Winda memberitahukan Thalia bahwa Ardiansyah, pasien konseling hari ini sudah datang. Thalia meminta Winda untuk memanggilnya masuk. Ia ingin segera menyelesaikan konseling hari ini. Bukan karena ingin cepat pulang, tapi sesuatu menggerakkan hatinya untuk segera kembali membaca novel kesayangannya. Seolah novel itu menjadi candu bagi tubuhnya.
Seorang pria masuk ke dalam ruangan, ia tersenyum pada Thalia. Dengan ramah ia mengulurkan tangannya dan langsung memperkenalkan dirinya.
"Siang dok, saya Ardiansyah … panggil saja Ardi."
Ardiansyah … serius dia kena gamophobia? Seganteng ini, wah luar biasa trauma memang tidak mengenal siapa pun …, kata Thalia dalam hati ketika melihat Ardiansyah masuk dalam ruangannya.
"Siang, saya Thalia … duduk?!"
Thalia membuka rekam medis milik Ardiansyah, membacanya sejenak dan menuliskan beberapa hal.
"Bisa kita mulai, karena kita mulai konseling baru jadi bisakah pak Ardi ceritakan ke saya tentang masalah anda?" tanya Thalia
"Mas, panggil saya mas Ardi jangan pak biar lebih akrab kita dok." pinta Ardi yang membuat Thalia sedikit terkejut.
"Eeh, baiklah mas Ardi coba ceritakan ada apa dengan mu?"
"Kayak lagu aja dok, ada apa denganmu?" seloroh Ardi.
Ada yang salah sama ni orang, apa bener dia gamaphobia? Kenapa saya ngerasa dia … modus?
"Salah ya saya, jadi kapan mau mulai bicara nih?" tanya Thalia lagi.
"Tahun depan boleh dok?" pinta Ardi
"Kalau tahun depan dokternya sudah ganti mas Ardi." jawab Thalia dengan sabar.
Berasa berhadapan sama playboy cap teri saya … batin Thalia kesal.
Ardi tertawa lalu ia mulai menceritakan masalahnya. Semua bermula dari kegagalan orang tuanya dalam mempertahankan pernikahan.
Ardi kecil banyak melihat pertengkaran yang memicu perceraian kedua orang tuanya. Tak jarang kekerasan fisik, umpatan, makian, dan cacian terlontar dari mulut kedua orang tuanya di depan Ardi kecil.
Ardi kecil bahkan sempat menjadi sasaran kemarahan orang tuanya dan mendapat kekerasan fisik. Hal itu tetap berlanjut hingga kedua orang tuanya berpisah. Kekerasan verbal dan fisik yang dialaminya berlanjut hingga ibunya menikah kembali. Ia memutuskan untuk pergi meninggalkan ibunya dan memilih hidup mandiri di kota lain ketika usianya masih sangat belia, 14 tahun.
Thalia tidak terkejut mendengarnya terkadang tekanan keadaan dan mental memang menempa seseorang menjadi lebih dewasa dari usianya. Ardi remaja bukannya tanpa cobaan, terkadang Ia juga mendapat hujatan dan cacian dari orang terdekatnya.
Sang ibu yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dan mendapat kasih sayang justru semakin menjauhinya. Ini membuatnya membenci wanita. Ia membutuhkan kasih sayang wanita tapi juga memiliki dendam pada wanita secara bersamaan. Inilah yang mempengaruhi pola pikirnya dalam berhubungan dengan lawan jenis.
"Pernah terserang panik yang berlebihan?" tanya Thalia sesaat setelah Ardi berhenti bercerita.
"Belum pernah, tapi setiap ada yang bicara tentang pernikahan saya pusing dan mual. Setelah itu biasanya saya pergi begitu saja dari kehidupannya." jawab Ardi enteng.
"Reaksi pasangan mas gimana?"
"Marah dan kebanyakan langsung menganggap saya laki-laki nggak bener pemain hati wanita tanpa mau mengerti keadaan saya!" ujar Ardi dengan sedikit emosi.
"Pernah bercerita pada pasangan kalau mas punya fobia ini?"
"Belum."
Thalia meletakkan pulpennya dan berhenti menulis. Ia menatap Ardi lalu berkata,
"Kenapa nggak mencoba untuk bicara terus terang pada pasangan tentang fobia yang mas alami. Bicara dari hati ke hati."
"Saya belum menemukan orang yang bisa saya percaya dan klik di hati dok."
"I see, itu karena mas nggak membuka diri dan memberikan peluang pada orang lain untuk mengisi kekosongan."
Ardi terdiam dan berbalik menatap tajam Thalia. Mata mereka beradu membuat Thalia sedikit salah tingkah.
"Dokter sudah punya pasangan?"
"Belum, kenapa?"
"Gimana kalo kita mencobanya dok, dan sembuhkan saya dari fobia ini." pinta Ardi dengan wajah serius.
"Eeh, kenapa jadi saya ini?" Thalia pun tertawa mendengar permintaan Ardi.
"Saya serius dok!" Ardi menegaskan permintaannya sekali lagi.
"Maaf mas Ardi, kami punya kode etik untuk tidak menjalin hubungan dengan pasien. Karena itu akan berpengaruh dengan objektivitas kami sebagai psikolog." sahut Thalia
"Saya memaksa!"
"No, saya tidak bisa mas Ardi ini prinsip kami." jawab Thalia menegaskan ucapan sebelumnya.
Ardi menatap tajam Thalia, sorot matanya menunjukkan rasa ketidaksetujuan atas jawaban Thalia. Ekspresi wajah yang diperlihatkan menunjukkan kekecewaan mendalam, yang perlahan berubah menjadi ancaman. Thalia menelan salivanya, ia tidak nyaman dengan reaksi Ardi. Tapi ia berusaha sebaik mungkin mengontrol dirinya.
"Maaf sesi konseling sudah habis dok!" Winda masuk mengingatkan Thalia dan Ardi. Memutus tatapan tajam penuh ancaman pada Thalia, dan itu membuat Thalia lega.
Thank God Winda, you saved me!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Hades Riyadi
Lanjutkan terongnya...eh... episodenya... Thor 😀💪👍👍🙏
2023-06-02
1
Hades Riyadi
menjadi profesi dokter, psikolog, polwan ato apapun kalo itu Wanita yang cantik dan mempunyai sex appeal yang tinggi, akhir²nya mang merepotkan bagi ybs, karena jadi banyak yang jatuh hati kepadanya...😛😀💪👍👍🙏
2023-06-02
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
lho lho lho kok gtuu
ini sih obsesi ga bener nihh
2022-12-19
0