“Tamu?” Prabu yang baru saja tiba dari bekerja mengerutkan kening, saat salah seorang pelayan menghampiri.
“Iya, Tuan. Saya sudah bilang Tuan tidak mau diganggu, tapi dia berkeras menunggu.” Pelayan itu tampak ketakutan, apalagi saat melihat tatapan Prabu yang menusuk.
“Oke. Nanti aku temui. Pergilah, kunci semua pintu.” Prabu memberi titah. Lalu, saat pelayan akan beranjak, ia kembali berkata, “Apa Tiara bersama Eyang? Atau Eyang bersama Bu Nurma?”
“Nyonya Sundari bersama Tiara, Tuan.”
Prabu mengangguk, dan memberi isyarat pada pelayannya untuk pergi. Setelah meletakkan jas dan tas ke ruang kerja, ia lantas menuju ruang tamu tanpa berganti pakaian. Dalam benak, ia bisa menebak siapa yang datang di jam seperti ini.
Seorang wanita berbalut gaun hijau tua sebatas lutut bangkit, saat Prabu mencapai ruang tamu. Disunggingkannya senyum semanis mungkin, demi menyambut si Tuan Rumah yang tak menampilkan keramahan.
“Bukankah sudah kubilang, jangan ke sini lagi?” tanya Prabu dingin, sambil memijat pelipis. Ia lantas duduk di sofa, tepat di seberang sang tamu yang mengutus tatapan memuja.
“Kupikir aku akan dapat sambutan manis, setelah beberapa lama tidak datang ke sini.” Leana mendekati Prabu, dan menempelkan telapak tangan di dada lelaki itu. Ia memberikan usapan lembut, dengan gerakan sensual.
“Sudahlah, Leana. Apa lagi yang kamu mau? Bukankah semuanya sudah selesai?” Prabu masih membiarkan tangan Leana bergerilya di dadanya.
“Ayolah, Sayang. Kamu nggak kangen sama aku?” Leana berbisik di telinga Prabu, seperti yang biasa dilakukannya.
“Leana—“
“Aku kangen kamu, Prabu. Aku kangen Prabu yang selalu ada waktu aku butuhkan. Aku kangen Prabu yang selalu ada, waktu aku kesepian. Bersama kamu dalam satu tahun ini ... aku baru sadar kalo aku nggak bisa jauh dari kamu, Sayang.”
Kali ini, Leana duduk di handle sofa yang diduduki Prabu. Dilipatnya kaki sedemikian rupa, menampakkan kaki jenjang dan paha yang mulus.
Prabu masih diam dengan kecamuk pikirannya, saat mendapat perlakuan demikian intim dari Leana. Bagaimanapun, ia adalah lelaki normal yang tak bisa membentengi diri dari godaan di depan mata. Terlebih, wangi Leana sangat manis, membuat pertahanannya goyah.
“Apa kamar itu masih milikku?” Leana berbisik lagi.
Ia melirik sebuah kamar, tempat ia dan Prabu biasa memadu kasih. Satu sisi terhangat rumah ini yang selalu siap untuk ia gunakan, tanpa siapa pun boleh mengajukan protes.
Prabu menangkap tangan Leana yang sedari tadi menari di permukaan dadanya. Tatapannya menggelap, seiring buai hasrat yang sudah menghias kepala. Ia lantas melabuhkan sebuah ciuman ke pada wanita yang sejak tadi membuai angannya.
Detik kemudian, Prabu membawa Leana dalam gendongan, dan membawanya masuk. Entah untuk menuntaskan hubungan yang tak pernah usai, atau memutuskan ikatan yang akan ia mulai
**
“Terima kasih, Lusi.” Tiara tersenyum manis.
Diterimanya semangkuk mi instan dari Lusi. Tadi ia melewatkan makan malam karena Sundari sedang tak enak badan. Oleh karena itu, ia meminta Lusi membuatkannya makanan demi mengusir lapar. Amunisi jika Sundari membuatnya berjaga semalaman.
“Sama-sama, Tiara. Aku ke belakang dulu. Semua pintu biar aku yang kunci dari luar. Kamu nggak usah turun.” Lusi menambahkan.
“Ah, baiknya!” Lagi-lagi Tiara tersenyum.
Ia lantas menutup kembali pintu, dan menuju sisi jendela. Menikmati makanannya di sana, sebelum dingin. Sementara itu, sesekali ia melirik Sundari yang telah terlelap.
Oleh karena aroma mi menguar ke seluruh ruangan, Tiara memutuskan keluar. Akan lebih baik baginya makan si depan kamar, daripada nantinya aroma itu mengganggu Sundari. Ia akan makan dengan cepat, berharap sang majikan tak akan terbangun saat ia tak berada dalam kamar.
Tiara masih menyuap dengan tergesa, saat matanya menangkap bayangan di lantai bawah. Mulutnya yang penuh menghentikan kunyahan, saat samar-samar mengenali siapa yang ia lihat.
Dengan cepat Tiara meletakkan kemasan mi instan yang masih berisi setengah ke tempat sampah. Ia lantas melepas alas kaki, dan berlari menuruni tangga dengan dada berdebar. Langkahnya terhenti di hadapan sebuah kamar, mengutus seluruh tubuhnya gemetar.
Desahan dari dalam sana, suara saling memuja yang ia dengar itu ... ia sangat mengenali siapa pemiliknya.
Serta-merta Tiara berbalik, dan berlari menuju kamar Sundari. Tak henti ia mengutuk diri sendiri, atas apa yang baru saja didengar, dan berhasil memorak-porandakan suasana hati.
**
“Pagi, Eyang!” Prabu menyapa neneknya dengan senyum dan sebuah kecupan.
Sudah seminggu belakangan, Sundari mengawali hari dengan sarapan di ruang makan, seperti dulu. Latihan berjalan kembali memang sempat membuat ia kelelahan, tapi wanita berusia akhir tujuh puluhan itu terlihat lebih sehat.
“Selamat pagi. Apa kau akan sibuk lagi hari ini? Pulang malam? Eyangmu ini ingin jalan-jalan.” Kalimat Sundari terdengar seperti keluhan.
“Nanti, Eyang. Sampai kondisi Eyang benar-benar stabil, kita jalan-jalan lagi.” Prabu duduk, dan menyesap kopinya.
Diliriknya Tiara yang berdiri canggung di dekat Sundari. Sudah dua hari ini gadis itu tak pernah membalas pesan, dan mengabaikannya. Ia sempat berpapasan dan berniat menarik Tiara ke kamar, tapi lagi-lagi Prabu mendapat gestur penolakan semata. Hal yang membuatnya terdesak penasaran. Ada apa dengan Tiara?
“Silakan, Tuan.” Nurma mengulurkan semangkuk sup ayam ke hadapan Prabu.
Dalam diam, diamatinya sang tuan yang melirik dan mencuri pandang pada Tiara. Pemandangan yang membuat ia yakin, bahwa di antara dua orang itu memang ada sesuatu.
“Terima kasih. Sup ayam buatan Bu Nurma memang selalu yang terbaik.” Prabu memuji.
“Tapi pagi ini Tiara yang membuat sup, Tuan.” Nurma menjeda kalimat, dan melihat ke arah Tiara.
“Dia membuat hal baru yang mengejutkan buat kami, juga para koki. Dengan menumis sayuran lebih dulu, lalu memasukkannya ke dalam kuah kaldu yang mendidih. Itu membuat sup lebih istimewa, meskipun tanpa penyedap dan garam. Dan inilah hasilnya.” Nurma memaparkan dengan panjang lebar.
Sementara itu, Prabu hanya mengangguk-angguk, sembari menghirup aroma sup yang memang lebih lezat dari biasanya.
“Jadi, begitu?” Dilihatnya Tiara sekali lagi, yang lebih memilih melayangkan pandang ke arah lain.
“Bukankah sudah kubilang, Tiara banyak membawa perubahan di rumah ini?” Sundari tersenyum.
“Aku harap, dia juga bisa mengubahku. Kamu bisa, Tiara?”
“Ah, kamu ini! Cepat habiskan sarapanmu. Eyang mau ke taman dulu.” Sundari menyeka bibirnya dengan serbet, lalu berbalik ke arah Nurma. “Nurma, bawa aku keliling. Biarkan Tiara sarapan dulu, lalu membereskan meja.”
“Biar saya saja, Nyonya.” Tiara menyela. “Saya bisa sarapan nanti.”
“Sudah. Makanlah. Nanti bereskan mejanya, lalu susul aku di belakang.” Sundari tak ingin dibantah. Membuat Nurma bergerak cepat, melaksanakan titah sang majikan. Meninggalkan Prabu yang masih menikmati sarapan, juga Tiara yang berdiri canggung.
Prabu bangkit saat sarapannya telah selesai. Dengan nada datar, ia berkata, “Ikut aku!”
Tiara bergeming. Ia tetap di tempat, sampai Prabu menjauh beberapa langkah. Merasa perintahnya tak diindahkan, Prabu berbalik dan berkata dengan nada tajam.
“Apa kamu tidak punya telinga?”
Sontak Tiara menoleh, ke arah Prabu yang menatapnya dengan sorot menusuk. Khas seorang tuan, saat pertama kali ia masuk ke rumah ini. Secara naluri, Tiara memutar langkah dan mengekor langkah Prabu ke ruang kerja.
“Kenapa kamu mengabaikanku? Kenapa tidak membalas pesanku?” Prabu mencecar dengan tanya, setelah membanting pintu. Bunyi berdebam itu membuat Tiara sampai berjingkat. Takut.
“Lalu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Tiara datar, tanpa emosi. Pun wajahnya biasa saja, tanpa ekspresi takut yang tadi menguasai.
“Apa maksudmu?” Suara Prabu terdengar nyaring.
“Apa yang harus saya lakukan lagi, Tuan? Apa semuanya masih kurang? Tuan masih ingin hal lain?” Tiara mengangkat wajah, menantang.
“Jaga bicaramu, Tiara! Aku tidak mengerti!”
“Tuan tidak akan pernah mengerti!”
“Jangan berani membentakku!” Prabu mendekat. Dicengkeramnya bahu Tiara dengan erat, laku memojokkan gadis itu di tembok.
“Kamu sudah melangkahi batasanmu terlaku jauh, apa kamu tau!”
“Ya! Karena saya tau diri, maka saya cukupkan sampai di sini, Tuan!” Maya Tiara berkaca-kaca. Nyeri rasanya kembali diperlakukan dengan kasar.
“Tidak peduli sebanyak apa yang saya serahkan, tidak peduli banyak malam yang kita lalui, saya tetaplah pelayan! Yang bisa seenak hati Tuan permainkan, tanpa peduli jika saya punya perasaan! Itu sebabnya, Tuan bisa berganti perempuan sesuka hati!”
Sebulir air menetes dari mata Tiara di akhir kalimatnya. Disentaknya Prabu dengan segenap tenaga, lalu melepaskan diri.
“Menjadi bunga di ranjangmu, saya tidak bisa lagi, Tuan. Karena sampai kapan pun, saya tidak akan berhak atas rasa ini. Rasa dari pelayan, untuk tuannya!”
Tiara lantas pergi setelah mengucap demikian. Meninggalkan Prabu yang menggeram marah, sembari memijat pelipis.
“Argh! Sialan!”
**
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Yunika Pattikayhatu
ah Tiara terlambat,,, Uda terlanjur basah 😏😏😏😏
2021-02-28
0
Henik Farizka
Tiara yg dilema.....
......
2021-01-21
0
Yuli
tau diri baguslah
2020-11-21
0