Prabu memicingkan mata melihat siapa yang meneleponnya. Ia mengeretakan gigi dengan kesal. Ini sudah sekian kali, padahal ia sudah mengingatkan agar wanita itu tak lagi menghubungi, dan semua di antara mereka sudah berakhir.
Mengabaikan ponsel yang terus berdering, Prabu bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi. Di sana ia mengguyur tubuh dengan air hangat demi menyusut penat. Beberapa hari belakangan ini banyak sekali hal yang menguras pikiran juga tenaga.
Saat tengah merasakan segarnya air itu, kembali ingatannya tertuju pada Tiara. Pelayan yang entah sejak kapan menarik perhatiannya, karena sikap keibuan dan penyayang. Padahal, usia Tiara baru menyentuh angka dua puluh, jauh darinya yang sudah menyentuh awal tiga puluhan.
“Kamu tidak suka?” tanyanya. Saat ini, Tiara hanya menunduk menatap piring, sambil mengaduk-aduk makanannya.
Ditanya demikian, gadis itu mengangkat wajahnya yang bersemu merah, dan berkata, “Ah, s—suka, Tuan. Hanya saja, saya—“
“Coba ini. Ini lebih enak.” Prabu memotong kalimat Tiara dengan menyodorkan sepotong udang asam manis menggunakan garpu.
Tiara tampak canggung, lalu melirik dua pelayan yang berdiri tak jauh dari meja jamuan makan malam itu. Prabu tahu, jika gadis itu tak menyangka akan mendapat kejutan seistimewa ini.
“Makanlah. Di rumah ini, mereka tidak ubahnya tembok yang hanya bisa melihat, tanpa bisa berkata apa pun.” Prabu semakin mendekatkan ujung garpu ke mulut Tiara.
Ia sangat paham, jika gadis di depannya ini tak ingin menuai gunjingan. Terlebih mengingat usia kerja Tiara yang belum lolos dari masa percobaan.
“Maksud Tuan?”
“Kalo kamu mendengar mereka bergosip, sampaikan padaku. Jangan takut.” Prabu berkata tenang. “Sekarang, buka mulutmu.”
Prabu tersenyum, saat akhirnya Tiara menerima suapan darinya. Gadis itu mengunyah pelan, dengan kepala kembali tertunduk.
“Oh, iya, Tiara.” Prabu berdeham sebentar.
“Mulai besok, kamu boleh kerja tanpa seragam. Di rumah ini, kamu bukan perawat, juga bukan suster. Jadi, silakan berpakaian bebas.”
Prabu kembali menikmati wajah Tiara yang tertegun, antara percaya dan tidak.
“Aku tidak bermaksud apa-apa. Cuma mau membedakan antara kamu dan pelayan. Itu saja. Lagi pula, kamu spesial di rumah ini, karena Eyang sudah menerimamu dengan baik. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk membatalkan kontrak.”
“Maksud Tuan, saya lolos uji?”
Prabu menoleh dan berdecak sebal. Niat hati ingin mendapat ungkapan terima kasih dan pujian, Tiara malah menyebut soal pekerjaan.
Belakangan, ia hanya tak ingin melihat Tiara dalam balutan baju pelayan. Sebab, sejak di rumah sakit tempo hari, ia sangat suka melihat Tiara dalam balutan dress sederhana. Tampak cantik dan memesona.
“Apa kamu mau berhenti?”
“Tentu saja tidak, Tuan!” Tiara menggeleng cepat. “Tapi, biarkan saya mengenakan pakaian ini. Ini terasa lebih nyaman. Lagi pula, saya tidak punya baju yang cukup layak untuk dipakai bekerja.”
“Apa yang kubelikan tempo hari masih kurang?”
“Apa? J—jadi, baju-baju itu dari Tuan, bukannya Bu Nurma?” Tiara tak percaya.
Prabu menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana bisa ia salah ucap? Padahal sejak awal ia berkata pada Tiara, bahwa baju yang dibawa ke rumah sakit itu adalah pemberian Nurma.
“Jadi, Tuan yang membeli semuanya termasuk ... pakaian dalamku?” Lagi-lagi Tiara tercengang. Mungkin menimbang dalam hati, bagaimana sang majikan bisa mengetahui ukuran tubuhnya dengan pas.
“Ah, sudahlah. Habiskan makananmu.
“Baik, Tuan. Terima kasih.” Tiara mulai menyuap lagi. Namun, detik kemudian ia mengangkat wajah dan menatap Prabu dengan mata membulat.
“Apa mungkin ... Tuan pernah mengintip saya mandi? Atau ... memegang sesuatu di tubuhku saat saya tidur di kamar Nyonya?”
Sontak Prabu tersedak. Ia bahkan tak mengira jika Tiara akan menerka sejauh itu. Padahal, tanpa menyentuh pun ia bisa menebak apa yang ada di balik baju Tiara.
Mengingat hal konyol pada makan malam romantis beberapa jam lalu, tak urung Prabu tersenyum simpul. Segera ia menyudahi mandinya, dan keluar dengan balutan handuk di tubuh bagian bawah.
Saat mencapai ranjang, Prabu kembali berdecak kesal, karena rentetan pesan dan panggilan yang masuk ke ponselnya. Ia lantas keluar, dan berlari menuju pintu depan.
***
“Baru mandi, Honey?”
Begitu sapaan yang diterima Prabu, saat membuka pintu. Saat ini, di hadapannya berdiri seorang wanita berbalut gaun malam yang seksi. Tak cukup menutup bongkahan dada yang sintal, juga tak mampu menyembunyikan paha yang mulus.
“Bukannya kubilang jangan datang lagi kemari? Urusan kita sudah selesai, Leana!” Prabu menatap tajam.
Wanita itu abai, dan melangkah dengan gemulai. Menampakkan pinggul dan kaki jenjang yang menggoda.
Sementara itu, Prabu menutup kembali pintu. Ia lantas mengekor ke arah wanita yang telah mencapai ruang tengah, dan duduk dengan menyilangkan kaki di sofa cokelat.
“Oh, iya? Tapi, bagiku kita belum selesai, Sayang.” Wanita itu berkata dengan menyungging senyuman sinis.
“Jangan pernah datang lagi kemari, Leana! Berapa kali harus kuingatkan? Semua yang terjadi antara kita itu kesalahan!”
“Husst ...! Pelankan suaramu, Sayang. Apa kamu mau, nenekmu mendengar, dan kaget melihatku di sini?”
Pada akhir kalimat, Leana bangkit. Ia mengusap dada bidang Prabu, dan mengitari lelaki yang kini tengah dilanda amarah. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa menikmati aroma segar sampo dan sabun yang digunakan Prabu. Menggugah nalurinya untuk menuntut lebih jauh.
“Pulanglah! Jika yang kuberikan sebagai bunga pinjaman masih kurang, akan kuberi lagi jumlah yang kamu inginkan!” Prabu berkata dengan tangan mengepal.
“Jangan begitu, Sayang. Apa kamu tidak merindukanku?”
Leana meninggalkan kecupan kecil di dagu Prabu. Tinggi tubuh yang mencapai 170cm todak menyulitkannya berdiri sejajar dengan lelaki yang dikaguminya ini. Ia juga masih memberikan usapan lembut di dada pria itu. Dalam hal menggoda dan membangkitkan hasrat, ia tak pernah gagal sebelumnya.
Di luar kendali, Leana tiba-tiba menarik tengkuk Prabu, dan memaksa ia larut dalam jebakan hasrat. Tak hanya itu, Leana juga berhasil membawanya rebah di sofa. Prabu berusaha menolak pada awalnya. Akan tetapi, ia tetaplah lelaki normal, yang masih terbuai dengan segala tingkah Leana atas tubuhnya.
Saat tengah terbuai dalam kungkungan Leana, tanpa sengaja Prabu menangkap sosok Tiara berdiri tak jauh dari sofa. Namun, dalam hitungan detik gadis itu berlari dan kembali ke kamar.
Kesadaran Prabu kembali, dan sontak didorongnya tubuh Leana menjauh. “Sudah kubilang, pergi, Leana!”
“S—sayang, kenapa?” Leana menatap Prabu dengan wajah yang telah merona atas buaian hasrat.
“Pulanglah, atau aku memanggil security untuk menyeretmu!” Prabu menunjuk pintu keluar.
Akan tetapi, Leana justru mendekat dan kembali memberi belaian lembut di dadanya. Namun, kali ini Prabu tak memberi ruang. Dicengkeramnya dengan keras pergelangan tangan Leana, lalu menyudutkan wanita itu ke tembok.
“Kubilang pergi, atau kubuat tubuh seksimu ini tak bisa dibanggakan lagi!” ancam Prabu sambil menggeram. Matanya berkilat penuh amarah, menunjukkan kuasanya.
Leana menyentak tangan dari genggaman Prabu dan meringis kesakitan. “Aku akan buat perhitungan! Ingat, Prabu! Jangan berpikir bisa melepaskan diri semudah itu dariku! Aku akan membuatmu berlutut lagi, dan mengikuti mauku!” Leana berkata dengan penuh penekanan dan ancaman dalam satu waktu.
“Aku akan buat perhitungan! Camkan itu, Prabu Adji Widjaya!”
Leana merapikan gaunnya tang tersingkap, lalu melangkah keluar dengan kasar, menyisakan derap sepatu dan pintu berdebam karena dibanting.
Prabu tertegun, memandang kamar Tiara yang tertutup rapat. Ingin rasanya ke sana, tapi tak tahu akan menjelaskan apa. Kemudian, ia memutuskan kembali ke kamar. Di sana ia membasuh wajah berkali-kali, lalu meninju tembok dengan kesal.
Lama bergelut dengan pikiran sendiri, entah mengapa Prabu semakin diliputi rasa bersalah. Tak bisa tidur, pikirannya justru semakin gelisah. Hingga akhirnya ia memutuskan keluar kamar, berlari menuruni tangga dan berdiri tepat di kamar Tiara. Diketuknya pelan, memunculkan gadis berwajah sembab di hadapan.
“T—tuan?” Tiara menyapa dengan suara sengau, khas seseorang usai menangis.
“Tiara, aku ....” Prabu menyusut jarak, membuat Tiara mundur.
“Tidak baik buat Tuan datang kemari di jam selarut ini. Sebaiknya Anda—“
“Semua tidak seperti yang kamu lihat, Tiara. Aku—“
“Saya tidak melihat apa pun, Tuan. Silakan pergi.” Tiara menunduk, berusaha menyembunyikan tangis yang tadi menguasai.
Prabu masuk dan menutup kembali pintu. Melihat Tiara kini, entah mengapa rasa bersalah semakin jauh menusuk hatinya. Dan tak tahu dapat dorongan dari mana, ia meraih tengkuk Tiara dan memaksa gadis itu menengadah.
Tiara tersentak dan berusaha memberi perlawanan. Namun, entah mengapa perlakuan Prabu yang begitu lembut justru membuai, dan membuatnya mengikuti irama indah itu. Mengiring dua bulir air mata menetes di pipi, Tiara membalas kelembutan itu, dan hanyut di dalamnya.
“Maafkan aku.” Prabu melepas ciuman, dan menghapus jejak basah di pipi Tiara. Dikecupnya mata yang memejam itu, lalu kembali melabuhkan ciuman panjang.
Keduanya saling melabuhkan rasa, sampai tak sadar jika hanyut begitu jauh. Namun, saat segenap kesadaran itu kembali, semuanya sudah terlambat. Ada sesuatu yang hilang, ada mahkota yang jatuh berkeping, dan tak bisa dikembalikan lagi.
Dalam isak tangis, dalam banyak untaian kata maaf dan cinta, dalam tiap bait saling memuja, Tiara dan Prabu ... menyatu!
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Ida Lailamajenun
udh biasa pelayan masuk pesona majikan dan berakhir diranjang.
Tiara jd cwek terlalu mudah,sayang sekali..
2022-02-22
0
Novia Mini Suyanto
jd mles baca..stop aj ahh
2022-02-07
0
Maria Padli
jual mahal lah sikit jangan mau jadi jalang hadeh
2021-10-04
0