Episode 16

Teringat ucapan Dara padaku tadi, membuatku berpikir apakah kebiasaanku yang sering melewatkan makan malam menjadi sebuah masalah dalam hubungan. Mungkin Shesa juga berpikir begitu. Apakah kebiasaan ini harus kuubah demi hubungan berjalan lancar. Aku

sungguh pusing memikirkannya.

“Baiklah aku akan coba mengubah kebiasaan ini.”

Aku kebawah dan melihat tidak ada aroma mi instan.

‘Apa Dara sudah tidur?’

“Ah, tidak mungkin. Dara tidak akan bisa tidur jika belum makan malam,”

Aku membuat mi rebus dari stok mi-nya yang banyak itu yang tersimpan didalam lemari. Aku tidak menyangka akan membuat mi rebus dan untuk pertama kalinya akan makan malam.

“Ehm … harum sekali baunya, memang aroma ini menggugah selera.”

Tiba-tiba pintu kamar Dara terbuka dan menangkapku yang sedang menyeruput sesendok mi.

“Jangan bergerak! Angkat tangan!” Dara yang membuat gerakan seperti polisi menyergap seorang penjahat.

Mi yang menggantung dimulut dan kedua tangan langsung kuangkat keatas. ‘Aku heran kenapa aku melakukannya’

“Apa-apaan ini, bukannya kau tidak makan malam?” Dara yang masih menodongkan jemarinya seperti pistol kearahku.

‘Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala’

“Minggir-minggir,” ucapnya memaksa.

Akhirnya mi yang menggantung itu aku masukkan ke dalam mulut dengan sekali seruputan.

Dara mengambil mangkuk mirebus itu dan membawanya keatas meja makan.

“Apa yang kau lakukan? Itu punyaku?”

“Tidak bisa barang bukti ini aku sita,” Dara menjelaskan sambil memakan mi-nya.

“Astaga kau lapar sekali sepertinya,” tukasku yang melihatnya makan dengan sangat lahap seperti orang kelaparan.

‘Dara hanya kembali berulang kali memasukkan sendoknya kedalam mulut’

“Kenapa kau tidak membuatnya sendiri sih?” tukasku kesal sambil meminum segelas air mineral.

“Karena aku tahu kau tersinggung dengan ucapanku sepulang tadi, maafkan aku. Aku tidak bermaksud apa-apa,” ucap Dara yang penuh dengan mi dimulutnya.

“Dari mana kau tahu aku tersinggung? Aku tidak.…”

“Buktinya kau yang tidak pernah makan malam tiba-tiba membuat mi instan.”

“Aku hanya sempat berpikir tadi, apakah kebiasaanku ini mengganggu dalam sebuah hubungan,”

"Uhuk … uhuk," Dara terbatuk.

“Ah, maksudku bukan hubungan … yah, karena aku berpikir sebelumnya memiliki hubungan dengan seseorang, apakah itu sebenarnya mengganggunya dan mempengaruhi hubungan kita, ah maksudku suatu hubungan,” tiba-tiba situasi canggung dan sedikit gugup.

“Oh begitu. Seharusnya seseorang tidak harus berubah demi orang lain. Kecuali itu tidak baik,” sahut Dara yang masih fokus dengan mirebus didepannya.

“Ah begitu menurutmu....”

Terkadang aku merasa dirinya sangat dewasa.

“Yah menurutku melewatkan makan malam baik untukmu, karena kau tidak pernah sakit,”

“Yah kupikir begitu, aku memang jarang sakit.”

Setelah menghabiskan semangkuk mirebus Dara meminum segelas air untuk melegakan tenggorokannya yang terbasuh kuah panas dari mi

itu.

“Kenyang. Terima kasih ya sudah membuatkanku mi hehe....” Dara yang mengelus perutnya yang kekenyangan.

"Lebih tepatnya kamu merampasnya ... dasar!"

"Hehehe...." dirinya terkekeh senang.

“Dara boleh aku bertanya?”

“Apa? Tanya saja?”

“Jadi apa jawabannya?”

“Jawaban apa?”

“Apa kau mau menikah denganku?”

‘Dara terdiam sejenak’

“Apa kau tidak akan menyesal?”

“Kenapa menyesal?”

“Raka, ini menikah bukan main-main. Lagipula kau belum mengenalku dan keluargaku. Aku yakin kau tidak akan tahan.”

“Bagaimana aku tahu akan tahan atau tidak jika tidak mencobanya. Lagipula keluargamu juga manusia sama-sama makan nasi, seseram apa sih mereka, keluarga penghisap darah?”

“Kau bisa becanda dalam hal seserius ini?”

“Aku tidak becanda. Karena, aku sudah lelah dipaksa untuk menikah dan aku pikir menyenangkan kedua orangtuaku adalah hal yang membuatku bahagia juga,”

‘Dara terdiam lagi’

“Aku takut.”

“Takut apa?”

“Bagaimana jika ternyata aku sangat menyukai pernikahan ini, bagaimana jika aku sangat menyukai keluargamu?” Dara yang menerawang ke awang-awang.

Aku melihatnya bersungguh-sungguh dalam kegamangan. Aku melihatnya benar-benar takut jika benar-benar menyukai hidup denganku. Lalu, aku hanya tersadarkan sesuatu bahwa hatinya akan hancur jika aku mengecewakannya. Tetapi, aku benar-benar ingin menikahinya disaat situasi seperti ini Dara adalah pelampiasanku yang tepat.

Tapi aku tidak sampai hati menyakitinya. Akan kubatalkan saja.

"Kalau begitu ... kita bat...." ucapanku terpotong.

“Baiklah aku akan menikah denganmu,” ucap Dara tiba-tiba.

‘Aku terkejut’

“Benarkah?”

“Ya,”

"Kamu yakin?"

"Ya."

“Kalau begitu besok kita akan menemui orangtuamu dikampung, bagaimana?”

“Hmm, aku yakin kau akan terkejut,” sahut Dara.

‘Apa maksudnya?’

***

Meminta Restu Ibunda

Perjalanan ke kampung selama lima jam dengan mengendarai mobil sendiri. Raka sangat tenang sedangkan aku sejak tadi mencoba untuk tenang. Aku bingung dengan situasi ini dan perut ini terasa mual. Ketika sudah hampir sampai mobil ini tidak bisa masuk lebih jauh karena jalanan mulai sempit. Mobil terparkir diujung jalan dekat warung kelontong milik juragan beras, orang paling kaya dikampung sini.

Sejak tadi aku menghela napas panjang dan mencoba meremas-remas tanganku yang mulai dingin. Hatiku tegang dan pikiran tidak

tenang. Tidak ada diantara kami yang menginginkan keluar dari mobil. Aku mendengarnya menarik napas dan ternyata ketegangan juga terpancar pada wajahnya.

“Apa sebaiknya kita kembali ke kota?” aku membujuknya mungkin dia akan berubah pikiran.

“Apa? Kita sudah sejauh ini, aku tidak mungkin kembali

tanpa restu Ibumu,”

Ucapannya membuatku semakin terasa mulas. Kenapa Raka seyakin itu.

“Kenapa kau sangat yakin, aku kira kau sudah benar-benar

gila,”

“Kenapa sejak kemarin kamu mengatakan aku sudah gila, sudah tidak waras. Sebenarnya apa maksudmu?”

“Kau belum tahu keluargaku seperti apa, aku pikir tidak ada calon pasangan atau mertua yang akan menerima keluarga.…” kalimatku

terputus tiba-tiba.

Raka keluar dari pintunya yang membuatku terkejut. Raka memutari mobilnya dan membuka pintu disisiku dan mengulurkan tangan.

“Ayo, kita harus cepat sebelum pulang terlalu malam,” sembari mengulurkan tangannya.

‘Padahal ini masih siang’

Kami menapaki jalan kecil ini dimana terdapat rumah-rumah sederhana yang berdempetan. Mereka berada diluar yang seraya menatapku yang mengenali wajahku dari kejauhan. Seperti seorang artis yang datang ke kampung, semuanya berhamburan keluar tetapi kali ini tanpa sambutan hangat melainkan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku berusaha menunduk dan tidak melihat tatapan-tatapan sinis itu.

Raka meraih tanganku dan menggenggamnya. Seperti tidak ingin membiarkanku berjalan sendirian dan menghempas tatapan mereka. Aku terkejut dibuatnya, sekali lagi perasaan ini menjadi hangat.

Sesampainya didepan rumah kami hanya berdiri didepannya.

“Inilah rumah kontrakan Ibu dan adikku,”

“Kakakmu dimana?”

“Kakak semaunya saja kadang pulang kadang dijalanan, kerjaannya hanya keluyuran tanpa pekerjaan.”

“Baiklah tidak usah dipikirkan sekarang, yah?" sahutnya menenangkan.

***

Hai semua baca novelku yuk!  Kalau kalian suka jangan lupa dukung aku di Kontes menulis ya. Mksh :)

Terpopuler

Comments

Icy tel

Icy tel

😅

2020-06-23

0

Aldekha Depe

Aldekha Depe

baru ini, holkay gak masalah calon mantu n besannya dari kalangan bawah

2020-05-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!