4. Merasa Spesial

Hari berlalu, tanpa terasa dua bulan sudah Tiara ada di rumah besar itu. Setiap waktu ia jalani dengan suka cita, meski tak jarang terasa berat. Namun, ia tetap bersyukur karena pekerjaan ini bisa menopang biaya kesehatan sang ibunda. Menurut keluarga di kampung, keadaan ibunya sudah membaik dari hari ke hari.

Sementara itu, kondisi Sundari pun makin membaik. Jika sebelumnya wanita itu banyak menghabiskan hari di kamar, maka sekarang berbeda. Ia jadi sering menghabiskan keluar rumah, sekadar berkeliling di taman, juga bersantai di tepi kolam. Hal yang telah lama tidak dilakukannya, meski sekarang ia harus menikmati udara luar dari kursi roda.

“Nyonya suka kupu-kupu?” tanya Tiara. Ia mendapati sang majikan mengamati objek yang terbang dengan manis di atas kuntum dahlia.

“Ya. Aku suka. Mereka cantik, lembut, rapuh, tapi tidak mudah ditangkap.” Tatapan Sundari masih tertuju pada kupu-kupu yang hinggap di kuntum mawar kuning.

Tiara lalu mengangguk, dan kembali mendorong kursi roda. Setiap pukul sepuluh, ia akan membawa Sundari berjemur di tepi kolam. Menikmati sari buah yang dipetik langsung, juga bersantai menikmati sinar mentari.

Ia tahu, Sundari sangat menyukai itu. Hanya saja, selama ini tak ada yang berani membawa Sundari keluar dari kamar. Sebab, agak sulit meminta izin Prabu untuk hal itu. Tiara saja melakukan semua ini tanpa sepengetahuan sang Tuan.

Selain itu, para perawat sebelumnya memperlakukan Sundari layaknya pesakitan. Membiarkan sang majikan berbaring sepanjang hari di ranjang, menyisakan wanita itu pucat tanpa daya.

Namun, semua berbeda sejak kehadiran Tiara. Gadis cekatan dengan pembawaan ceria itu mengubah segalanya, meski memakan waktu lama. Tak mudah bagi Tiara, tapi ia sangat gigih demi kebaikan majikan yang sedang dirawat.

Awalnya, Sundari menolak keluar rumah. Akan tetapi, semua alasan dan fakta yang diberikan Tiara membuat Sundari menurut, meski mereka melakukan itu semua tanpa sepengetahuan Prabu. Seperti saat ini, mereka tengah bersantai di tepi kolam, menikmati cahaya mentari.

“Aku mau sari jeruk. Sampaikan ke Lisa untuk membuatnya,” titah Sundari. Saat ini, keduanya telah sampai di tepi kolam.

Tiara tersenyum, lalu berlutut. Membenahi kain yang menutup kaki Sundari ia lantas berucap, “Saya yang akan melakukannya hari ini, Nyonya. Anda cukup menunggu lima menit, buah itu akan langsung dapat dinikmati.”

Usai berkata demikian, Tiara bangkit dan memetik beberapa buah jeruk manis. Sementara, Sundari mengamati gadis itu dengan tatapan lembut. Bibirnya tersenyum, melihat betapa cerianya Tiara.

Dengan cepat Tiara menuju dapur, lalu menyiapkan sari jeruk dengan alat pemeras khusus. Ia bersenandung, tampak begitu senang dengan pekerjaannya.

Tiara menghentikan langkah yang hampir mencapai kolam renang. Tak jauh di hadapannya, Prabu berdiri tepat di depan Sundari. Tentu saja, itu membuat Tiara takut. Apa yang akan ia sampaikan, jika sang tuan bertanya alasannya membawa Sundari keluar.

Perlahan, Tiara mendekat. Tangannya meremas gelas, menyembunyikan gugup yang melanda. Saat ini, ia bisa menangkap tatapan tak suka dari Prabu. Pria itu memindai dirinya bak mesin scanner yang bisa menelanjanginya.

“Jadi, kamu yang bawa Eyang keluar, hm?” tanya Prabu dingin. Wajah pria itu datar, tanpa ekspresi.

Tiara mengangguk pelan. Ia lantas berlutut, menyerahkan gelas berisi sari jeruk pada Sundari. Baru saja ia akan menjawab, saat Sundari mendahului.

“Kamu ini, kan eyang sudah bilang, nggak apa-apa.”

“Apa yang kamu doktrinkan ke Eyang, sampai dia begitu membelamu?” Prabu terdengar sinis.

“M-maafkan saya, Tuan. T-tapi, saya pikir—“

“Pemikiranmu tidak diperlukan di sini!”

“Prabu, sudah—“

“Kamu tau apa salahmu, heh?” Prabu mendekat. Menyusut jarak, dan menyisakan selangkah saja, ia berdiri tepat di hadapan Tiara yang menunduk.

“Prabu, jangan berlebihan. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan.”

Sundari coba memberi penjelasan, tapi percuma. Prabu memang semarah itu, untuk hal yang ia anggap lalai. Sehingga pria itu mengabaikan pembelaan sang nenek.

“Yang pertama, kamu membawa Eyang keluar, dan meninggalkannya di sini. Di pinggir kolam. Apa kamu sadar itu berbahaya?” Prabu masih mencecar Tiara, yang semakin menunduk ketakutan.

“Yang kedua, kamu meninggalkan Eyang di tengah terik matahari seperti ini.” Prabu menekan suaranya. Ia lantas berlutut, dan menarik dagu Tiara, hingga gadis itu menengadah dengan wajah ketakutan.

“Apa kamu pikir mau membunuhnya?” Prabu berteriak lantang tepat di depan wajah Tiara, membuat gadis itu tersentak dan memejam erat.

Melihat itu, Sundari mengulur tangan dan menarik lengan Prabu. Ia menggeleng dengan senyuman lembut. Kharisma wanita berusia 72 tahun itu tak urung membuat Prabu menyentakkan tangan, membuat tubuh Tiara terhempas ke lantai di tepi kolam.

“Tiara banyak membawa perubahan untuk eyangmu ini, apa kamu bahkan paham itu?” Sundari memulai. Diperhatikannya sang cucu yang kini berdiri dengan memasukkan tangan ke saku celana.

“Apa kamu tau kenapa? Karena dari semua orang yang bekerja merawatku, cuma dia yang berani membawaku keluar kamar.”

“Tapi, Eyang ... sekarang ini panas. Dan itu—“

“Itu bagus untuk kesehatanku, Prabu.” Sundari menukas cepat.

“Sehat? Apa Eyang butuh cermin untuk melihat kalau sekarang Eyang berkeringat dan wajah Eyang memerah?”

“Prabu ... itu baik untuk eyangmu ini. Lihat, sekarang kakiku bisa bergerak, kan? Dan apa kamu tau, rasanya tidak sakit lagi.”

Pada akhir kalimat, Sundari menyibak selimut yang sedari tadi menutupi kakinya. Ia bahkan mengangkat sepasang kaki kurus miliknya, lalu menggerakkan ke sana kemari.

“Kamu sudah lihat, kan?” Sundari menurunkan kakinya, dan kembali menutup dengan selimut. “Selama ini para pelayan tidak berani membawaku keluar, bahkan dokter pun begitu. Mereka semua takut padamu. Hal itu justru membuatku tidak pernah merasa sehat dan suntuk di kamar.”

Sundari menoleh ke arah Tiara yang masih bersimpuh. “Bangunlah, Tiara. Jelaskan semuanya kepada Prabu.”

Tiara mengangkat wajah dan menggeleng samar. Ia tampak masih syok dengan perlakuan Prabu tadi.

“Tidak perlu.” Prabu menyanggah cepat.

“Oh, iya. Ini masih pagi, kenapa kamu pulang?”

“Kalau aku tidak pulang, aku tidak bisa menangkap basah kalian yang membangkang, bukan?” Prabu melirik Tiara dengan tatapan sinis.

“Prabu ....”

“Kamu ...!” Prabu menunjuk Tiara. “Jangan besar kepala karena Eyang membelamu hari ini. Kamu masih berhutang penjelasan, dan aku tidak suka ada orang yang melakukan kemauannya tanpa izinku di rumah ini. Siapa pun, termasuk kamu!”

Usai berkata demikian, Prabu mengayun langkah lebar, meninggalkan taman samping rumahnya. Menyisakan Tuara yang masih bersimpuh, juga Sundari yang kini tersenyum simpul.

“Dia memang begitu. Tapi, dia adalah anak yang baik, Tiara. Lama-lama, dia pasti menerimamu seperti aku.”

Tiara mengangkat wajahnya dan memperlihatkan dahinya yang berkerut. Ia tak paham dengan maksud perkataan Sundari.

“Dari sekian banyak pelayan di rumah ini, hanya Nurma dan Lusi yang bisa dekat dengan Prabu. Aku harap, suatu saat dia juga akan menerimamu. Karena untuk berganti perawat lagi, aku sudah lelah.” Kalimat Sundari terdengar seperti keluhan.

“Nyonya ....”

“Ya, seperti yang kukatakan tadi, aku menyukaimu, Tiara. Semangatmu, keceriaanmu, semua yang ada pada dirimu mengingatkanku pada seseorang ....”

***

Tiara termenung, dengan tatapan tertuju lurus ke luar sana, pada rerimbunaan pohon buah dalam pot yang mengisi taman. Bunga-bunga pukul sembilan juga sedang memekarkan bunga aneka warna, menambah semarak halaman nan luas. Beberapa kupu-kupu beterbangan ke sana kemari, menambah harmoni alam siang ini.

Sementara itu, Sundari yang baru saja melahap makan siang kini tertidur, tepat di belakang Tiara. Duduk di sofabed, gadis itu masih teringat kejadian tadi, saat Prabu membentak dan memperlakukannya dengan kasar.

Selama ini, Tiara salah menduga. Ia berpikir, setelah kejadian pagi itu—saat Prabu membalut luka di kakinya—sang Tuan akan bersikap baik. Nyatanya tidak. Prabu tetaplah majikan yang tak ingin mengakrabkan diri dengan pelayan, juga angkuh seperti tokoh antagonis dalam sinetron.

Tiara menghela napas, saat kejadian pagi itu kembali melintas dalam ingatan ....

“T-tuan, saya tidak apa-apa.” Tiara berkata pelan.

Gadis itu masih coba menolak, saat Prabu membopongnya. Bahkan, ia tak pernah bermimpi akan diperlakukan begitu oleh sang majikan. Ditambah pandangan takjub dan heran dari pelayan lain, membuatnya merasa tak enak hati.

“Apa aku terlihat ingin mendengar pendapatmu?” Tak menghiraukan kalimat Tiara, Prabu terus melangkah.

Ia lalu mendudukkan gadis itu ke ranjang. Pada saat yang sama, dua orang pelayan masuk. Salah satu di antara mereka, membawa kotak P3K dan satu yang lain membawa baskom berisi air hangat dan lap berwarna putih. Sekali lagi, Tiara merasa tidak enak dengan semua ini.

“Kalian keluarlah,” titah Prabu lagi.

Setelah dua pelayan itu pergi, pria itu berlutut di depan Tiara, lalu mengelap darah yang mengalir dari kaki gadis itu. Sesekali ia mendongak, dan mendapati Tiara meringis.

“Ini akan sedikit sakit. Kamu bisa berteriak kalau kesakitan.”

Tiara bergeming, menatap tanpa ekspresi saat Prabu mencabut pecahan kaca di kaki kirinya. Sobekan yang timbul membuat darah mengalir, sedangkan ia hanya menggigit bibir karena ngilu dan perih dalam satu waktu. Tanpa sadar, ia bahkan meremas seprei demi meredam rasa sakit.

“Tidak terlalu dalam, tapi lumayan. Aku teleponkan dokter supaya dia mengirim antibiotik.” Prabu berkata sambil mengaplikasikan plester luka.

“T-tidak perlu, Tuan. Ini hanya luka kecil—“

“Apa aku terlihat sedang bernegosiasi?”

Prabu bangkit di ujung kalimatnya, lalu melakukan panggilan. Ia membuktikan ucapan dengan menelepon seorang dokter.

Setelah sang majikan selesai, Tiara bangkit dari duduknya, dan memohon diri. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih, juga ungkapan permintaan maaf telah merepotkan.

Suara Sundari yang terbatuk membuat angan Tiara buyar. Ia segera berbalik, dan mendekati sang majikan.

Sekali lagi ia menghela napas. Menyesal karena sempat berpikir Prabu menganggapnya spesial. Nyatanya, majikan tak pernah sebaik itu pada pelayan mereka. Tiara berpikir, mungkin romansa pelayan dan majikan hanya terjadi dalam kisah sinema, atau novel semata.

***

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Norfadilah

Norfadilah

hiihii ini kan juga novel...🤣🤣🤣

2023-06-10

0

Ai Elis

Ai Elis

😘😘

2022-04-05

0

Siti Aisyah

Siti Aisyah

tiara orang nya kan kalem...knp baru ketemu sdh ngarep sama majikan...jgn terlena dgn kebaikan tuan nya...tetap jaga jarak aman...klo gak mau dikadalin..tetep fokus pd niat awal..😂🤭

2022-02-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!