Usai kunjungan Dokter Hadi, siang itu Tiara langsung menyuapi Sundari. Ada beberapa obat yang harus diminum, dan dengan susah payah Tiara membujuk agar Sundari menghabiskan makanannya.
Terkadang, merawat majikannya ini seperti merawat anak kecil bagi Tiara. Sebab, ada kalanya Sundari pun ingin bermanja, atau seharian mendengarkan cerita. Apa saja, bahkan terkadang Tiara menceritakan keluarga, ibu, dan juga Alia sang adik.
“Ah, apa sekarang kamu sekongkol sama dokter-dokter dan Prabu?” Sundari mengajukan protes. Wanita itu merajuk dengan mimik wajah lucu.
“Ah, sayangnya ... saya harus melakukannya supaya kita cepat pulang, Nyonya.”
Tiara memasang mimik serius saat berkata, bagai ibu yang memberi titah pada anak kecil. Di tangannya tersisa sesendok bubur sayuran saja kini. Saat berbincang sambil makan, tak terasa Sundari menghabiskan semangkuk makan siangnya.
“Ah, rasanya aku akan menarik telingamu! Lihat saja, itu yang akan kulakukan pertama kali saat sembuh nanti!” Sundari masih merengut, tapi tak urung ia membuka mulut.
Tiara meletakkan mangkuk dan peranti makan, lalu menarik dua telinganya sendiri.
“Kalau begitu, Nyonya harus cepat sembuh, supaya bisa menarik telingaku!”
Keduanya lantas tertawa. Entah kapan keakraban itu terjalin, tapi Tiara bahagia Sundari menerimanya dengan baik.
Tiara mengusap bibir Sundari dengan tisu. Jika dilihat, majikannya ini cukup sehat. Namun, yang menjadi tanya Tiara, mengapa Sundari tak bisa berjalan, dan begitu nyaman di atas kursi roda? Sampai untuk urusan kamar mandi, semua dibantu Tiara sejak hari pertama bekerja.
Tiara juga tak habis pikir, apa enaknya tergantung pada orang lain? Sementara, ibunya nun jauh di kampung halaman ingin cepat sehat, agar tak lagi merepotkan siapa pun.
“Oh, iya, Tiara. Apa semalam Prabu mengatakan sesuatu padamu?”
Tanya Sundari membuat aktivitas Tiara yang tengah melipat selimut terhenti. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara takut dan merasa tidak enak. Bagaimana jika Sundari mengetahui, bahwa semalam ia berbagi selimut dengan Prabu?
Seketika ingatan Tiara kembali pada kejadian malam tadi, saat Prabu mendekapnya sepanjang malam.
“Ah ... t—tidak, Nyonya. Tuan ... dia tidak mengatakan apa pun. Kenapa?” Ia berusaha tersenyum, menutupi rasa gugup.
“Tidak. Aku hanya senang, dia menghabiskan malam di sini, bersama kita. Entah kapan aku mendapatkan perhatian lebih darinya seperti ini. Kamu tahu sendiri, kan? Dia itu selalu sibuk dan nyaris tidak pernah di rumah.” Kalimat panjang Sundari terdengar seperti keluhan.
“Itu tidak benar, Nyonya. Setiap malam sepulang bekerja, Tuan pasti mengunjungi kamar Nyonya. Lalu dia pergi, setelah mencium Nyonya dengan mesra. Apa itu bukan bentuk perhatian yang luar biasa?” Tiara mendekat, dan mengusap lengan Sundari.
“Benarkah?”
Tiara menggenggam tangan Sundari dan berkata, “Saya bahkan tidak pernah menjumpai kasih sayang yang begitu besar, seperti yang diberikan Tuan Prabu untuk Anda, Nyonya.”
Sundari menghela napas dalam, dan berkata, “Ah, rasanya ... sejak ada kamu tidurku terlalu nyenyak. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau Prabu datang. Padahal, biasanya aku baru bisa tidur saat sudah melihatnya.”
***
Prabu meninggalkan ruang meeting dengan tergesa. Tak hanya itu, saat presentasi produk baru tengah berlangsung, ia beberapa kali kehilangan fokus dan terus melihat jam di pergelangan tangan. Tak biasanya ia se-gusar ini, dan tentu sikapnya menjadi perhatian seisi ruangan.
Sejak tiba di kantor, wajah Tiara yang melepasnya di pintu rumah sakit pagi tadi selalu terbayang. Hal yang membuatnya beberapa kali hilang fokus, apalagi saat mengingat bagaimana ia memeluk gadis itu semalam. Bahkan, rasanya hangat tubuh Tiara masih terasa di telapak tangan.
Saat menyalakan mesin mobil, Prabu sampai menepuk kepala beberapa kali. Ia sungguh berharap pikiran gila itu hilang dari kepala. Bagaimana mungkin, ia bisa merasa begitu penasaran pada pelayan? Gadis itu tidak sebanding dengan wanita yang biasa menghabiskan malam dengannya, dari segi kecantikan maupun bentuk tubuh.
Begitu mobil terjebak di lampu merah, ingatannya kembali pada kejadian semalam ....
“Tapi, Tuan ... bagaimana kalau Nyonya melihat? Saya tidak enak.” Tiara berbicara pelan di dalam pelukannya. Napas gadis itu hangat menyapu dada, membuatnya ingin menerkam jika tidak sedang berada di rumah sakit.
“Memangnya kenapa kalau Eyang melihat? Kamu keberatan?”
“Bukan begitu, Tuan ... saya hanya—“
“Aku hanya meminjamkan selimut, karena selimutmu tidak cukup memberi kehangatan. Jadi, diamlah. Atau kamu berpikir kita harus melakukan lebih?” Prabu berkata dengan tangan mengusap punggung yang mendadak lebih kaku dari sebelumnya.
“M—maksud Tuan apa?” Tiara terbata-bata.
Sebuah senyum miring tersungging di bibir Prabu. Ia merendahkan kepala, menikmati aroma segar dari rambut Tiara. Kemudian, dengan suara serak ia berkata, “Aku menginginkanmu. Lebih dari sekedar ciuman. Karena itu, lebih baik kamu tenang, atau aku benar-benar membuktikan kalimatku.”
Suara klakson bersahutan membuat Prabu menggeleng, lalu berusaha kembali fokus pada kemudi. Tiara terlalu sederhana untuk ia kagumi sampai sedemikian rupa, sampai membuatnya nyaris hilang akal. Namun, ia tak habis pikir mengapa gadis itu terus saja menari dalam ingatan?
Dalam hati Prabu menyangkal rasa dalam dada. Namun, tanpa sadar ia justru berbelok ke toko bunga, dan memarkirkan kendaraan di sana. Tiba-tiba terbesit pikiran untuk membawa sesuatu untuk Tiara. Lagi-lagi, hal di luar nalar yang dilakukannya untuk seorang pelayan. Tak hanya itu, Prabu juga singgah ke sebuah restoran seafood dan membeli bermacam-macam makanan, sebab tak tahu harus memilih yang mana untuk Tiara.
**
Tiara yang tengah duduk di sofa mengernyit, saat seorang bell boy datang membawa troli yang penuh makanan. Pemuda sebaya dengannya itu menyapa dengan ramah, dan Tiara bangkit untuk menyambut.
“Tapi, saya belum pesan makan siang.” Tiara berkata pada lelaki tersebut, masih dengan tatapan heran.
Namun, tanyanya terjawab saat sosok Prabu muncul di pintu. Pria yang membuat hatinya kini bagai kemarau tersiram hujan. Entah mengapa, ada rindu yang terobati, juga buncah bahagia saat melihat Prabu siang ini.
“Tuan?”
Tiara mengangguk saat bell boy itu berpamitan. Ia lantas melayangkan pandang, pada buket mawar merah di tangan Prabu. Ia mundur untuk memberi jalan, tapi sang tuan justru berhenti tepat di depannya.
“Untukmu. Simpan dalam vas. Supaya tetap segar.” Prabu memberikan bunga itu pada Tiara.
“Untuk saya?” Tiara tak percaya.
“Iya. Kamu tidak suka? Buang saja.”
“Ah, b—bukan begitu, Tuan. Saya suka. Terima kasih.” Tiara pantas menuju meja di sisi jendela, dan meletakkan buket itu di sana. Meskipun sebenarnya ia masih ingin memeluk bunga-bunga itu. Hadiah terindah yang baru diterimanya seumur hidup.
Tiara mengikuti gerak-gerik sang majikan dengan tatapan. Saat ini, Prabu menuju lemari, melepas jas, dan menggantungnya pada sebuah hanger. Dalam balutan kemeja yang lengannya digulung sampai ke siku, entah mengapa Prabu sangat memesona di mata Tiara kini.
Namun, ia segera membuang pandang ke arah lain, saat Prabu melihat ke arahnya. Meskipun hanya per sekian detik, tapi ada yang lagi-lagi berdentam dalam dada Tiara saat tatapan mereka beradu.
“Tadi aku lupa bertanya apa makanan kesukaanmu. Jadi, aku membeli semua ini.”
“Tapi, Tuan ... ini terlalu banyak. Saya tidak bisa menghabiskan ini semua. Ini—“
“Apa kamu pernah bercermin?” Prabu bersedekap, menelisik tampilan Tiara dari puncak kepala hingga kaki.
“Ah, ap—apa?” Diperhatikan sedemikian rupa, membuat Tiara merasa risih.
“Badanmu kurus. Makanlah yang banyak. Jangan sampai orang mengira aku tidak memberimu makan.” Prabu menuju troli makanan, melewati Tiara begitu saja. “Apa yang kamu tunggu? Aku juga lapar. Cepatlah.”
“B—baik.”
Dengan gerakan cepat Tiara menghidangkan seluruh makanan ke meja. Sementara itu, Prabu mengamati setiap gerakan gadis itu. Ia baru sadar jika Tiara begitu menarik saat tampil tanpa seragam seperti sekarang. Ditambah tatanan rambut yang biasanya membentuk bulatan rapi di kepala, kini tergerai bebas. Membuat gadis itu lebih menggemaskan di matanya.
“Sudah, Tuan.” Tiara mundur selangkah, berniat pergi ke sisi ranjang Sundari.
“Mau ke mana? Kita makan bersama. Biarkan Eyang ditemani suster.”
“Tapi, Tuan?” Tiara tampak ragu.
Prabu menatap Tiara yang kini hanya berjarak sebuah meja kecil dari hadapan. Sikap santun dan takut Tiara membuatnya tak sabar, lalu bangkit. Ditariknya gadis itu, hingga terduduk di hadapan.
“Kalau kamu tidak mau makan, suapi aku saja.”
“Apa?”
“Bukankah itu bagian dari pekerjaan?” Prabu menyerahkan piring pada Tiara.
“B—baik.” Tiara menunduk patuh pada akhirnya.
“Dan aku akan menyuapimu, sebagai ucapan terima kasih.”
“Hah?” Mata Tiara membulat.
“Kenapa, kamu keberatan?”
“Bukan begitu, Tuan. Tapi—“
Cup!
Satu kecupan singkat di bibir membuat Tiara terbelalak kaget. Sontak wajahnya bersemu merah.
“Apa kamu tidak sadar kalau sudah banyak bicara? Jangan membuatku gemas, Tiara.”
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Norfadilah
Waduh bang....🤣🤣
2023-06-11
0
Fatim Azzahra
main nyosor j..... hrsnya tkt lh punya bos main sosr gt. blm lg... kastnya jsuh bngt. hrsnya jngn mudh jatuh cintatiaranya.
2022-12-27
0
Ai Elis
kalo aku belum pernah baca pasti mikir eyang bakal dukung si Tiara.tp sayang... aku dah tau akhirnya...🥴🥰🥰
2022-04-06
0