalau sampai terjadi sesuatu pada Nyonya?” Ia meradang.

“Tiara!”

“Aku akan membawa Nyonya ke rumah sakit malam ini juga, apa pun yang terjadi!” Tiara berkeras. Ia lalu menuju interkom.

Namun, langkah gadis itu terhenti, saat semua orang bergeming dengan bibir terkatup rapat.

“Bu Nurma?” Tiara berusaha meminta dukungan. “Lisa? Lulu?” Ia memanggil yang lain.

Namun, lagi-lagi ia dihadapkan pada kekecewaan, karena tak ada dukungan sama sekali.

“Dengan diam begitu, kalian mengecewakanku!” Tiara terisak. “Apa kalian lebih takut dengan amarah Tuan Prabu dibandingkan keselamatan Nyonya? Apa benar, kalian hanya bekerja demi uang? Tolonglah! Bagaimana jika yang berbaring itu orang tua kalian? Apa kalian akan sediam ini?”

Semua yang ada di ruangan itu saling tatap, lalu mengamini kata-kata Tiara.

Tiara lantas menuju interkom, dan melakukan panggilan. “Pak Sapto, bantu saya. Kita bawa Nyonya Sundari ke rumah sakit, sekarang!”

***

Prabu menggeram marah sembari menggebrak meja kerjanya, saat mendengar kalimat Nurma. Ia berang, saat mengetahui Tiara membawa sang nenek tanpa izin.

“Berapa kali kuingatkan pada kalian semua, untuk tidak bergerak di luar persetujuanku?” bentaknya dengan lantang. Sementara itu, semua pelayan tertunduk di hadapannya dengan gemetar.

“Maafkan saya Tuan. Seharusnya saya bisa mencegah gadis itu. Saya akan memberinya peringatan.” Nurma berbicara pelan.

“Tidak perlu! Aku yang akan memberinya peringatan!”

Usai berkata demikian, Prabu mengayun langkah kasar meninggalkan ruang kerjanya. Ia tak peduli lagi dengan permintaan maaf dan kasak-kusuk di antara pelayan. Ia memacu mobil, membelah jalanan Jakarta yang padat di siang hari.

Berkali-kali ia berusaha menghubungi Tiara, tapi gadis itu tak menjawab. Ia memukul setir gemas saat terjebak di lampu merah. Ia juga tak henti mengutuk diri karena semalam tadi di sudah menghabiskan waktu bersama wanita barunya. Pemilik tubuh sintal yang membuatnya mabuk kepayang hingga pagi, dan terlambat kembali ke rumah. Padahal sebelumnya, ia tak pernah pulang lewat dari jam dua belas malam.

Prabu menggeram sekali lagi. Terlalu banyak urusan kantor yang membuatnya penat, hingga melarikan diri ke para perempuan belakangan ini. Ditambah ulah Tiara yang membawa neneknya tanpa izin, membuatnya semakin meradang.

Amarah Prabu semakin memuncak setibanya di rumah sakit. Bukan tanpa alasan, karena pihak rumah sakit menempatkan neneknya di perawatan kelas dua, dan harus berbagi kamar dengan tiga pasien lain. Padahal selama ini, ia sudah menggelontorkan dana besar untuk fasilitas kesehatan itu.

“Apa kalian gila? Kalian ingin aku mencabut semua sahamku dan undur diri sebagai donatur tetap di sini?” bentaknya sambil memukul meja resepsionis.

“Berani-beraninya kalian menempatkan nenekku di ruangan seperti itu?!” teriaknya lagi, yang menyita perhatian pengunjung. Hal yang membuat beberapa resepsionis ketakutan.

Tak peduli dengan situasi yang ia timbulkan, Prabu menuju lantai lima. Ruang perawatan Sundari. Sesampainya di sana, ia mendapati Tiara tengah menggenggam tangan neneknya. Gadis itu berdiri menyambut, tapi ia tak peduli. Disambarnya lengan Tiara, dan menarik paksa pelayan itu keluar.

“Tuan! Lepaskan! Apa-apaan ini!”

Tiara meronta dengan suara tertahan, sebab tak ingin mengganggu pasien lain. Prabu mencengkeram pergelangan tangannya di sepanjang koridor, dan itu menimbulkan rasa sakit. Ia bahkan menyeret langkah, mengikuti gerakan cepat Prabu yang berkaki jenjang.

Sampai di ruang suster Prabu berhenti, dengan tangan masih mencengkeram Tiara. Tak peduli saat lagi-lagi menjadi perhatian beberapa tenaga medis yang berjaga di sana.

“Segera orang untuk memindahkan pasien atas nama Sundari Adji Widjaya ke kamar president suite! Jangan bertanya apa pun, dan hubungi manager kalian. Mengerti?” Ia bertitah dengan amarah meluap, lalu mengeluarkan sebuah kartu. Sebuah previlege dari rumah sakit, khusus untuk donatur dan pemegang saham.

Usai berkata demikian, Prabu beranjak, dan menyeret Tiara memasuki lift. Tak lupa menekan tombol menuju puncak gedung.

“Berani-beraninya, kamu!”

Sesampainya di atap rumah sakit, Prabu membentak dan menghempaskan Tiara hingga gadis itu nyaris terjungkal.

“Kamu pikir siapa dirimu, sampai berani mengambil keputusan sebesar itu untuk Eyang? Hanya karena aku memberimu kelonggaran dan keistimewaan dari yang lain, bukan berarti kamu bisa seenaknya!”

“T—tuan!”

"Hanya karena aku membelikanmu gaun, kamu pikir dirimu spesial?" Prabu menatap sinis, dan berkata masih dengan suara lantang.

"Hanya karena kamu satu-satunya pelayan yang memiliki nomor telepon dan menikmati previlege dariku, kamu pikir kamu berhak berbuat sesuka hati?"

"Tuan, bukan seperti itu. Sayia--"

“Apa? Apa kamu pikir aku tidak bisa menghabisimu? Iya?” Prabu makin meledak-ledak.

Sementara itu, Tiara gemetar menahan takut. Ia meringis memegangi pergelangan tangan yang memerah. Air matanya mengalir deras. Kata-kata Prabu sangat menyakitinya.

“Saya tidak punya maksud apa-apa, Tuan. Sungguh! Semalam itu—“

“Sadarlah dengan posisimu! Kamu hanya pelayan! Babu! Jangan melewati batasanmu!” Prabu mendekat, dan mencengkeram dagu Tiara dengan kasar.

Tiara meronta, dan melepaskan diri. Ia bahkan abai, saat merasa perih di pipi, tergores kuku Prabu.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan? Menunggumu dan melihat Nyonya mati sia-sia karena patuh padamu, Tuan?!” Entah dapat keberanian dari mana, Tiara berteriak.

“Jaga ucapanmu, pelayan bodoh!”

“Ya! Aku memang bodoh! Tapi, setidaknya, aku melakukan hal yang benar! Aku sudah menghubungimu, Tuan Prabu! Aku meneleponmu! Tapi apa!”

“Aku bilang jaga ucapanmu!”

“Kenapa? Apa semalam kamu sibuk menggilir wanitamu, sampai tidak sempat menjawab teleponku? Apa kamu pikir aku menghubungimu untuk merayi seperti wanitamu yang lain? Perlu kamu tau, Tuan! aku pun tidak sudi menghubungimu jika bukan karena sesuatu yang penting!"

“Cukup kubilang! Beraninya, kamu!”

Tiara tersungkur saat Prabu melayangkan tamparan keras. Sudut bibirnya berdarah, dan ia tergugu sambil memegang pipinya. Namun, sejenak kemudian ia berdiri, dan menatap Prabu dengan sorot tajam, penuh benci.

“Semalam Nyonya mengalami hipotermia entah apa sebabnya! Aku nyaris terlambat membawanya, dan hampir saja Nyonya kehilangan nyawa! Apa aku masih bodoh membawanya kemari?” Tiara terisak semakin keras.

“Aku tidak takut kehilangan pekerjaan atau kamu habisi, Tuan! Setidaknya, nyawa Nyonya tertolong!” Intonasi Tiara merendah, lalu bahu yang tadi menegang kini terkulai.

“Anda tidak tau apa arti kehilangan, Tuan. Tidak sama sekali, berbeda dengan aku. Si pelayan bodoh yang tak lebih hanya budak bagimu!”

Usai berkata demikian, Tiara menyeka mata dan berlari. Meninggalkan Prabu yang masih mematung di atap gedung.

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Cindy Virgo

Cindy Virgo

tuan prabu blegedeess ...

2022-10-16

0

Ai Elis

Ai Elis

emang Tiara bodoh.udah di sakitin masih aja baperr.....🙄

2022-04-05

0

Ida Lailamajenun

Ida Lailamajenun

bgs la Tiara punya keberanian bgt ma prabu biar majikanmu itu tau klu pelayan bodoh yg dihina nya akan mengejar" cintamu nanti nya..

2022-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!