5. Selangkah Lebih Dekat

“Sudah.” Tiara tersenyum, lalu membersihkan jemari Sundari dengan tisu basah. Ia baru saja memotong kuku wanita itu.

“Sekarang waktunya minum smoothies.” Tiara bangkit menuju meja, dan meraih segelas minuman berwarna merah pekat.

“Hari ini saya meminta Lisa membuat buah naga, pisang, dan alpukat.” Tiara berlutut, dan mendekatkan pipet ke bibir Sundari.

“Boleh aku menolaknya?” Sundari menatap Tiara dengan tatapan memohon. Tentu saja, itu membuat Tiara tersenyum, dan menggeleng.

Entah mengapa, perlakuan Tiara dari hari ke hari membuat Sundari merasa nyaman. Gadis itu begitu memanjakannya layaknya seorang cucu, bukan pengasuh atau perawat seperti yang lain. Dalam dua bulan, Sundari benar-benar melihat Tiara menepati janji, akan merawatnya seperti merawat ibu sendiri.

Ia juga merasa sangat tergantung pada Tiara, tak seperti perawat-perawat sebelumnya. Padahal, dari segi pendidikan, Tiara bukan seorang suster seperti perawatnya yang lain. Namun, gadis itu tahu banyak mana yang baik dan tidak, juga tak segan memaksanya meminum smoothies, seperti pagi ini.

“Oh, iya, Tiara ....”

“Saya, Nyonya?” Tiara segera berbalik, usai meletakkan kembali gelas yang tinggal terisi setengah. Meskipun Sundari tak menyukai pisang dan buah naga, tapi lagi-lagi ia berhasil membujuk sang majikan.

“Kamu bisa membawa ponselmu saat bekerja.”

“A-pa? M-maksud saya—“

“Aku dengar, kamu sering melewatkan makan siang hanya untuk menelepon ibumu. Apa itu benar?” Sundari menatap ke bawah, ke arah Tiara yang menunduk di dekat kakinya.

Meski ia berkali-kali meminta agar Tiara bersikap biasa saja, tapi gadis itu enggan duduk sejajar dengannya, sampai sekarang. Jika ia duduk di kursi roda seperti sekarang, maka Tiara pasti memilih bersimpuh di lantai tepian kolam renang.

“Nyonya ....”

“Nurma juga bilang, saat malam kamu hanya makan makanan sisa milikku, tidak bergabung dengan yang lain. Lagi-lagi, hanya untuk menelepon keluargamu di kampung. Apa itu juga benar?”

“M-maafkan saya, Nyonya. Saya sama sekali tidak bermaksud lalai. Hanya saja ... hanya saja saya—“

“Tiara ....” Sundari menjeda kalimat, lalu berkata, “lihat aku!”

Perlahan Tiara mengangkat wajah, menampakkan matanya uang berkaca-kaca. Sejak awal, ia sangat takut jika melakukan kesalahan, yang mengakibatkan kehilangan pekerjaan ini. Ia sangat butuh uang untuk pengobatan sang ibunda, hingga teguran sedikit saja membuatnya ketakutan seperti sekarang.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Tiara berkata dengan tatapan memohon, penuh kesungguhan.

“Apa kamu begitu merindukan ibumu?”

“Nyonya ....” Air yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya, kini mulai meluruh.

“Kamu bukan tahanan, Tiara. Saat kamu butuh waktu untuk berbicara pada ibumu, bicaralah padaku. Kamu bisa menelepon tanpa harus bersembunyi seperti itu.”

Tiara menunduk dalam. Selama ini, ia memang melewatkan makan siang, dan memilih masuk ke kamar menelepon adiknya. Bertanya kabar tentang perkembangan kesehatan ibunya, juga saling menyampaikan kerinduan. Waktu istirahat yang tak banyak membuat ia melakukan hal itu sembunyi-sembunyi. Sebab, dalam kontrak sudah tertulis jika ia tidak diperkenankan menggunakan ponsel di bawah jam sepuluh malam. Sementara, ibunya pasti telah beristirahat pada jam tersebut.

Banyak sekali poin tak masuk akal dalam kontrak kerjanya di rumah ini. Namun, Tiara sangat paham jika Prabu melakukan hal sedemikian ketat karena rasa sayangnya pada Sundari.

“Nanti kusampaikan pada Prabu untuk hal ini, karena kamu adalah pengecualian.”

“Nyonya?” Mata Tiara membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dengan cepat ia menghapus jejak air mata di pipi.

“Sudah kubilang, kan, aku menyukaimu."

“Terima kasih, Nyonya. Terima kasih.”

Awalnya, Sundari menganggap Tiara hanya mencari simpati dengan menceritakan keadaan ibunya. Sebab, setelah mengatakan kondisi sang ibu yang terserang stroke, Tiara tampak baik-baik saja. Gadis itu tetap ceria, tanpa memasang wajah menyedihkan, atau meminta dikasihani.

Saat Tiara dan Sundari masih bercengkerama di tepi kolam, dari dalam rumah muncul Prabu yang hanya mengenakan celana pendek. Sesaat ia menghentikan langkah, mengamati keakraban Tiara dan sang nenek. Saat ini, pelayan berseragam ungu itu sedang menyisir rambut Sundari. Sesekali gadis itu tertawa lebar, demikian juga Sundari. Pemandangan yang telah lama tak ia jumpai di rumah ini.

Dua puluh menit berjemur sambil bercengkerama hangat, akhirnya Tiara memutuskan membawa Sundari masuk. Ia bangkit, dan memutar kursi roda milik sang majikan. Namun, langkahnya terhenti saat tatapannya beradu dengan seseorang yang kini mendekat. Prabu.

Untuk sesaat, Tiara terpaku dengan apa yang ada di hadapan. Pesona Prabu yang hanya mengenakan celana renang, seolah menarik kesadaran Tiara. Ia terhipnotis memandang dada bidang Prabu yang terekspos. Terpaan mentari membuat kulit lelaki itu semakin memukau.

“Sudah selesai?”

Pertanyaan Prabu membuat Tiara tergagap, dan seketika menunduk. Ada bias merah jambu di pipi gadis itu, malu jika saja pandangannya tertangkap sang majikan.

“S-sudah, Tuan.”

“Baru saja kami mau masuk.” Sundari menatap cucunya dengan mata menyipit. Cerah sang mentari menyilaukan mata tuanya.

“Kupikir kamu tidak di rumah. Bukankah ini akhir pekan?” tanya Sundari lagi. Sebab, biasanya Prabu jarang berada di rumah saat hari Minggu. Cucunya itu akan berkunjung ke Puncak, dan pulang malam harinya.

“Ah, apa nggak boleh aku temani Eyang minggu ini?”

“Kamu mau berenang? Sana! Eyang masuk dulu. Di sini sudah panas.”

Kalimat Sundari yang mengalihkan pembicaraan membuat Tiara mengernyit. Padahal, setiap malam wanita itu selalu bertanya tentang cucunya.

“Ayo, Tiara. Kita masuk.” Sundari memberi titah, dan langsung dilaksanakan. Namun, lagi-lagi Tiara menghentikan langkah saat Prabu memanggil.

“Saya, Tuan?” Tiara berbalik.

“Setelah Eyang mandi, dandani dengan baik. Begitu pun kamu.”

“Saya?”

“Berdandanlah yang cantik. Hari ini, aku akan membawa Eyang jalan-jalan.”

***

“Apa kamu tidak punya baju lain?” Prabu bertanya pada Tiara dengan tatapan menilai. Matanya menyorot gadis di hadapan dari ujung kaki hingga kepala.

Saat ini Tiara mengenakan celana jins berwarna biru navy, dipadu dengan kemeja sifon berwarna merah jambu. Sebelum tampilan yang sekarang, tadi ia mengenakan rok bermotif bunga dan kaus lengan panjang. Namun, Prabu menyuruhnya berganti, dengan alasan yang tak ia pahami.

“Tapi, Tuan ... saya sudah tiga kali berganti pakaian, dan ....”

“Ah! Baiklah! Bisa gagal rencana kita hanya karena menunggumu.”

Prabu melewati Tiara yang berdiri di ambang pintu, lalu berkata, “Lima menit, segera bawa Eyang keluar.”

“Baik.”

Sepeninggal Prabu, Tiara mendekati Sundari sambil menepuk pipinya. “Apa saya terlihat begitu buruk, Nyonya?” tanyanya pelan.

“Kamu cantik, Tiara. Hanya saja, tidak sesuai dengan yang diharapkan Prabu.”

“M-maksudnya?”

“Dia tidak suka jalan-jalan dengan pelayan. Jadi, dia ingin kamu tampil cantik.”

“Apakah maksudnya ... saya harus berhias?” Tiara menebak.

Beberapa kali ia melihat tampilan perempuan yang dibawa Prabu. Seksi, dengan wajah penuh riasan. Apakah Prabu menginginkannya tampil demikian? Akan tetapi, untuk apa? Bukankah memang, ia hanya pelayan?

“Sudah. Jangan dipikirkan. Ayo. Dia jaga tidak suka menunggu.”

Dalam perjalanan, Tiara memilih diam. Sesekali ia melayani Sundari yang butuh bantuan. Sementara, Prabu mengemudi dengan tenang, sambil berbincang dengan neneknya.

“Kita singgah duli di butik langganan eyang,” kata Sundari kemudian.

“Kenapa harus ke butik? Bukannya Eyang bisa pesan, dan mereka yang antar ke rumah?”

“Bukan Eyang, tapi Tiara.”

Mata Tiara membulat. “Saya, Nyonya?”

“Kenapa harus dia?” Prabu tampak keberatan.

“Karena setelah ini, eyang akan sering mengajakmu jalan-jalan. Dan Tiara ... dia butuh beberapa baju, supaya tidak terlihat seperti seorang perawat.”

Prabu mengangguk, sedangkan matanya melihat spion belakang, pada Tiara yang masih tampak tak percaya. Kemudian ia mengangguk, dan kembali fokus ke jalanan.

“Setelah itu, eyang akan membuatmu kesal.” Sundari menambahkan, sambil tersenyum simpul.

“Maksud Eyang?”

“Karena Tiara harus berdandan, dan kamu harus menunggu. Ah, rasanya Eyang ingin dipijat sebentar di salon bibimu.”

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ai Elis

Ai Elis

hingga di bab ini eyang masih seperti akan sayang sama tiara.tp,. entahlah...🤭

2022-04-05

0

Lia Dahlia

Lia Dahlia

tiara hsti2 ksya ny prabu sang casanova

2021-04-05

0

ika Septi

ika Septi

waktunya make over

2020-10-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!